Ketua Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Siti Rakhma Mary, menyindir Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ingin buru-buru mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan pada September 2019 tanpa menanggapi aspirasi masyarakat sipil.
Pemerintah, kata dia, berdalih RUU Pertanahan tidak mengubah aturan yang ada pada UU Pokok Agraria. Sebaliknya, lewat RUU Pertanahan pemerintah mengklaim hendak memperbaiki dan menambahkan hal-hal yang belum diatur dalam UU Pokok Agraria.
Akan tetapi, setelah dipelajari lebih jauh, Rakhma menyebut, tampak jelas bahwa RUU Pertanahan sebenarnya dirancang untuk mengubah UU PA. Terlebih, di dalam RUU Pertanahan sangat kental nuansa memberi lampu hijau bagi investor.
"Karena dari segi filosofis, pertimbangan dan ideologinya itu sudah jauh dari UU PA. Dia RUU Pertanahan secara terang benderang mengakomodir pemilik modal agar tidak ada hambatan dalam menanamkan modalnya atas tanah, sehingga aturan-aturannya itu dibuat untuk mempermulus investasi," kata Rakhma kepada alinea.id di Jakarta pada Rabu (28/8) malam.
Sebagai contoh, Rakhma mengungkapkan, pemberian izin terkait hak pengelolaan dan Hak Guna Usaha (HGU) semula 25 tahun, lalu bisa diperpanjang selama 35 tahun. Namun pada RUU Pertanahan, HGU ternyata bisa kembali diperpanjang lagi selama 30 tahun. Jika ditotal, maka pemberian HGU bisa mencapai 90 tahun.
“RUU Pertanahan tidak menjawab tuntutan masyarakat mengenai pembatasan HGU dan lahan skala luas yang dijadikan objek reforma agraria,” kata Rakhma.
Selanjutnya, Rakhma mengatakan, terkait hak pengelolaan. Di dalam RUU Pertanahan, hak atas tanah baru diberikan seluas-luasnya kepada pengusaha. Oleh pengusaha yang mendapat hak pengelolaan awal, tanah tersebut bisa disewakan kepada pihak ketiga.
“Hampir semua pasal itu memang mengakomodir kepentingan pengusaha untuk mempermudah investasi. Itu terlihat secara terang benderang,” ucapnya.
Menurut dia, apabila RUU Pertanahan yang mengakomodir pengusaha itu disahkan, maka yang menjadi korban bukan hanya masyarakat adat. Tetapi, juga masyarakat lokal, petani, buruh tani, dan petani tunakisma yang seharusnya menjadi subjek reforma agraria.
Sekalipun dalam draft RUU Pertanahan menyinggung soal hak ulayat atau masyarakat adat, dia menyampaikan, bahwa hak tersebut hanya ditafsirkan satu arah dari negara, tanpa melibatkan masyarakat.
Di sisi lain, terdapat kejanggalan pada RUU Pertanahan karena kemunculannya secara tiba-tiba hingga mengagetkan masyatakat. Celakanya, selama proses pembahasan, masyarakat sipil tidak pernah sekalipun diundang atau dilibatkan dalam pembahasan RUU Pertanahan tersebut.
Rakhma menyebut, RUU Pertanahan sebenarnya pernah dibahas pada 2015, akan tetapi lenyap begitu saja. Ia pun kaget ketika draft RUU tersebut seketika muncul kembali pada 2019.
“Ketika kita berusaha memberikan masukan, mereka (pemerintah dan DPR) sudah menutup pimtu. Mereka menganggap apa yang mereka buat ini, draftnya sudah benar,” kata Rakhma.