close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi buruh. Alinea.id/Dwi Setiawan.
icon caption
Ilustrasi buruh. Alinea.id/Dwi Setiawan.
Nasional
Jumat, 24 Juli 2020 19:39

RUU Ciptaker dan jalan perjuangan berbeda serikat pekerja

Omnibus Law Ciptaker masih menyisakan polemik. Serikat pekerja atau buruh berjuang dengan strategi berbeda.
swipe

Polemik Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) terus bergulir. RUU Ciptaker sendiri masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Memasuki masa reses, Rabu (22/7), DPR tetap akan membahas RUU Ciptaker.

Terkait hal itu, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, pihaknya mengajukan protes. F-PKS, kata dia, juga memberi masukan agar regulasi “sapu jagat” tak dibahas secara kilat.

Mardani menuturkan, rancangan beleid itu terkesan memaksakan kehendak. Sebab, masalah fundamental seperti dibahas terburu-buru, tak melibatkan semua pihak.

“Dengar semua stakeholder, jangan hanya shareholders,” ucapnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (22/7).

Selain itu, Mardani menyarankan agar buruh bersatu menyikapi RUU Ciptaker. Mardani melihat, posisi serikat pekerja atau buruh sekarang ada di dua “kutub”, yakni di dalam dan di luar tim teknis pembahas klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker bentukan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).

Yang bertahan, mundur, dan di jalan

Pernyataan Mardani bukan isapan jempol belaka. Saat ini, serikat pekerja atau buruh ada yang berjuang dari dalam dan konsisten berdemonstrasi di jalanan.

Pekan lalu, ribuan demonstran gabungan buruh dan mahasiswa melakukan aksi massa di depan Gedung DPR untuk menunda pembahasan Omnibus Law RUU Ciptaker selama pandemi Covid-19. Kelompok buruh yang menggelar aksi massa, di antaranya Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), dan Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI).

Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) yang tergabung dalam Gebrak merupakan salah satu organisasi pekerja atau buruh yang konsisten bergerak di jalan menolak RUU Ciptaker.

Ketua Umum KASBI Nining Elitos tak yakin tim teknis bisa memprioritaskan segala persoalan yang dihadapi buruh. Alasannya, komposisi di tim itu, menurut dia tak imbang.

Jika memang ingin menjadikan persoalan buruh dikedepankan, Nining mengatakan, seharusnya sejak awal sebelum rancangan dibentuk, publik sudah dilibatkan. Ia mengatakan, tak alergi terhadap pemerintah yang ingin membuat regulasi untuk pekerja. Namun, ia mengingatkan, beleid itu harus dibuat berdasarkan konstitusi untuk menjaga ruang demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

“Tapi ketika regulasi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai, itu hal yang patut dikritik atau ditolak,” ucapnya saat dihubungi, Rabu (22/7).

Nining menyatakan, Gebrak bukan tak mungkin akan kembali mengepung DPR jika wakil rakyat tetap membahas Omnibus Law RUU Ciptaker di masa reses. Sebab, menurutnya, dalam aksi pada 16 Juli 2020, anggota DPR menyatakan tak akan membahas beleid itu di masa reses.

Ratusan buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang omnibus law di Jakarta, Senin (20/1/2020)/Foto Antara/Akbar Nugroho Gumay.
“Kalau DPR konsisten tetap melakukan pembahasan di masa reses, tentu kemungkinan kita akan melakukan aksi,” ujarnya.

Sementara itu, tim teknis pembahas klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker masih sibuk dengan rapat. Tim ini diagendakan kembali membahas substansi klaster ketenagakerjaan hingga pekan depan.

Tim teknis sendiri disepakati dibentuk pada 10 Juni 2020. Kesepakatan tersebut berlangsung di Kantor Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md, Jakarta antara pemerintah dan tiga pimpinan serikat pekerja atau buruh.

Selain terdiri dari unsur pemerintah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, ada enam serikat pekerja atau buruh yang bertahan di dalam tim.

Serikat pekerja atau buruh tersebut, antara lain Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) pimpinan Yorrys Raweyai, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Federasi Serikat Pekerja (FSP) Pertanian dan Perkebunan, serta Federasi Serikat Pekerja Perkayuan dan Kehutanan Indonesia (FSP Kahutindo).

Di sisi lain, ada dua organisasi pekerja atau buruh yang mundur dari tim, yakni KSPSI pimpinan Andi Gani Nena Wea dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pimpinan Said Iqbal.

Pada 20 Juli 2020, di Kantor KSPI, Jakarta Timur, sejumlah perwakilan organisasi pekerja menyatakan sikap menolak menjadi bagian kelompok tim teknis pembahas klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker.

Dalam siaran persnya, Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, salah satu alasan organisasinya keluar dari tim teknis karena tak punya kewenangan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan apa pun. Ia juga khawatir hanya dijadikan “stempel” saja kalau serikat pekerja dan buruh sudah dilibatkan dalam pembahasan RUU Ciptaker.

Organisasi yang ikut pernyataan sikap itu, di antaranya KSPI, Serikat Pekerja Nasional (SPN), Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), Forum Serikat Pekerja (FSP), dan Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin (FSP LEM).

Namun, Presiden KSPN Ristadi tak berpikir sejauh itu. Meski begitu, ia maklum dengan keputusan keluarnya KSPI dan KSPSI pimpinan Andi Gani dari tim teknis karena ada pengalaman masa lalu. Menurutnya, dahulu ketika ada rapat yang melibatkan buruh, dengan serta merta pemerintah mengklaim serikat pekerja atau buruh sudah sepakat terhadap isu tertentu.

“Kalau bagi kami dengan teman-teman enam SP/SB (serikat pekerja/serikat buruh) lain, kami sudah paham betul potensi-potensi itu akan terjadi,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (22/7).

Bersama dengan lima organisasi lain, Ristadi mengatakan, masih bertahan di tim teknis karena pihaknya yang meminta tim itu dibentuk agar RUU Ciptaker melibatkan buruh. Ia mengaku, akan terkesan janggal jika sudah meminta dibentuk tim, lalu usai dikabulkan malah berhenti di tengah jalan.

“Apakah dengan kekhawatiran risiko itu, kemudian kami harus berhenti untuk tidak menyampaikan dalam forum yang formal tentang keberadaan argumentasi-argumentasi yang sudah kami lakukan kajian berbulan-bulan?” katanya.

Ia punya pandangan agar tim teknis tak mengambil kesepakatan. Alasannya, jika terdapat jalan buntu dalam satu pembahasan, maka kemungkinan yang terjadi adalah voting.

Kalau sampai terjadi voting, Ristadi khawatir posisi serikat pekerja atau buruh dirugikan karena seringkali pemerintah “bersahabat” dengan pengusaha. Ia berharap, jika silang pendapat tak selesai, hal itu bisa diserahkan ke DPR.

“Yang penting kita masukan saja dulu argumentasi kita, supaya melalui forum formal ini kemudian akan didengar secara utuh oleh pemerintah dan pengusaha,” ucapnya.

Ristadi menyebut, keberadaannya di tim teknis untuk menyampaikan perspektif serikat pekerja atau buruh terkait sisi sosial, ekonomi, dan yuridis dalam RUU Ciptaker, agar bisa didengar secara keseluruhan oleh pemerintah dan pengusaha.

“Jadi tidak menutup kemungkinan juga ketika perkembangannya tidak bagus, maka kami akan turun ke jalan,” katanya.

“Jangan kemudian kita memposisikan diri dihadap-hadapkan sesama kawan SP/SB karena semua kan teman seperjuangan. Ini hanya soal ada yang berjuang di dalam dulu kemudian nanti bisa bergeser ke jalanan.”

Pekerja menunjukkan uang THR Lebaran yang diterimanya di pabrik rokok PT Djarum Kudus, Jawa Tengah, Selasa (12/5/2020)/Foto Antara/Yusuf Nugroho.

Dinamika di dalam tim teknis

Ristadi mengungkapkan, banyak perdebatan yang terjadi dalam pembahasan tim teknis, di antaranya terkait outsourcing dan upah. Perihal pasal yang mengatur outsourcing, Ristadi mengatakan, perwakilan serikat pekerja atau buruh dengan pengusaha tak menemui titik terang.

“Masing-masing tetap bertahan dengan argumentasi, sehingga satu pasal tersebut tak selesai dibahas,” kata dia.

Buntunya kesepakatan mengenai outsourcing, kata Ristadi, membuat tim teknis memutuskan agar dibiarkan saja, dan kemudian diserahkan kepada DPR. Yang penting, menurutnya, perbedaan argumentasi itu tercatat dalam notulensi.

“Nanti biarkan DPR yang memutuskan dia mau ambil yang mana atau mungkin nanti jalan tengah, kami serahkan ke DPR saja. Kan di sana proses politiknya,” tuturnya.

Terkait masalah upah, Ristadi menyebut, pemerintah ingin menghilangkan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan menggunakan standar upah minimum provinsi (UMP). Ristadi mengatakan, serikat pekerja atau buruh menolak usulan itu karena tak mungkin menghapus UMK, yang kenyataannya lebih besar ketimbang UMP.

“Itu kan tidak mungkin, pasti akan terjadi chaos,” ujarnya.

Kemudian, ujar Ristadi, pemerintah melobi dengan mengusulkan jalan tengah, yakni upah minimum yang sudah tinggi dibiarkan, dengan catatan kenaikan besaran gaji tak tinggi. Sedangkan untuk upah minimum yang rendah, akan diusahakan kenaikannya.

“Tapi istilahnya hanya satu, yaitu dengan istilah upah minimum saja. Ini salah satu jalan tengah yang dilobikan, tapi ini belum tuntas,” ucapnya.

Dihubungi terpisah, Kepala biro Hubungan Masyarakat Kemenaker R. Soes Hindharno mengatakan, sebetulnya tim teknis sudah melewati batas waktu yang ditentukan, yakni 18 Juli 2020. Ia menjelaskan, pembahasan menjadi molor lantaran klaster ketenagakerjaan punya banyak substansi dan terdapat silang pendapat antara serikat pekerja atau buruh dengan pengusaha.

Menurut dia, bila minggu ini pembahasan belum juga rampung, awal pekan depan ditargetkan baru tuntas. “Artinya, kita (pemerintah) telah mengakomodir seoptimal mungkin permintaan para serikat buruh dan pengusaha,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (22/7).

Usai rampung awal pekan depan, Soes mengatakan, hasilnya akan dilaporkan kepada Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. “Untuk kemudian ke Presiden Jokowi bahwa klaster ketenagakerjaan sudah selesai pembahasannya, dan sudah mengakomodir seoptimal mungkin,” katanya.

Soes mengakui, perdebatan mengenai UMR dan UMP memang terjadi. Menurut dia, saat pembahasan terdapat pendapat yang menginginkan UMR tetap ada, di lain pihak meminta dihapus. Karenanya, posisi saat ini adalah mencari jalan tengahnya.

“Istilah UMR dan UMP kan itu cuma istilah. Seperti outsourcing atau apa itu kan cuma nama saja,” katanya.

Ketika dihubungi, Wakil Ketua Apindo Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, dalam tim teknis memang terjadi banyak perdebatan saat pembahasan pasal per pasal. Menurutnya, masing-masing pihak yang terlibat di dalam tim teknis memiliki argumentasi terhadap posisinya.

“Tapi kami merasa sangat konstruktif karena saling mendengar dan memberikan pendapat. Ada hal-hal yang mudah disepakati, ada yang lebih sulit,” ucapnya saat dihubungi, Rabu (22/7).

Lebih lanjut, ia mengatakan, lobi-lobi saat pembahasan wajar. Hal itu, kata dia, merupakan bagian dalam menyatakan pendapat.

“Dalam memberikan penjelasan, ya pastinya kita coba mendorong pihak lain untuk bisa menerima dong. Persuasi adalah bagian yang normatif dalam menyatakan pendapat,” katanya.

  Buruh menyelesaikan pembuatan masker di PT Jayamas Medica, Desa Karangwinongan, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jatim, Rabu (18/3/2020). Foto Antara/Syaiful Arif

Jalan tengah antara buruh dan pengusaha

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi berpendapat, perbedaan sikap serikat pekerja atau buruh yang memilih berada di dalam dan di luar tim teknis disebabkan adanya perbedaan latar belakang setiap organisasi.

Tadjuddin menilai, ada serikat pekerja atau buruh yang disinyalir dekat dengan kalangan partai politik, ada pula organisasi yang benar-benar berjuang untuk kepentingan buruh. Hal itulah yang ikut membuat adanya dua perbedaan sikap di lingkaran serikat pekerja atau buruh.

Dari pengamatannya, ia mengatakan, serikat pekerja atau buruh yang ada di dalam tim teknis ingin pasal-pasal di klaster ketenagakerjaan disusun berdasarkan usul mereka. "Hak-hak pekerja itu memang harus dimasukkan seperti yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003," ujarnya saat dihubungi, Kamis (23/7).

Menurut Tadjuddin, pembentukan tim teknis bukan bertujuan untuk memecah belah kekuatan serikat pekerja atau buruh. Ia memandang, serikat pekerja atau buruh memang perlu terlibat dalam tim teknis karena merupakan pihak yang paling mengetahui hak-hak buruh.

"Jadi, mereka harus punya suara di situ supaya Omnibus Law Cipta Kerja ini benar-benar sudah mendapat partisipasi dari segala macam organisasi," ucapnya.

Di sisi lain, ia menganggap, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang juga masuk ke dalam Omnibus Law RUU Ciptaker memang perlu direvisi. Sebab, aturan itu sudah berlaku selama 17 tahun dan sudah tak sesuai dengan kondisi saat ini. Aturan itu juga dianggap menjadi penghambat investasi.

Infografik buruh. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Tadjuddin, yang sudah membandingkan UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan draf RUU Ciptaker mengatakan, terdapat perubahan-perubahan. Ia menilai, salah satu perubahan itu menguntungkan buruh. Akan tetapi, ada pasal yang diubah pemerintah, yang dianggap buruh tak menguntungkan mereka.

"Karena hak-hak buruh, katakanlah, dihapus. Ini menjadi persoalan, jadi masalah," katanya.

Oleh karenanya, menurut Tadjuddin, pemerintah perlu melindungi kepentingan buruh. Namun di sisi lain, kepentingan investor pun juga harus mendapatkan perhatian yang sama.

"Dengan demikian ini menguntungkan kedua belah pihak," katanya.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan