close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi RUU Minol. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi RUU Minol. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Rabu, 18 November 2020 13:23

RUU Minol: Potensi benturan dengan adat dan penghasilan warga

RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) sudah diusulkan sejak 2015.
swipe

Kurator seni rupa asal Tampaksiring, Gianyar, Bali, I Made Susanta Dwitanaya terbiasa menyajikan tuak dalam acara desa, pergaulan masyarakat, dan upacara adat. Tuak, menurut dia, bahkan sudah diproduksi skala rumahan.

“Setahuku terbanyak di Karangasem, daerah Bali timur,” ujar Made saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (16/11).

Nyaris sebagian besar warga Bali punya riwayat membuat minuman tuak secara swadaya di rumah masing-masing. Made mengisahkan, kakek buyutnya dahulu membuat tuak dengan mengolah air dari pohon aren yang ditanam di pekarangan rumah.

Di masa pandemi Covid-19, beberapa kenalan Made yang terdampak ekonominya karena diputus kontrak dari pekerjaannya, ada yang beralih profesi memproduksi dan berjualan arak tradisional, dengan tambahan racikan rempah.

“Minuman olahan itu kebanyakan dipasarkan lewat Instagram,” katanya.

Sementara di Nusa Tenggara Timur (NTT) ada pula minuman beralkohol tradisional yang dinamakan moke. Minuman ini adalah hasil olahan dari nira atau air pohon lontar. Bagi masyarakat Sikka, NTT, moke merupakan simbol adat dan persaudaraan dalam kehidupan sosial.

Penyair Bara Pattyradja, yang berasal dari Desa Lamahala Jaya, Kabupaten Flores Timur, NTT mengungkapkan, akar budaya konsumsi minuman keras lokal ini diteruskan dari leluhur, yakni orang Lamaholot.

Di sana, minuman tradisional mengandung alkohol itu sudah dijadikan bagian daya tarik industri pariwisata. Pada Juni 2019, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat pun meluncurkan produk minuman olahan khas NTT, yang diberi merek Sopia.

“Bentuknya minuman sopi olahan nira, tapi dengan proses penyulingan lebih murni, sehingga kadar alkoholnya tinggi,” kata Bara saat dihubungi, Selasa (17/11).

Terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) yang tengah dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR, Susanta mengaku belum merasa khawatir. Sebelum mengemuka pemberitaan soal RUU Minol, Pemprov Bali sudah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.

“Bahkan sebelum ada pergub itu, atau belum dilegalkan pun, kami biasa mengakses arak. Minum tuak juga tetap berjalan biasa,” ujarnya.

Jika RUU itu resmi menjadi undang-undang, Susanta mengatakan, akan berdampak buruk terhadap masyarakat kecil yang selama ini menggantungkan penghasilan dari arak tradisional.

Sedangkan Bara berpendapat, minuman keras—termasuk produksi lokal—memang berisiko membuat orang jadi ketergantungan dan bisa mengganggu ketenteraman warga. Ia mendukung penegakan aturan untuk menjaga ketertiban umum.

Akan tetapi, penerapan aturan pelarangannya harus jelas dan spesifik. Misalnya, di ruang publik yang menjual produk itu. Penggunaan minuman beralkohol tradisional di acara adat, menurut dia, sebaiknya tak dilarang.

“Bagaimana kalau dalam jamuan kultural, lalu kami ditangkap semua, bakal menyusahkan banyak orang,” ucapnya.

Ilustrasi bir./Ilustrasi Pixabay.

Potensi tumpang tindih?

Jika disetujui di Baleg DPR, RUU Minol akan menjadi usul inisiatif DPR, dan kemungkinan pembahasannya akan masuk dalam target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021. Sejak kali pertama diusulkan 21 anggota DPR—18 orang dari fraksi PPP, dua orang dari fraksi PKS, dan seorang dari fraksi Gerindra—pada 2015, RUU ini terus mengalami penundaan.

RUU itu memuat klausul yang melarang siapapun memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, menjual, dan mengonsumsi minuman beralkohol. Di dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan, selain minuman beralkohol berdasarkan golongan, dilarang pula minuman beralkohol tradisional dan campuran atau racikan.

Ketua fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan, tujuan minuman beralkohol diatur dalam undang-undang tersendiri agar peredarannya bisa diperketat. “Karena membawa dampak buruk,” ucapnya saat dihubungi, Senin (16/11).

Jazuli berdalih, PKS mengusulkan RUU Minol sudah melewati pertimbangan sosiologis, yuridis, dan filosofis. "Secara sosiologis minuman beralkohol atau minuman keras lebih banyak membawa mudarat, baik bagi kesehatan maupun dampak sosial seperti kriminalitas," katanya.

Jazuli paham, sudah ada berbagai aturan yang membatasi peredaran minuman beralkohol. Namun demikian, ia menilai, aturan itu belum berhasil menekan konsumsi minuman beralkohol, terutama di kalangan remaja dan anak-anak.

Saat ini, peredaran minuman beralkohol, menurut Jazuli, makin tidak terkendali. Melalui RUU Minol, ia ingin aturan lebih tegas dan punya kepastian hukum, mulai dari jenis, pembatasan, hingga sanksi penyalahgunaannya.

“Ini adalah kewajiban negara untuk melindungi masyarakat dan menciptakan kamtibmas," ujarnya.

Jazuli mengklaim, sudah banyak fraksi yang sepakat agar peredaran minuman beralkohol diperketat, serta hanya dijual terbatas untuk kalangan dan tujuan tertentu.

Politikus PDI-P Putra Nababan memandang, usulan mengatur pembatasan minuman beralkohol hanya akan membuat tumpang tindih beleid yang sudah ada. Salah satunya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.

"Hukumannya sudah ada. Apalagi yang kurang dari itu? Ditambah lagi ada Peraturan Kementerian Perdagangan. Terus ada lagi di KUHP," ucapnya saat dihubungi, Senin (16/11).

Namun, Ketua fraksi PPP Amir Uskara mengatakan, di dalam KUHP tidak ada aturan rinci soal larangan dan batasan minuman beralkohol. "Karena di KUHP itu hanya diatur tindak pidana yang menyebabkan rusaknya ketertiban sosial dan semacamnya," ujarnya saat dihubungi, Senin (16/11).

Amir mengatakan, Baleg DPR akan mengkaji penjelasan dari pengusul terlebih dahulu untuk menentukan apakah RUU Minol layak dilanjutkan atau tidak. Penolakan maupun masukan akan menjadi perhatian Baleg DPR untuk lebih mencermati pembahasan dari usulan itu.

Ilustrasi wine./Iustrasi Pixabay.

Tak relevan

Amir menyebut, minuman alkohol untuk kepentingan adat dan keagamaan bisa menjadi pengecualian, termasuk untuk medis dan pariwisata. Maka, ia menyimpulkan, tak akan ada benturan dengan masyarakat adat.

"Munculnya pro dan kontra terkait sejumlah ketentuan dalam RUU tersebut masih bisa didiskusikan. Tidak semua kegiatan yang melibatkan minuman beralkohol dilarang," ucapnya.

Di dalam Pasal 8 RUU Minol memang disebutkan, larangan itu tak berlaku untuk kepentingan terbatas, seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.

Meski begitu, Putra Nababan menganggap, RUU Minol sangat sektoral. Sebab, hanya melihat dari sisi masalah peredaran, tanpa menimbang sisi kultural masyarakat.

"Pengusul itu harus mempertimbangkan masukkan suku, agama, dan kelompok masyarakat," ujarnya.

Dihubungi terpisah, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio memandang, usulan pembahasan kembali RUU Minol tak relevan bagi kepentingan masyarakat. Ia menganggap, sebagai produk usulan lama, pembahasan RUU Minol diajukan kelompok partai yang menjadikan agama Islam sebagai visi gerakannya.

Hal itu bisa menyebabkan ketidaksesuaian penerapan aturan bagi kelompok masyarakat yang punya keyakinan berbeda. Dalam ajaran Islam, minuman beralkohol jelas dilarang dan termasuk dosa.

“Kan inti urusan aturan ini soal dosa, bukan tindak kriminal. Tidak bisa menerapkan peraturan hukum berdasarkan ajaran agama. Agama kok diterapkan ke hukum,” kata Agus saat dihubungi, Selasa (17/11).

Agus pun menilai, pelarangan produksi dan konsumsi minuman beralkohol bertentangan dengan kepentingan memajukan sektor pariwisata. Ia menduga, pembahasan di DPR akan sarat dengan pertimbangan dan lobi politik untuk mengatur peruntukan penjualan produk minuman beralkohol.

“Kalau pemerintah bertujuan meningkatkan kunjungan wisatawan, adakah manfaatnya bila itu dilarang? Mereka yang membuat minol itu hanya berusaha, kalau di dalam negeri enggak ada yang membeli, ya pilihannya nanti mengekspor,” katanya.

Infografik kontroversi RUU Minol. Alinea.id/Oky Diaz.

Agus menilai, RUU Minol akan bertentangan pula dengan kebutuhan penduduk di beberapa daerah, yang menjadikan minuman beralkohol lokal sebagai sumber penghasilan, seperti di Bali, Sulawesi, dan NTT.

Kalau pun memang ingin melarang, Agus berpendapat, pemerintah dan DPR mempersiapkan sektor usaha pengganti untuk menjamin penghasilan warga produsen minuman olahan yang mengandung alkohol.

“Jadi, aturan RUU ini bakal bermasalah dan mengganggu perekonomian. Apalagi dalam kondisi sekarang dengan resesi ekonomi minus 5%,” ucapnya.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan