Riwayat sepeda yang tersingkir dari jalanan Jakarta 1970-an
Awal Februari 2021, Gubernur DKI Jakarta masuk dalam jajaran 21 Heroes 2021 atau pahlawan transportasi dunia pilihan lembaga nirlaba asal Jerman Transformative Urban Mobility Initiative (TUMI). Nama Anies nangkring bersama tokoh-tokoh dunia, salah satunya pendiri Tesla dan Space X, Elon Musk.
TUMI menganggap Anies berhasil memperbaiki sektor transportasi publik, seperti layanan angkutan bus, integrasi moda transportasi, serta pembangunan jalur sepeda.
Kampanye mengendarai sepeda memang aktif dilakukan Pemprov DKI Jakarta beberapa tahun terakhir. Sejauh ini sudah terealisasi pembuatan jalur sepeda sepanjang 63 kilometer. Ditargetkan, jalur sepeda dibangun sepanjang 500 kilometer.
Pada April 2021 lalu, publik pun dibuat terkesima dengan pembangunan tugu sepeda—berwujud ban sepeda raksasa—berbiaya Rp800 juta di bilangan Jalan Sudirman, yang merupakan bagian dari proyek 11 kilometer jalur sepeda permanen. Proyek pembangunan tugu plus jalur sepeda menelan biaya Rp28 miliar.
Menurut Wakil Gubernur DKI Riza Patria, seperti dikutip dari Antara edisi 8 April 2021, tugu sepeda itu dibangun untuk menunjukkan keberpihakan Ibu Kota pada pesepeda.
Tak cuma itu. Pemprov DKI juga meminta pengelola gedung perkantoran menyediakan lahan parkir khusus sepeda. Dilansir dari Antara edisi 5 Juni 2021, Anies mengatakan aturan penyediaan lahan parkir sepeda sudah ada dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 51 Tahun 2020. Aturan ini mulai berlaku pada 5 Juni 2020.
“Kita mewajibkan tempat perkantoran yang mempunyai parkir kendaraan bermotor ada 10% tempat parkir dipakai untuk sepeda,” kata Anies.
Kata Anies, peraturan itu dibuat supaya warga Jakarta makin terpacu menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Paling anyar, Pemprov DKI melakukan uji coba jalur lintasan sepeda balap (road bike) di Jalan Sudirman-MH Thamrin, Jakarta Pusat pada pukul 05.00-06.30 WIB.
Jadi primadona
Alkisah sepeda muncul di Hindia Belanda mula abad ke-20. Di awal kemunculannya, tulis Ahmad Arif dalam buku Melihat Indonesia dari Sepeda (2010), pemakai kereta angin—sebutan untuk sepeda di zaman itu—kebanyakan pegawai kolonial. Kalangan militer pun diberi sepeda inventaris.
“Selain itu, sepeda juga banyak dipakai pribumi yang menjadi pegawai pamong praja atau kalangan priyayi, misionaris, dan para bangsawan,” tulis Ahmad Arif.
Saat itu, yang memiliki sepeda motor dan mobil masih sangat sedikit. Maka wajar sepeda menjadi alat transportasi andalan.
Pada masa kolonial, selain sepeda merek Belanda, seperti Fongers, Batavus, Sparta, dan Gazelle, juga hilir-mudik sepeda buatan Inggris, seperti Humber, Phillips, dan Raleigh. Ada pula produksi Jerman, seperti Goricke dan Fahkrad.
Sepeda masih menjadi primadona warga Jakarta pada 1950-an. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Firman Lubis dalam bukunya Jakarta 1950-1970 (2018) mengisahkan, nyaris semua remaja di masa itu pergi ke sekolah atau bermain dengan sepeda.
“Saya sendiri menggunakan sepeda dari mulai SMP, SMA, dan kuliah pada 1960-an,” tulisnya.
“Selain ke sekolah, sepeda dipakai untuk pergi menonton bioskop, ke rumah teman yang relatif jauh, atau pergi rekreasi di hari Minggu.”
Ia mengatakan, mengendarai sepeda di zaman itu masih aman karena lalu lintas belum padat. Di ruang publik juga tersedia banyak tempat penitipan sepeda.
“Kalau ada kerusakan, bengkel sepeda banyak terdapat di pinggir jalan,” kata Firman.
Pada 1950-an, tulis Firman, pemilik sepeda wajib membayar pajak setiap tahun. Bila sudah membayar, pesepeda diberikan peneng—serapan bahasa Belanda yang berarti iuran—yang ditempel di batangan muka sepeda.
Kotapraja Jakarta Raya kerap mengingatkan kewajiban membayar pajak sepeda di surat kabar. Misalnya, dalam terbitan koran berbahasa Belanda De Nieuwsgier edisi 26 September 1953 diumumkan kesempatan membayar pajak sepeda hingga 10 Oktober 1953.
Selain di Kantor Bendahari Jalan Kebon Sirih, pembelian peneng bisa dilakukan di beberapa tempat yang ditentukan, seperti di kantor kecamatan. Harga peneng—yang berarti juga nominal pajak—sebut Java-bode edisi 22 Desember 1951 senilai Rp3. Pemilik sepeda pun diharuskan membawa sepedanya ketika membayar pajak.
“Kepada semua sepeda yang belum atau tidak memakai tanda pajak tahun 1953 yang berada di jalanan umum akan diambil tindakan sebagaimana mestinya oleh yang berwajib,” tulis pengumuman atas nama Wali Kota Jakarta Raya, Sjamsuridjal di De Nieuwsgier.
Tak disebutkan apa tindakan yang akan diambil pihak berwajib bila pemilik tak membayar pajak sepedanya. Namun, sebuah informasi di koran terbitan Semarang, De Locomotief edisi 18 Juli 1950 menyebut, pelanggaran bisa didenda sebanyak-banyaknya f100 atau hukuman tahanan selama-lamanya sebulan.
Firman pun menulis, pesepeda harus menyalakan lampu jika berkendara di malam hari. Kalau tidak, pengendaranya bisa ditahan atau dikenai denda.
Tersingkir dan tak dianggap
Pada akhir 1960-an, di bawah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, transportasi publik dibenahi. Di masa Ali itu, sistem angkutan umum pokok, seperti kereta api dan bus dibenahi. Bus ditambah armadanya. Lalu, angkutan yang merupakan alat pelengkap, antara lain taksi, oplet, dan bemo pun diperbanyak. Becak pun ditertibkan dari jalanan.
Jumlah kendaraan bermotor pun meningkat. Dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1993) yang ditulis Ramadhan KH, Ali Sadikin mengungkapkan, pada 1970 jumlah penambahan kendaraan bermotor 220.000 lebih. Pada 1972 sudah hampir 300.000 dan pada 1976 mencapai 560.000.
Lebih lanjut, Ali mengatakan, pada 1977 warga Jakarta yang memerlukan angkutan untuk aktivitas ada 2,2 juta. Dari jumlah itu, ia memperkirakan 400.000 warga sudah bisa mengatasinya dengan kendaraan pribadi.
Sementara majalah Midi edisi 13 Juli 1974 mencatat, berdasarkan data akhir 1973 jumlah sepeda motor di Jakarta sebanyak 186.229 unit. Sedangkan mobil penumpang sebanyak 113.467 unit dan kendaraan bermotor lainnya 36.505 unit.
Gebrakan Ali melupakan sepeda yang menjadi kendaraan populer warga Jakarta beberapa dekade sebelumnya. Menurut Ahmad Arif, pada awal 1970-an dilakukan peminggiran infrastruktur sepeda, seperti tempat parkir dan jalur khusus di ruang kota.
“Jumlah pesepeda di Jakarta memang sudah menurun drastis dan diperkirakan tak lebih 1% dari total penduduk kota yang mencapai lima juta jiwa,” tulis Ahmad.
“Demam kendaraan bermotor melanda Jakarta. Kalangan mapan ekonomi mulai mencibir sepeda sebagai tunggangan kalangan bawah.”
Jurnalis Mochtar Lubis dalam tulisannya “Jakarta Kota Penuh Kontras” di Prisma edisi Mei 1977, yang memaparkan betapa timpang Jakarta antara si kaya dan si kere, juga menyinggung keberadaan sepeda.
“Jakarta adalah kota untuk orang yang punya mobil. Orang yang naik sepeda atau berjalan kaki hampir-hampir tidak diakui kehadirannya di jalan-jalan raya kota ini,” tulis Mochtar.
Seorang penulis anonim menulis perihal pengalaman bersepeda di Jakarta di Midi edisi 13 Juli 1974, dengan judul “Di Jakarta Tiada Maaf Bagimu Sepeda”. Ia menggowes sepedanya dari Jalan Cikini menuju Jembatan Semanggi.
Mulanya, ia senang karena pesepeda mudah meliak-liuk di antara kemacetan dan terhindar dari razia polisi. Namun, ia baru mendapat caci maki dari pengendara mobil sedan ketika tengah melamun menikmati langit di Jalan Thamrin, dekat pusat perbelanjaan Sarinah.
“Lu mau ke mana? Lihat jalan yang jelas dong. Masak naik sepeda meleng aja. Lewat jalur mana?” kata sopir mobil sedan, yang mengerem mendadak karena menghindar dari bus kota.
Ia pun bingung karena tak ada jalur khusus sepeda. Hanya ada jalur bus kota, bemo, helicak, serta jalur cepat untuk mobil. Nasib malang tak hanya berhenti di situ. Roda depan sepedanya yang oleng karena terbanting tak bisa diperbaiki karena tak ada bengkel sepeda.
Ketika sampai lampu lalu lintas di depan Hotel Indonesia, keberadaannya bahkan tak dianggap oleh penjual koran dan gerombolan pengemis. Tak ada pula tempat penitipan sepeda.
“Tinggal saja di situ. Pencurinya pasti mikir tiga kali. Untuk membawanya saja, pasti malu,” kata seorang tukang parkir di sebuah gedung bioskop.
Dari ilustrasi pengendara sepeda itu bisa disimpulkan, bagaimana malangnya bersepeda di Jakarta pada 1970-an.
Seorang penulis bernama Muharjo dalam artikelnya di Kompas edisi 7 Februari 1972 berjudul “Merek Simplex Nganggo Berko” menjadi saksi perubahan perspektif orang Jakarta terhadap sepeda.
Ia bahkan merasa nasibnya teramat buruk karena terlalu sering terjadi, jika pergi naik sepeda kerap berpapasan dengan teman-temannya yang naik mobil 125, Mercy, Volvo, Corona, dan sebagainya. “Paling apes Zephyr,” tulisnya.
Merek-merek mobil itu dimiliki orang-orang kaya baru di Jakarta. Mobil, disebut Muharjo, sebagai ukuran martabat intelektual dan elite Indonesia kala itu. Belum lagi, ia mengamati anak-anak sekolah yang juga malu naik sepeda.
“Maunya minimal (sepeda motor) Honda, Suzuki, atau sejenis itu,” tulis Muharjo.
Menurut Muharjo, pada 1970-an sepeda mengalami penurunan kelas sosial. Warga miskin pun sudah mulai enggan bersepeda.
Visi kota metropolitan yang dicita-citakan Ali Sadikin ikut membuat sepeda tersingkir. Sepeda sudah dikeluarkan dari aturan lalu lintas Ibu Kota. Namun, Muharjo mengakui, sebagai warga biasa, ia tak bisa berbuat apa-apa.
“Sudah tentu saya tidak berani mengusulkan agar Bang Ali menganjurkan untuk kembali ke sepeda, sebab nanti saya dikira antimodernisasi, anti kemajuan,” tulis Muharjo.