Runtuhnya benteng antikorupsi: KPK hingga BPK
Ditetapkannya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan, gratifikasi, atau pemberian hadiah/janji terhadap eks Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo (SYL), memperburuk citra institusi yang dipimpinannya. Apalagi, ia menjadi pimpinan KPK pertama yang tersandung kasus korupsi.
Wakil Ketua KPK 2019-2022, Lili Pintauli Siregar, juga pernah diduga menerima hadiah berupa akomodasi hotel dan tiket MotoGP 2022 di Mandalika, NTB, dari salah satu BUMN. Ia lantas diadukan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Namun, persidangan etik terhenti bakal tidak berlanjut ke ranah pidana lantaran Lili sudah terlebih dahulu mengundurkan diri.
Pemberantasan korupsi di Tanah Air pun kian buruk lantaran praktik lancung senada dipraktikkan aparat penegak hukum (APH) yang lain. Misalnya, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Bondowoso, Puji Triasmoro dan Alexander Kristian Diliyanto Silaen.
Keduanya terjerat kasus dugaan suap pengamanan perkara proyek peningkatan produksi hortikultura di Bondowoso. Pun telah berstatus tersangka dan dijerat Pasal 12 huruf a dan b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Personel kepolisian juga demikian. Bekas Kepala Unit III Subdit III Dittipikor Bareskrim Polri, Brotoseno, pernah divonis 5 tahun penjara dan membayar denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti bersalah menerima hadiah/janji terkait korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar).
Bekas Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Napoleon Bonaparte, pun sempat dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Pangkalnya, terbukti menerima suap beruap uang S$200.000 atau Rp2,1 miliar untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari dari daftar buronan (red notice).
Bukan cuma APH, perilaku koruptif juga dilakukan pimpinan lembaga lain. Contohnya, anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) nonaktif, Achsanul Qosasi, lantaran menerima uang Rp40 miliar untuk pengamanan audit proyek BTS 4G BAKTI Kominfo. Achsanul telah ditetapkan tersangka dan ditahan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Lalu, anggota IV BPK, Piun Lustrilanang. Ia disinyalir terkait dengan kasus dugaan suap pengondisian temuan pemeriksaan BPK di Sorong, Papua Barat.
KPK sempat menggeledah dan menyegel ruang kerja Pius bahkan menyita beberapa dokumen, catatan keuangan, dan bukti saat penggeledahan. Hari ini (Senin, 27/11), ia dipanggil sebagai saksi dalam kasus tersebut.
IPK melorot
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, memandang, fenomena ini merupakan wujud kerendahan komitmen penegak hukum dan mempermalukan Indonesia di dunia internasional. Utamanya menyangkut Firli. Sebab, bagaimana mungkin seorang pimpinan KPK, yang seharusnya menjadi garda terdepan memberantas korupsi, justru terlibat rasuah.
"Dalam konteks ini, maka bukan tidak mungkin IPK (indeks persepsi korupsi) Indonesia pada tahun 2023 ini semakin anjlok," katanya kepada Alinea.id, Senin (27/11).
Skor IPK Indonesia 2022 sebesar 34 atau turun 4 poin sehingga berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Penurunan ini terburuk sepanjang era reformasi.
Diky menduga, buruknya penegakan antikorupsi saat ini disebabkan, salah satunya, disorientasi politik hukum pemerintah. Imbasnya, pemberantasan korupsi tidak lagi menjadi agenda prioritas.
Menurutnya, pemerintah cenderung memprioritaskan pembentukan regulasi yang bermotif pembangunan ekonomi melalui investasi. Namun, ia mengingatkan, penegakan hukum terhadap korupsi merupakan agenda yang tidak dapat dikesampingkan.
"Sebab, penegakan hukum yang baik dan aparat penegak hukum yang kuat secara langsung akan berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi dan investasi," jelasnya.
ICW pun mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai atasan langsung seluruh lembaga penegak hukum agar bertanggungjawab atas buruknya kinerja penegak hukum. Ia mendorong Jokowi memanggil seluruh kepala lembaga penegak hukum untuk segera melakukan pembenahan.
"Dengan mengedepankan penegakan hukum antikorupsi yang efektif, akuntabel, dan bebas dari kepentingan politik mana pun," ujarnya.
Solusinya?
Di sisi lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) kian gencar membentuk Badan Pemulihan Aset. Sementara itu, Rancangan UU (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana urung juga dibahas hingga kini oleh DPR.
Pembentukan badan itu dinilai vital dalam penegakan hukum mengingat kasus korupsi kian menjamur dan banyak aset yang lahir dari praktik culas tersebut. Dengan begitu, harta para koruptor perlu dirampas dan dikonversi sebagai pengganti kerugian negara.
Peneliti tindak pidana pencucian uang (TPPU), Yenti Garnasih, mengatakan, perampasan aset tidak hanya berlaku untuk para koruptor. Jika ditemukan jejak harta yang mencurigakan, negara bisa merampasnya.
"Bukan hanya yang ada kasus korupsi, tetapi juga kalau pelakunya hilang atau ada laporan harta yang mencurigakan, bisa langsung permohonan atau gugat ke pengadilan tanpa penghukuman orang, non-vonviction based asset recovery," tuturnya kepada Alinea.id, Sabtu (25/11).
Sayangnya, Yenti memperkirakan, pembahasan RUU Perampasan Aset takkan dilakukan dalam waktu dekat. Pangkalnya, anggota dewan akan fokus pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Saya tidak yakin ini bahas segera, apalagi mau pemilu," ucapnya. RUU Perampasan Aset diajukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada DPR sejak 2008.