close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota Komisi I DPR Sukamta. jogja.pks.id
icon caption
Anggota Komisi I DPR Sukamta. jogja.pks.id
Nasional
Rabu, 09 September 2020 19:16

RUU Penyiaran pada klaster Omnibus Law suburkan praktik liberalisme

Klaster penyiaran dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law akan mengubah sejumlah aturan seperti, menghapus sanksi pidana larangan iklan rokok.
swipe

Revisi Undang -Undang (RUU) Penyiaran yang tercantum dalam klaster RUU Cipta Kerja dianggap akan menyuburkan praktik liberalisme pada industri penyiaran. Pasalnya, materi yang diubah dianggap tidak mencerminkan semangat regulasi penyiaran yang sehat.

"Sejumlah perubahan ini cenderung pada liberalisasi penyiaran. Karenanya, saya menolak hal tersebut," tegas anggota Komisi I DPR Sukamta, dalam keterangannya, Rabu (9/9).

Diketahui, klaster penyiaran dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law akan mengubah sejumlah aturan seperti, menghapus sanksi pidana larangan iklan rokok, minuman keras dan zat adiktif, pengubahan perizinan siaran untuk radio dan televisi dari kementerian menjadi pemerintah.

Kemudian menghapus perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran dan pencabutannya, serta menghapus syarat izin penyelenggaraan penyiaran bagi lembaga penyiaran berlangganan.

Menurutnya, substansi RUU Penyiaran pada klaster RUU Cipta Kerja Omnibus Law tidak sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

"Khususnya bertentangan dengan tujuan penyiaran, yaitu untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia," terang dia.

Wakil Ketua Fraksi PKS ini menilai, penghapusan sanksi pidana larangan iklan rokok, minuman keras dan zat adiktif tidak mencerminkan semangat regulasi penyiaran jika sanksi diubah menjadi administratif. Padahal, tujuan regulasi penyiaran ialah terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa. 

"Penghapusan sanksi pidana dapat mengakibatkan semakin banyaknya iklan minuman keras, rokok, zat adiktif, dan hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan di radio dan televisi. Larangan iklan terhadap eksploitasi anak di bawah umur juga dapat menyuburkan praktik-praktik eksploitasi anak dalam kegiatan bisnis," terang dia.

Politisi PKS ini juga menilai kontrol dunia penyiaran akan menjadi sulit dilakukan jika perpanjangan dan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) dihapus. "Dengan pengaturan yang existing saja dengan adanya perpanjangan IPP secara berkala, kita masih belum mencapai hasil yang memuaskan, apalagi jika kewajiban ini dihapus," tuturnya.

"Dengan cara apa kita dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Kominfo mengontrol dunia penyiaran?" sambung Sukamta.

Dia menyarankan agar pemangku kewenangan dapat fokus pada perubahan yang lebih progressif dan sejumlah persoalan terkini. "Misalnya soal digitalisasi penyiaran dengan migrasi digital menggunakan model single-mux. Sebetulnya soal digitalisasi penyiaran ini yang lebih mendesak untuk diatur," pungkas Sukamta.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan