Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menyatakan, Indonesia harus bisa mengantisipasi agar tidak menjadi 'residu' dari 'perang' supremasi antara Amerika Serikat (AS) dan China
Salah satunya, Indonesia harus mewaspadai dampak perang supremasi, karena Indonesia dekat dengan salah satu spot perang supremasi, yakni Laut Cina Selatan.
Guna mengantisipasi perang supremasi itu, Anis memberi catatan penting bagi angkatan perang atau militer Indonesia.
"Ingat, militer Indonesia ini, sudah puluhan tahun tidak punya pengalaman perang yang besar," tutur Anis dalam webinar Moya Institute bertajuk “Dampak Berkuasanya Kembali Taliban Bagi Keamanan Indonesia", Jumat (10/9).
Selain masalah militer, Anis juga mengatakan, hal penting lain yang harus diwaspadai adalah ketimpangan ekonomi. Menurutnya ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia masih berkaitan dengan isu seputar agama dan etnis.
"Sebab, kemiskinan ini banyak dialami oleh umat Islam, dan yang dominan di perekonomian adalah etnis Cina. Isu ini, bila dimanfaatkan oleh global player yang masuk, akan menciptakan kekacauan di negeri ini. Maka, pemerintah harus menangani ini secara serius," ujarnya.
Terkait dengan berkuasanya Taliban di Afghanistan, Anis menilai hal tersebut tidak akan memiliki dampak besar bagi keamanan Indonesia. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa narasi yang dibawa Taliban saat ini sangat berbeda dengan dekade 1990-an.
"Taliban kini memberi pengampunan pada orang-orang yang bekerja dengan pemerintah sebelumnya. Taliban kini juga menyatakan diri sebagai Imarah Islamiyyah, bukan Khilafah Islamiyyah, yang artinya Taliban hanya ingin berdaulat di teritori Afghanistan," ujar Ketua Umum Partai Gelora Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim mengatakan bahwa perubahan kekuasaan yang terjadi di Afghanistan akan memiliki pengaruh tertentu bagi Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia tentu memiliki hubungan dengan negara-negara Islam lainnya, termasuk Afghanistan
“Apalagi, dalam sejarahnya, Afghanistan pernah menjadi training center para teroris. Hal ini yang harus kita waspadai," tutur Chappy.
Lebih lanjut, Chappy beranggapan bahwa di dalam Taliban, masih ada faksi-faksi yang belum solid.
"Sebagai pemerintahan, Taliban belum efektif. Maka masih terlalu dini apabila Indonesia memberikan endorse pada Taliban," ujar Chappy.
Menurutnya, meski Taliban menyatakan akan menjadi pemerintahan yang inklusif dan lainnya, namun hal tersebut masih harus diuji kebenarannya.