Direktur Jenderal Imigrasi, Ronny F Sompie, mengatakan Rumah Detensi Imigrasi yang menjadi tempat untuk menampung imigran memiliki tingkat kerawanan cukup tinggi terkait tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pasalnya, ada beberapa faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan kekerasan tersebut.
“Saya hampir empat tahun bertugas di Dirjen Imigrasi, saya melihat ada hal-hal yang mengarah kepada tindakan kekerasan pada saat kita menampung para pengungsi atau imigran. Penyebabnya karena ruang terbatas yang hanya bisa menampung 100 tetapi ditempati 400, itu overcrowded,” kata Ronny di kantor Komnas HAM di Jakarta pada Selasa, (30/4).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM tahun 2017, terdapat 1.958 orang ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi. Sedangkan 2.062 orang berada di ruang detensi pada kantor imigrasi, dan 32 lainnya ditempatkan di Ditjen Imigrasi.
Ironisnya, Ronny mengaku, Direktorat Jendral (Dirjen) Imigrasi hanya mempunyai puluhan rumah dan ratusan ruang detensi imigrasi yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.
"Dirjen Imigrasi hanya memiliki 13 rumah detensi imigrasi di seluruh Indonesia, dan 125 ruang detensi imigrasi yang melekat di setiap kantor Imigrasi," kata Ronny.
Hal yang sama dikatakan Komisioner Ombudsman RI, Ninik Rahayu. Menurutnya, rumah detensi imigrasi merupakan ruang yang membatasi gerak seseorang. Karena itu, biasanya hal ini kerap terjadi penyiksaan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang tentang Keimigrasian.
Untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di rumah detensi imigrasi, kata Ninik, maka pihaknya bersama empat lembaga lain seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merasa perlu meneken perjanjian kerja sama dengan Dirjen Imigrasi.
Kerja sama itu dilakukan untuk meningkatkan pengawasan, pencegahan penyiksaan dan perlakuan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat terhadap setiap orang yang berada di tempat terjadinya pencabutan kebebasan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) dan ruang detensi imigrasi di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi.
"Kerja sama ini bertujuan untuk memastikan Dirjen Keimigrasian menjalani SOP dalam menangani orang asing, yang ruang geraknya dibatasi. Diharap dengan adanya SOP ini tidak terjadi tindak kekerasan di dalam Rudenim," ujar Ninik.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, menjelaskan perjanjian kerja sama tersebut merupakan tindak lanjut dari nota Kesepahaman dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tentang Pengawasan dan Pencegahan Penyiksaan di lingkungan Kemenkumham yang ditandatangani pada 27 April 2016 lalu.
Kerjasama tersebut, kata Sandrayati, dibuat sebagai pedoman untuk Direktorat Jenderal Imigrasi dalam meningkatkan upaya pengawasan dan pencegahan penyiksaan di Rudenim.
"Terutama terhadap orang yang berada di tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan (deprivation of liberty) serta pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia," ujar Sandrayati.