Kepala Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Putri Kanesia, mengatakan Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah digodok pemerintah dan DPR dianggap semakin mempersulit penuntasan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Indonesia.
Putri menilai demikian karena di dalam RKUHP, pemerintah memasukkan pasal-pasal penting yang sebelumnya sudah termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Menurutnya, upaya tersebut menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, pertanggungjawaban komando terkait pelanggaran HAM berat. Putri menerangkan, dalam kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, pelakunya diketahui tidak tunggal, melainkan terstruktur yang melibatkan banyak pihak, terutama adanya peran penting aktor utama.
“Tapi di RKUHP, persoalan tersebut semakin pelik karena ke depan hanya eksekutornya saja yang dapat di bawa ke meja hijau. Seolah-olah seperti mengamini bahwa memang pelaku-pelaku yang dapat dipidana adalah mereka para pelaku lapangan, sementara pelaku komandonya bisa bebas atau bisa lepas dari tuntutan hukum,” kata Putri di Jakarta, Senin (26/8).
Persoalan kedua, lanjut Putri, mengenai ancaman hukuman yang akan diterapkan. Merujuk pada RKUHP, diatur hukuman untuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan mengalami penurunan yakni maksimal menjadi 20 tahun penjara. Padahal, jika merujuk pada pengadilan HAM, ancaman maksimalnya sampai 25 tahun penjara.
Hal inilah yang menjadi kritik atas pemindahan UU yang sudah ada sebelumnya dan dibuat secara khusus. Sedangkan ketika dipindahkan ke dalam RKUHP, dia menganggap, upaya tersebut malah mengoyak aturan hukum yang sebetulnya sudah diatur.
Masalah lain dalam RKUHP ialah berkenaan dengan hak khsusus yang ada di dalam UU Nomor 26 tahun 2000, yang dapat mengadili suatu peristiwa apabila peristiwa yang terjadi belum diundangkan. Akan tetapi, dengan dimasukkannya ke dalam RKUHP, hak itu sudah tidak bisa lagi dilakukan.
"Kita sama-sama tahu bahwa kekhususan dari Undang-Undang Pengadilan HAM Nomor 26 tahun 2000 adalah peristiwa dapat diadili untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum diundangkannya UU tersebut. Tapi, dengan dimasukkannya ke dalam RKUHP, itu tidak bisa lagi mengadili sesuatu yang terjadi setelah atau sebelum diundangkannya UU ini," katanya.
Apabila hal itu terjadi, dia merasa bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak bisa diproses melalui mekanisme tersebut. Terlebih, di dalam RKUHP untuk suatu kasus pelanggaran HAM terdapat aturan kedaluwarsa, sehingga menjadi masalah tersendiri dan yang dikhawatirkan para korban pelanggaran HAM tidak bisa membawa pelaku kejahatan HAM ke meja hijau.
"Sebab, banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia terjadi sudah sejak lama,” ujarnya.
Secara teknis, Putri turut mengkritisi pemerintah yang tidak melibatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang memiliki amanat khusus untuk melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat dalam diskusi RKUHP. Padahal, Komnas HAM adalah aktor utama dalam menyelesaikan kejahatan HAM berat tersebut.
"Dari empat masalah tersebut saya bisa menyimpulkan bahwa memang saat ini kita masih memiliki problematika terkait dengan sulitnya membawa (kasus) pelanggaran HAM berat ke pengadilan HAM. Namun dengan dimasukkannya pasal khusus ke dalam RKUHP, saya sangat yakin bahwa kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia akan sangat sulit diadili," ujarnya.