Massa aksi yang tergabung dalam Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) pendukung calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendatangi gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta Pusat. Mereka mempersoalkan penetapan hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2019 yang telah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dini hari tadi.
"Kami menolak hasil pemilu yang curang. Hidup Indonesia, hidup Prabowo," tegas koordinator massa di seberang gedung Bawaslu, Jakarta, Selasa (21/5).
Berdasarkan pantauan Alinea.id, mereka membawa sejumlah poster dan spanduk. Salah satunya bertuliskan "Lawan Pemilu Curang". Beberapa bendera tauhid juga dikibarkan.
Dari pukul 13.00 hingga sore hari, massa masih terus melangsungkan aksinya. Mereka ingin aparat menepati janjinya memperbolehkan melakukan aksi di depan gedung Bawaslu, bukan di seberang gedung Bawaslu.
Massa tidak terima aksi mereka diblokade dengan ketat. Aparat gabungan dari Polri dan TNI telah memblokade jalan, dari Bundaran Hotel Indonesia hingga perempatan Jalan MH Thamrin.
Emosi massa sempat memanas. Mereka bahkan mencoba merobohkan pagar berduri yang dipasang aparat kepolisian di sepanjang jalan busway di seberang gedung Bawaslu. Tepat saat asar, massa melaksanakan salat berjamaah di perempatan jalan dan kemudian meneruskan aksinya kembali.
GNKR merupakan gerakan yang diinisiasi Persaudaraan Alumni (PA) 212. Mereka berencana melakukan unjuk rasa pada 21 dan 22 Mei 2019 untuk menuntut Bawaslu agar mendiskualifikasi pasangan calon (paslon) presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin.
Sementara Polri memberikan batas waktu aksi massa hingga salat Tarawih usai. Massa aksi juga diminta untuk menghormati kenyamanan masyarakat lainnya.
“Maksimalnya selesai salat Tarawih jam 21.00, semua harus kembali. Itu toleransi yang diberikan aparat,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Humas Polri, Jakarta, Selasa (21/5).
Dedi meminta agar massa menaati aturan yang ada. Apabila tidak, polisi akan membubarkan secara paksa sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 mengenai kerumunan masyarakat.
Dedi menjelaskan, berunjuk rasa diperbolehkan oleh aturan. Namun, massa tidak diperbolehkan mengganggu hak dan kebebasan masyarakat lainnya, tidak boleh mengganggu keamanan masyarakat lainnya, harus menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, taat pada norma yang berlaku, dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
“Kalau tak diindahkan dan batas waktu yang diberikan juga tidak dindahkan, maka aparat kepolisian dapat membubarkan paksa,” tutur Dedi.
Massa aksi juga dilarang menginap di sekitar area KPU dan Bawaslu. Tempat ibadah di sekitar lokasi tersebut juga hanya dapat digunakan untuk beribadah. Bukan untuk tempat menginap.
Menurut Dedi, aparat gabungan TNI-Polri akan terus melakukan penjagaan ketat pascapengumuman, yakni 25 Mei 2019. Setiap korlap diminta untuk bertanggung jawab atas massanya agar tidak ada kelompok teror yang menyusup.
Di sisi lain, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta menyiagakan sebanyak 1.200 petugas untuk mengantisipasi kegiatan massa pascapengumuman hasil Pemilu 2019 dini hari tadi. "Sesuai permintaan dari Polda Metro, kami siapkan 1.200 petugas," ujar Kepala Satpol PP Arifin saat dihubungi, Selasa (21/5).
Penjagaan akan dilakukan di sekitar KPU, Bawaslu, kawasan Istana Kepresidenan, Patung Kuda, Lapangan Banteng, dan kawasan DPR dan MPR. "Penjagaan lebih banyak difokuskan di Jakarta Pusat. Ini sifatnya preventif dan antisipasi apabila ada gangguan yang berkaitan dengan ketertiban Jakarta," ujar Arifin.