Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) meminta DPR tidak gegabah dalam menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Pangkalnya, tahapan-tahapan perumusannya banyak kejanggalan dan terancam kalah saat uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) jika tetap dipaksakan untuk disahkan dalam rapat paripurna, Selasa (19/6).
"Proses penyusunan RUU Kesehatan ini seperti UU Cipta Kerja. Kalau DPR tetap memaksakan pengesahannya, sama artinya mengulangi kesalahan sama, UU Kesehatan akan diputus inskontitusional karena cacat formal dan cacat prosedur," kata Ketua Bidang Kesehatan KNPI, dr. Fachrurrozy Basalamah, dalam keterangannya, Senin (19/6).
Ia menyampaikan demikian karena proses penyusunan RUU Kesehatan, yang berformat sapu jagat (omnibus law), tidak transparan. Situs web DPR pun tidak memuat draf teranyar.
"Memang berbagai OP (organisasi profesi) kesehatan sempat diundang, baik oleh pemerintah melalui Kemenkes (Kementerian Kesehatan) maupun DPR, tetapi aspirasinya diabaikan. Lalu, RUU Kesehatan ini mengakomodasi kepentingan siapa?" tanyanya.
Lebih jauh, Ozy juga menyoroti beberapa materi di dalam RUU Kesehatan. Dicontohkannya dengan tidak adanya klausul tentang OP yang bakal berdampak serius terhadap keluhuran profesi tenaga kesehatan (nakes) ke depannya.
"Bayangkan jika ada oknum dokter melakukan malapraktik saat OP tidak lagi diatur, maka ia bisa dengan mudah loncat bahkan membentuk OP lainnya. Artinya, pengendalian terhadap kualitas SDM kkesehatan di internal melalui OP semakin buruk prosesnya pada masa depan. Sebab, ia bisa dengan mudah keluar OP ketika disanksi," paparnya.
"Jika ini terjadi, siapa yang dirugikan? Selain profesi dokter yang bakal kehilangan maruwahnya karena akan semakin sering pelanggaran terjadi, masyarakat juga merugi karena tidak mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan yang berkualitas," sambungnya.
Ozy melanjutkan, masyarakat juga bakal semakin merugi dalam pelayanan kesehatan. Pangkalnya, tidak ada lagi aturan tentang belanja wajib (mandatory spending) dalam RUU Kesehatan.
"Ketika mandatory spending dihapus, saya khawatir efek dominonya terhadap pelayanan kesehatan ke depannya, termasuk dengan alokasi anggaran BPJS Kesehatan. Ketika mandatory spending ini dihapus, artinya alokasi anggaran sektor kesehatan bukan lagi prioritas. Padahal, kesehatan termasuk salah satu sektor vital selain pendidikan," urainya.
"Penghapusan mandatory spending ini juga dapat ditafsirkan sebagai proses liberalisasi sektor kesehatan atau menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Siapa yang dirugikan? Ya, lagi-lagi masyarakat. Siapa yang memiliki uang, maka ia bisa mendapatkan layanan kesehatan, apalagi jika ternyata berdampak terhadap alokasi anggaran BPJS Kesehatan," tambahnya.
Oleh sebab itu, KNPI mendesak DPR membatalkan rencananya mengesahkan RUU Kesehatan dalam rapat paripurna besok. "Apalagi, tidak semua fraksi menyetujuinya," tandas Ozy.