Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai tidak tepat dipakai untuk menjerat terdakwa kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice) pembunuhan berencana Brigadir J, Baiquni Wibowo. Sebab, perusakan barang elektronik oleh eks anggota Polri ini tidak tergolong pelanggaran UU ITE.
"UU ITE itu, menurut sepanjang yang saya tahu sebagai komunikolog, itu bukan bicara perusakan peralatan," kata pakar komunikasi Emrus Sihombing, Kamis (23/2).
Emrus menyatakan, pelanggaran UU ITE terlihat dari konten di dunia maya yang dianggap menyinggung atau melukai beberapa pihak. Sementara itu, perusakan barang teknologi tidak ubahnya merusak benda mati ataupun perabotan lainnya.
"Jadi, sepanjang yang saya tahu, UU ITE itu menyangkut konten, isi daripada yang ditransaksikan. Jadi, bukan teknologinya. Kan, ITE [adalah] informasi transaksi elektronik, bukan teknologi," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Tim Penasihat Hukum Baiquni Wibowo, Junaedi Saibih, mengatakan, Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Henri Subiakto, juga pernah memberikan kesaksian yang sama.
Dalam persidangan pada Januari 2023, Henri menyampaikan, tindakan Baiquni tak mengganggu sistem CCTV di Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Karenanya, Baiquni dianggap tidak bisa dijerat dengan Pasal 33 UU ITE.
"Harus terpenuhi bahwa ada fungsi yang terganggu akibat tindakan nonfisik tersebut. Sedangkan dalam fakta persidangan, tidak terbukti tindakan Baiquni yang dapat mengganggu fungsi sistem CCTV Komplek [Polri]," kata Junaidi mengutip keterangan Henri dalam persidangan.
Jaksa penuntut umum (JPU) diketahui menuntut terdakwa obstruction of justice pembunuhan berencana Brigadir J, Baiquni Wibowo, dengan pidana 2 tahun penjara. Sebab, dia dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan turut serta dengan sengaja tanpa hak atau melawan hukum yang mengakibatkan sistem elektronik terganggu atau tidak bekerja.
Menurut JPU, pelanggaran tersebut sesuai Pasal 49 jo Pasal 33 UU ITE jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.