Anggota Komisi X DPR, Andreas Hugo Pareira, meminta, pemerintah menjelaskan alasan merevisi Statuta Universitas Indonesia (UI) tak lagi melarang rektor rangkap jabatan. Ini menjadi preseden buruk ke depannya.
"Pertanyaan ini harus dijawab oleh pemerintah sehingga tidak menjadi preseden buruk ke depan bahwa sebuah PP (peraturan pemerintah) bisa diutak-atik sedemikian mudahnya demi jabatan seseorang," kata Andreas kepada Alinea.id, Kamis (22/7).
Andreas mengatakan, perubahan Statuta UI secara moral ini pun tak patut dilakukan. Apalagi, kata dia, statuta menyangkut dunia pendidikan tinggi yang seharusnya bukan hanya menjadi penanggung jawab intelektualitas publik, tetapi juga moral dan etik publik bangsa ini.
Perubahan Statuta UI tertuang dalam PP Nomor 75 Tahun 2021 menggantikan PP nomor 68 tahun 2013. Peraturan tersebut, ditetapkan di Jakarta dan diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Juli 2021.
Andreas menyatakan, pada poin 35 C PP 68/2003 menyatakan larangan bagi rektor dan wakil rektor, sekretarias universitas untuk merangkap jabatan pada perusahaan negara/daerah atau swasta.
Artinya, jabatan komisaris yang diemban oleh Rektor UI saat ini termasuk dalam larangan, sehingga Rektor UI harus memilih menjadi rektor atau komisaris BUMN.
"Apakah revisi suatu PP bisa sedemikian mudah untuk menyelamat Rektor UI dari rangkap jabatan? Atau, apakah ada yang salah dengan PP 68 /2013 sehingga harus direvisi?," beber politikus PDIP ini.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor menilai, perubahan Statuta UI menguatkan kesan bahwa ada kekuatan lain yang berkuasa dari regulasi di Tanah Air.
"Problem utama terkait dengan kasus Rektor UI adalah bagaimana aturan hanya bersifat prosedur tanpa makna. Semakin menguatkan keyakinan bahwa ada invisible hand yang jauh lebih berkuasa dari aturan yang ada di sekitar kita. Ini sekali lagi akan membuat rakyat hilang kepercayaan," kata Firman dalam keterangannya kepada Alinea.id, Rabu (21/7).