Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, vonis terhadap eks Sekretaris Mahkamah Agung atau MA Nurhadi, kurang berat. Sebab, perbuatan Nurhadi telah merusak citra dunia peradilan, khususnya di MA.
Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono, divonis enam tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Dua orang itu terbukti terima suap Rp35,7 miliar dan gratifikasi Rp13,7 miliar terkait penanganan perkara di MA 2011-2016.
"Justru kurang berat karena ternyata dia (Nurhadi) merupakan orang yang tidak tersentuh ketika masih menjabat dan kejahatannya termasuk struktural merusak citra dunia peradilan khususnya MA," katanya saat dihubungi Alinea.id, Jumat (13/3).
Vonis yang dijatuhkan kepada Nurhadi dan Rezky lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK). Diketahui, JPU menuntut 12 tahun penjara untuk Nurhadi dan 11 tahun bui untuk Rezky.
Kendati demikian, Fickar mengatakan, paling tidak MA bersyukur karena pernah memiliki sosok mendiang Artidjo Alkostar yang bisa mengimbangi citra buruk dunia peradilan. Selama menjadi hakim agung, almarhum Artidjo memang dikenal sebagai hakim yang kerap memberatkan hukuman para koruptor.
"Untung masih ada orang (Hakim Agung) seperti Artidjo Alkostar yang paling tidak bisa mengimbangi citra buruk dunia peradilan khususnya MA," ucapnya.
Atas putusan Nurhadi dan Rezky, JPU KPK langsung menyatakan banding. Usai sidang, Rabu (10/3), JPU KPK Wawan Yunarwanto, mengatakan, selain vonis lebih rendah, ada beberapa hal yang mendasari pihaknya menyatakan banding. Pertama, nilai suap dan gratifikasi dinyatakan majelis hakim tak terbukti seluruhnya.
Dalam dakwaan, Nurhadi dan Rezky diduga menerima suap Rp45,7 miliar dari Hiendra Soenjoto selaku Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal, tapi yang terbukti Rp35,7 miliar. Sementara gratifikasi, dalam dakwaan Rp37,2 miliar, tapi hanya terbukti Rp13,7 miliar.
"Kedua ada juga mengenai uang pengganti. Di dalam tuntutan kita, kita membebankan terdakwa untuk membayar uang pengganti senilai Rp83 miliar. Namun, dalam putusan tadi, hakim tidak mengabulkan uang pengganti," jelasnya.
Mengenai uang pengganti, majelis hakim menganggap tidak ada kerugian keuangan negara karena sumber suap dan gratifikasi yang diberikan berasal dari kocek pribadi para pemberi.