close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aktivis dan juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet saat berorasi di aksi Kamisan di depan Istana Negara. / Youtube
icon caption
Aktivis dan juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet saat berorasi di aksi Kamisan di depan Istana Negara. / Youtube
Nasional
Kamis, 07 Maret 2019 17:51

Robertus Robet terancam 1 tahun 6 bulan penjara

Aktivis dan juga dosen UNJ Robertus Robet dijerat penghinaan institusi Pasal 207 KUHP dengan ancaman 1 tahun 6 bulan penjara.
swipe

Aktivis dan juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet dijerat penghinaan institusi Pasal 207 KUHP dengan ancaman 1 tahun 6 bulan penjara.

Robet yang telah ditetapkan sebagai tersangka tersebut selesai menjalani pemeriksaan di Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) pada Kamis (7/3) siang ini. 

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, Robet ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 207 KUHP.

“Pasal utamanya 207 (KUHP), unsur paling kuat ya. Status sampai dengan hari ini masih sebagai tersangka. Tapi ingat, untuk Pasal 207 KUHP, ancaman hukuman cuma 1 tahun 6 bulan, jadi penyidik tidak melakukan penahanan dan hari ini diperbolehkan yang bersangkutan untuk kembali," ujar Dedi. 

Dedi memastikan proses hukum terhadap Robet sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku. Penyidik juga telah meminta pendapat ahli terhadap kasus yang menjerat Robet.

“Jadi saksi ahli, baik pidana, kemudian saksi ahli bahasa, kemudian membuat konstruksi hukumnya dulu untuk pasal 207 KUHP. Setelah itu dinyatakan cukup dari hasil gelar perkara tersebut, maka dari penyidik direktorat siber tadi malam mengambil langkah penegakan hukum berupa mendatangi kediaman saudara R dan membawa saudara R ke kantor untuk dimintai keterangan. Jadi itu prosesnya sampai dengan hari ini,” kata Dedi.

Setelah selesai dimintai keterangan, lanjutnya, Robet diperkenankan untuk pulang. "Hari ini untuk saudara R setelah dilakukan pemeriksaan kemudian proses administrasi penandatanganan beberapa berita acara selesai, saudara R dipulangkan oleh penyidik," katanya.

Namun, apabila nanti masih dibutuhkan keterangan dari Robet, Polri akan memanggil kembali tersangka. Dalam hal ini, tentunya sebagai upaya untuk menyelesaikan berkas perkara. “Polri dalam hal ini melakukan proses penyidikan dengan standar profesional tinggi dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang elah dianalisa secara komprehensif,” kata Dedi.

Menurutnya, alat bukti yang menetapkan Robet menjadi tersangka yakni, pertama adalah dari pemeriksaan ahli terkait video tersebut, kemudian dari alat bukti berupa pengakuan yang bersangkutan. 

“Yang bersangkutan sudah mengakui betul tadi seperti apa yang disampaikan secara verbal, secara narasi yang disampaikan pada saat demo hari Kamis kemarin atau Kamisan, adalah saudara R yang menyampaikan. Pemilihan diksi, pemilihan narasi adalah saudara R yang menyampaikan. Dia mengakui semuanya. Jadi konstruksi hukum perbuatan melawan hukum untuk pasal 207 nya terpenuhi di situ,” ujar Dedi.

Sebagai informasi, penetapan tersangka Robet berawal dari beredarnya video saat ia berorasi di depan Istana Negara. Dalam video tersebut, Robet tampak menyuarakan kalimat “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Tidak berguna. Bubarkan saja. Diganti Menwa. Kalau perlu diganti pramuka.”

"Apa yang disampaikan itu tidak sesuai dengan data dan fakta yang sebenarnya dan itu mendiskreditkan tanpa ada data dan fakta. Itu mendiskreditkan salah satu institusi. Itu berbahaya," ucapnya.

Lebih lanjut, Dedi mengatakan, gelar perkara dilakukan pada hari Rabu (6/3) secara komprehensif dan melalui pemeriksaan para saksi ahli. Setelah itu diputuskan oleh penyidik dari gelar perkara tersebut.

“Penetapan tersangka kan sudah jelas, ketika dua alat bukti sudah cukup, maka kewenangan penyidik untuk menaikan status dari terperiksa menjadi tersangka. Setelah Robet mengakui langsung naik menjadi tersangka,” ucapnya.

Selain itu Dedi menyebut kasus yang menjerat Robet ini bukanlah laporan dari masyarakat. Laporan polisi yang dibuat dalam kasus itu disebut Dedi sebagai model A yaitu peristiwa pidana yang ditemukan sendiri oleh kepolisian.

Korban pasal karet

Penangkapan akademisi sekaligus aktivis Robertus Robet dianggap menambah deretan korban atas UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet. Seperti diketahui Robertus dikenakan pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP. 

Pakar Hukum Abdul Fickar Hadjar menjelaskan penggunaan UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet bukan sekali ini saja terjadi. Dengan penjeratan Robertus menggunakan UU ITE semakin menafsirkan buruknya sistem hukum di Indonesia.

“Ini preseden buruk, peradilan Indonesia harus disadarkan dan dibangunkan, bahwa ujaran kebencian merupakan pasal karet yang dapat digunakan dalam segala kepentingan, karena itu seharusnya peradilan sebagai kekuasaan kehakiman yang bebas merdeka harus bebas juga dari hegemoni kepentingan apapun,” ujar Fickar melalui pesan singkat kepada Alinea.id, Kamis (7/3).

Menurut Fickar tahun 2006 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memutuskan pembatalan pasal-pasal ujaran kebencian terhadap pemerintah yang juga disangkakan terhadap Fickar. Alasan pembatalannya pun agar tidak digunakan memberangus kritik dari masyarakat.

Ia pun beranggapan tidak menutup kemungkinan dalam perkara yang menimpa Robertus Robet terdapat beberapa kepentingan dalam penerapan pasal tersebut. Kendati demikian yang teramat penting menurutnya adalah kebebasan berekspresi di era demokrasi saat ini.

"Di satu sisi ada kebebasan berekspresi sebagai bagian HAM dan demokrasi, di sisi lain ada kepentingan yang di atas namakan ketertiban umum yang seringkali berhimpit dengan kepentingan kekuasaan," ucapnya.

Sementara itu pengamat kepolisian Neta S. Pane justru mengungkapkan langkah kepolisian sudah sangat tepat. Ia berpandangan sebagai seorang akademisi Robertus seharusnya tidak melakukan sebuah penghinaan terhadap institusi negara yang dapat menimbulkan benturan di masyarakat.

"Apa yang dilakukan Robertus adalah perbuatan yang tidak pantas dilakukan seorang pengajar di perguruan tinggi," ujarnya melalui pesan singkat.

Apa yang dilakukan Robertus dianggap Neta telah mencemari institusi pendidikan dan menilai buruk kualitas institusi itu sendiri. Ia pun berharap ada tindakan tegas dari institusi yang menaungi Robertus.

Neta menambahkan Polri harus tetap bertindak tegas menuntaskan kasus tersebut.

"IPW berharap polisi bekerja serius membawa kasus Robertus ke kejaksaan hingga bisa diadili," tutur Ketua Presidium IPW itu.

img
Eka Setiyaningsih
Reporter
img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan