Riwayat Stasiun Gambir, dahulu jadi tumpuan
Kementerian Perhubungan memastikan, pada 2021 Stasiun Gambir tak lagi melayani kereta api jarak jauh. Sebagai gantinya, Stasiun Manggarai dipersiapkan untuk menjadi stasiun pusat.
Alasannya, untuk mengurangi kepadatan yang kerap terjadi di Stasiun Gambir. Nantinya, Stasiun Gambir perannya menjadi persinggahan untuk kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek.
Sementara Stasiun Manggarai akan meyalani KRL Jabodetabek, kereta jarak jauh, dan bandar udara, dengan konsep intramoda. Stasiun Gambir memiliki catatan panjang sebagai moda transportasi penting, sejak masa kolonial.
Pergeseran kota dan stasiun pusat
Marco Kusumawijaya di dalam buku Jakarta: Metropolis Tunggang Langgang (2004) menulis, sejak awal abad ke-18, masyarakat kelas atas Eropa tinggal di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara), Weltevreden (Jakarta Pusat, termasuk Gambir), dan Tanah Abang.
Memasuki abad ke-19, Weltevreden menggantikan kota lama peninggalan Perusahaan Hindia Timur Belanda (Verrenigde Oostindische Compagnie/VOC).
“Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels memindahkan pusat kota dari Pasar Ikan ke Weltevreden, yang ketika itu berhawa sejuk,” tulis Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013).
Menurut Christhoper Silver di dalam buku Planning the Megacity: Jakarta in Tweentieth Century (2007), pada abad ke-19, balai kota dan kediaman Gubernur Jenderal—sekarang Gedung Arsip Nasional di Jalan Gadjah Mada—terletak berdekatan dengan alun-alun dan pusat perbelanjaan utama komunitas Eropa.
Elite Eropa yang bermukim di rumah-rumah megah di sekitar Weltevreden dimanjakan dengan aneka fasilitas, mulai dari kebun binatang di Cikini, kolam renang, rumah sakit, hingga pabrik opium.
Pergeseran pusat kota mau tidak mau ikut berpengaruh terhadap ketersediaan infrastruktur. Termasuk membangun sarana transportasi kereta api.
WR Baron van Hoevell di dalam Tijfschrift voor Nederlandsch-Indie (1873) menulis, pada mulanya hanya terdapat sebuah halte kereta api bernama Halte Koningsplein (Halte Lapangan Raja) di sebelah kanan Gereja Willem di Koningsplein Oost—kini Jalan Medan Merdeka Timur.
Halte yang dikelola Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij ini berada beberapa ratus meter di selatan Stasiun Gambir saat ini.
Halte ini eksis dari 1871 hingga 1884. Surat kabar Java-bode edisi 27 September 1884 melaporkan, pada 4 Oktober 1884, Stasiun Weltevreden di Koningsplein, Batavia resmi dibuka. Fungsinya menggantikan Halte Koningsplein. Keberadaan stasiun ini pun memulai perpindahan orang jarak jauh.
“Stasiun Weltevreden memudahkan akses menuju Buitenzorg (Bogor) dan Meester Cornelis (Jatinegara),” tulis Java-bode. Stasiun Weltevreden juga bisa menerima kiriman barang, gerbong, bahkan kuda.
Koningsplein, yang kini dikenal sebagai Lapangan Merdeka, menurut Christhoper Silver, fungsi aslinya hingga abad ke-19 adalah tempat pelatihan pasukan. Lalu, paruh pertama abad ke-20, berubah menjadi ruang rekreasi dan seremonial gereja, hotel terkemuka, pertunjukan teater, dan pacuan kuda.
Maka, Stasiun Weltevreden semakin ramai. Stasiun ini pun menjadi tempat persinggahan tamu asing.
Bataviaasch Nieuwsblad edisi 3 Agustus 1929 menulis, raja dan ratu Siam (kini Thailand) disambut kavaleri dan garnisun infanteri yang tersebar dari pintu masuk utara Stasiun Weltevreden hingga pintu masuk timur istana di Koningsplein.
“Di Stasiun Weltevreden, raja dan ratu Siam disambut meriah korps musik terkemuka yang memainkan lagu kebangsaan mereka. Perjalanan raja dan ratu Siam ke Buitenzorg dengan menggunakan kereta ekstra hanya berlangsung dua puluh menit saja,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad, 3 Agustus 1929.
Selain Buitenzorg, stasiun ini pun melayani perjalanan ke Surabaya. Pada 1933, terdapat informasi di Bataviaasch Nieuwsblad edisi 7 Maret 1933 yang menjelaskan perubahan penting jadwal kereta karena pemangkasan durasi perjalanan jarak jauh dari Weltevreden ke Surabaya, juga sebaliknya.
Ramainya pelancong yang berkunjung ke Pasar Gambir mengharuskan stasiun ini berbenah. Java-bode edisi 29 April 1863 melaporkan, Pasar Gambir tak pernah gagal menarik perhatian orang-orang untuk berkunjung.
Selain kompetisi keroncong dan teater, di Pasar Gambir juga terdapat berbagai macam produk. Akibatnya, saat hari perayaan Pasar Gambir, tak hanya lalu lintas yang direkayasa untuk meminimalisir kemacetan, jadwal kereta pun diatur.
Pada 7 September 1935, bahkan ada perjalanan malam tambahan dari Koningsplein ke Buitenzorg, sebut surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië edisi 6 September 1935.
Menurut Uka Tjandrasasmita dalam Sejarah Perkembangan Kota Jakarta (2000), setelah diambilalih perusahaan kereta api Hindia Belanda Staatsspoorwegen (SS) pada 1928, stasiun ini diperbesar. Setahun kemudian, mengalami renovasi besar-besaran. Pada 1937, stasiun ini diresmikan dengan nama baru: Stasiun Batavia Weltevreden SS.
Modernisasi Stasiun Gambir
Alwi Shahab di dalam bukunya Betawi: Queen of the East (2002) menulis, meski nama stasiun di dekat Monumen Nasional itu acap kali berganti, tetapi masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Stasiun Gambir. Nama yang melekat hingga kini.
Stasiun itu pun mengalami renovasi kembali pada 1955. Surat kabar de Preangerbode edisi 12 Maret 1955 melaporkan, menjelang Konferensi Asia Afrika pada April 1955, berbagai fasilitas Stasiun Gambir diperbaiki.
“Perawatan juga diberikan untuk penerangan gedung stasiun. Lampu neon dipasang di berbagai tempat di stasiun,” tulis de Preangerbode, 12 Maret 1955.
Pada 1964, seperti dikutip dari Mingguan Djaja edisi 15 Februari 1964, Gubernur DKI Jakarta Soemarno Sostroatmodjo merencanakan membangun jalur kereta api bawah tanah di dalam kota, dan jalur kereta api di permukaan tanah pinggiran kota. Soemarno mengatakan, hal ini dilakukan agar kereta api tak menimbulkan gangguan lalu lintas di jalan raya.
Akan tetapi, ada dua konsekuensi yang diambil Pemda DKI bila rencana ini ingin terwujud. Pertama, jalur kereta antara Manggarai-Gambir-Jakarta Kota dan Jatinegara-Senen-Jakarta Kota akan ditenggelamkan ke bawah tanah. Kedua, menghilangkan Stasiun Gambir dan Senen.
Selanjutnya, menentukan tiga stasiun sebagai stasiun pusat, yakni Stasiun Jakarta Kota, Manggarai, dan Cakung. Stasiun Jakarta Kota akan dimanfaatkan bagi penumpang dari Cirebon, Rangkasbitung, dan Tangerang. Sementara Stasiun Manggarai direncanakan untuk penumpang dari Bandung dan Bogor.
Namun, rencana ini tak pernah terealisasi hingga tampuk kekuasaan berganti dari Sukarno ke Soeharto. Seiring waktu, modernisasi Stasiun Gambir terjadi.
Pada 1992, di Stasiun Gambir dibangun jalur layang kereta api Manggarai-Kota. Harian Kompas edisi 6 Juni 1992 melaporkan, jalur layang ini sudah melewati studi berulangkali oleh Jakarta Metropolitan Area Transportation Study (JMATS) sejak 1972.
Kompas edisi 4 Juni 1992 menulis, Stasiun Gambir dibangun berlantai tiga, dengan jalur layang yang menelan biaya Rp432 miliar. Dana sebesar itu berasal dari pinjaman lunak Dana Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri (Overseas Economic Cooperation Fund/OECF).
“Terletak di Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Stasiun Gambir terlihat megah dengan gaya artsitektur Jawa, bercungkup ruang joglo, serta dilengkapi ekskalator dan tangga,” tulis Kompas, 4 Juni 1992.
Pimpinan proyek prasaranaan kereta api Jabodetabek Zulfikar Sani, dalam Kompas edisi 4 Juni 1992 menyebut, pembangunan jalur layang merupakan salah satu bagian dari pembangunan sistem perkeretaapian Jabodetabek untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, dengan menghilangkan 23 persilangan sebidang antara Jakarta Kota-Gambir-Manggarai.
Selain itu, tujuannya untuk mengantisipasi pertambahan frekuensi kereta api listrik di masa depan. Jalur layang itu secara resmi beroperasi sejak 15 Juni 1992. Disebutkan, perjalanan sejauh 17,8 kilometer bisa ditempuh dalam waktu 15 menit.
Saat itu, Stasiun Gambir memiliki 13 loket dengan telepon umum bersistem kartu dan koin. Lantai stasiun dibuat dari porselen berwarna hijau lumut, ditunjang dengan pusat informasi berbasis komputer.
Kompas edisi 4 Juni 1992 memberitakan, Presiden Soeharto menginspeksi jalur kereta api Jakarta Kota-Gambir-Manggarai. Kemudian, meresmikan Stasiun Gambir dengan wajah yang baru.
Ketika Ignasius Jonan menjabat sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (2009-2014), ia membenahi banyak stasiun. Salah satunya menerapkan sistem boarding, dengan melakukan pemagaran peron dan mengatur penumpang masuk-keluar peron.
Di dalam buku Akhmad Sujadi berjudul Si Ular Besi Antar Jonan Jadi Menteri (2015), Jonan menyebut, Stasiun Gambir dan Tanah Abang sulit dibuat pagar pembatas untuk menghindari penumpang kereta api listrik masuk ke kereta api antarkota.
“Yang dapat dilakukan untuk Stasiun Gambir adalah tidak memberhentikan KRL Jabodetabek di Gambir untuk selamanya,” kata Jonan, seperti dicuplik dari buku karya Akhmad Sujadi.
Terlepas dari itu, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Darmaningtyas menilai, dari segi teknis pengoperasian tidak ada masalah bila Stasiun Manggarai mengambil alih peran Stasiun Gambir sebagai persinggahan dan persimpangan utama kereta.
Sebab, kata dia, Stasiun Manggarai memang telah didesain untuk kereta jarak jauh dan kereta dalam kota. Sayangnya, Stasiun Manggarai masih terkendala akses. Menurutnya, kondisi Stasiun Manggarai yang sangat ramai dapat disiasati dengan memindahkan pintu masuk dan pintu keluar ke sebelah barat.
“Kalau bisa dipindahkan ke sana, bisa lebih lancar. Kalau tidak, solusinya adalah pemberangkatan dari Manggarai, naik kereta bisa menjemput dan antar di Gambir. Jadi, tidak standby di Gambir,” tutur Darmaningtyas saat dihubungi Alinea.id, Senin (14/10).
Darmaningtyas menganggap, baik Stasiun Gambir maupun Manggarai, sama-sama tidak strategis dan tidak ideal sebagai stasiun sentral. Namun, ia sepakat bila Stasiun Gambir dimanfaatkan untuk kereta api jarak pendek.
“Banyak pengguna kereta rel listrik yang sebetulnya ingin turun di Gambir karena lokasi kerjanya di sekitar situ,” tutur Darmaningtyas.