Pelibatan dan partisipasi bermakna dari masyarakat desa harus jadi salah satu muatan utama dalam revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik (UU Statistik). Upaya membangun pangkalan data nasional yang komprehensif bakal sulit dilakukan jika tak melibatkan desa dan perangkatnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman mengatakan masyarakat desa berada di garda terdepan dalam upaya desentralisasi data statistik. Tak sebagai objek, perangkat desa mesti ditempatkan sebagai "pengepul" data karena merekalah yang sumber primer dari data kependudukan.
"Manajemen data itu kan mulai dari perencanaan, pengumpulan, pengolahan dan penyebarluasan data. Ini dua alasan mengapa penting desentralisasi data. Pertama, soal partisipasi bermakna. Kedua, soal keakuratan data," ucap Herman kepada Alinea.id, Minggu (19/5).
Revisi UU Statistik saat ini jadi salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas 2023. Panita kerja (panja) RUU itu sudah dibentuk oleh Badan Legislasi DPR sejak Agustus lalu. UU Statistik yang baru dibutuhkan supaya menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang mengubah ekosistem data.
Salah satu persoalan klasik yang mesti dibenahi ialah ego sektoral antar institusi dan desentralisasi data. Hingga kini, pemerintah belum punya pangkalan data nasional yang komprehensif dan akurat. Walhasil, banyak program pemerintah terkendala, semisal penyaluran bantuan sosial yang rutin salah sasaran.
Peran masyarakat desa dalam desentralisasi data, menurut Herman, sangat krusial. Pasalnya, masyarakat desa adalah subyek yang paling memahami data di lingkungan mereka. Supaya data yang dihasilkan akurat, pemerintah perlu membekali perangkat desa dengan pelatihan-pelatihan terkait pengelolaan data dan statistik.
"Harus mengetahui seperti apa proses perencanaannya, pengumpulan dan pengolahan dan penyebarluasan. Itu pekerjaan paling pertama paling besar dan paling menantang dan paling butuh perhatian dari pemerintah kalau kita bicara desentralisasi data," ucap Herman.
Problem lainnya yang harus diatasi ialah hamonisasi data antara kementerian dan penetapan standar mutu data yang sama di semua institusi negara. Dengan begitu, data yang dikumpulkan masyarakat di lapangan tak mubazir karena perbedaan standar antara satu kementerian dan kementerian lainnya.
Standarisasi jenis data, menurut Herman, harus disepakati antara pemerintah pusat dan daerah. Kementerian-kementerian juga harus berkolaborasi untuk mengharmonisasikan data yang mereka miliki. Harmonisasi data terutama urgen dalam eksekusi program makan siang gratis Prabowo-Gibran.
"Data masyarakat miskin, misalnya. Jangan sampai data di Kemensos (Kementerian Sosial) berbeda dengan data di teman- teman Kementerian Dalam Negeri atau di dalam kementerian sektoral yang lain. Jadi, ini yang perlu menjadi pekerjaan rumah pertama dari Prabowo-Gibran," ucap Herman.
Tak hanya masyarakat desa, menurut Herman, kelompok akademikus, peneliti, dan masyarakat sipil juga perlu diajak berkolaborasi dalam upaya desentralisais data statistik. Akademikus, misalnya, bisa berperan pada proses verifikasi standar data.
"Verifikasi data ini verifikasi bukan hanya berdasarkan keahlian keilmuan tertentu, tetapi juga berdasarkan pengalaman masyarakat," ujar Herman.
Senanda, analis politik dari Universitas Brawijaya (Unibraw) George Towar Ikbal Tawakkal menilai karut-marut tata kelola data terjadi karena fragmentasi data. Kumpulan data milik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan kementerian kerap tak sinkron. Walhasil, desentralisasi data tidak pernah terwujud.
"Apakah seluruh unit pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal, telah terhubung? Apakah informasi sektor privat sudah terintegrasi dengan data pemerintah? Misal, pendapatan pekerjanya. Saya rasa belum. Sistem informasi belum diterapkan secara maksimal untuk mengubungkan semua unit pemerintahan," ucap Ikbal kepada Alinea.id, Minggu (19/5).
Ikbal sepakat perlu ada kolaborasi antara masyarakat desa dan institusi negara dalam pengumpulan data statistik. Ia mencontohkan pengumpulan data orang miskin yang tak mungkin dilakukan masyarakat desa secara akurat tanpa punya akses ke data perbankan milik warga setempat.
"Sangat sulit pemerintah desa menyedikan data valid data orang miskin di desa sementara dia (pemerintah desa) tidak memiliki akses perbankan atau industri untuk memverifikasi pendapatan," ucap Ikbal.