close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi linting dewe/Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi linting dewe/Alinea.id/Oky Diaz
Nasional
Jumat, 04 Juni 2021 16:35

Revisi PP 109/2012 dinilai mangkrak, sengaja ditunda

Tujuan jangka panjang pengenaan cukai rokok adalah pengendalian konsumsi, bukan meningkatkan penerimaan negara.
swipe

Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dinilai mangkrak.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (Kompak) sekaligus pengacara FAKTA Indonesia Tubagus Haryo Karbiyanto mengungkapkan, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) telah menyurati Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan kebudayaan (Kemenko PMK) untuk mengklarifikasi ihwal ketidakjelasan proses revisi PP 109/2012.

Menurutnya, nasib revisi PP 109/2012 sengaja ditunda berlarut-larut dengan berbagai dalih. Misalnya, alasan penanganan Covid-19, sehingga revisi PP 109/2012 diklaim tidak relevan. Lalu, alasan terkait mitos industri rokok sebagai penyumbang pendapatan negara melalui cukai.

Padahal, jelasnya, pemberlakuan cukai terhadap industri rokok bukan sebagai pendapatan negara, tetapi denda disebabkan menebar gaya hidup tidak sehat.

“Isu yang lain, misalnya petani atau buruh, selama ini, buruh atau petani ini menjadi tameng. Jadi, saya selalu ingat betul waktu gugatan MK (Mahkamah Konstitusi). Mereka (pendukung rokok) bisa datang dengan 3 bus, mereka (buruh/petani) mencaci maki ibu-ibu yang mendukung KTR (kawasan tanpa rokok) di MK. Mereka diperalat dan dijadikan tameng,” ucapnya dalam diskusi virtual bertajuk "CSO & Kaum Muda Menjawab Mitos Tentang Revisi PP 109 Tahun 2012", Jumat (4/6).

Argumen senada disampaikan ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri. Ia membantah mitos adanya peningkatan pengangguran (petani dan buruh) akibat pengaturan pengendalian tembakau.

Sebab, jelas Faisal, mayoritas industri rokok saat ini berproduksi dengan mesin. “Jangan seolah-olah industri rokok semuanya padat karya. Industri rokok berproduksi dengan tangan tidak dinaikkan cukainya, selesaikan kan?,” ucapnya.

Ia mengingatkan, tujuan jangka panjang pengenaan cukai adalah pengendalian konsumsi, bukan meningkatkan penerimaan negara. Jika pemerintah disandera terus akibat mengandalkan pendapatan dari rokok, maka dapat disebut ekstraksi nilai yang tidak beradab (predatory value extraction), karena mengorbankan kesehatan masyarakat.

“Ini kebablasan,” tutur Faisal.

Ia pun menyebut, seluruh produksi nasional tembakau di Indonesia memang terserap industri rokok. Bahkan, total hasil produksi petani tembakau pun jauh lebih rendah dari kebutuhan industri rokok. “Jadi, bohong saja (pengendalian tembakau bakal merugikan petani lokal),” ujar Faisal.

Ia juga mengkritik mitos harga rokok mahal sebabkan semakin marak beredar rokok ilegal. “Negara ini mempunyai polisi, punya aturan, punya hukum, satpol PP dan macem-macem, bisa berdayakan. Jadi, jangan seperti Menteri Perikanan dan Kelautan (Eddy Prabowo) yang dipenjara itu, daripada ada penyelundupan lobster, lebih baik saya izinkan saja ekspor, kan goblok,” ucapnya.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan