Bank Tanah atau Lembaga Pengelolaan Tanah dalam RUU Pertanahan dinilai berbahaya karena mampu merampas tanah yang belum diakui negara. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika khawatir kewenangan Lembaga Pengelolaan Tanah yang terlampau luas hanya akan mengubah pemerintah menjadi spekulan tanah.
"Bahayanya, tanah negara sampai sekarang masih debatable. Semua tanah masyarakat yang belum disertifikatkan oleh pemerintah tersebut dianggal ilegal dan (dapat) diklaim sebagai tanah negara," tutur Dewi dalam Konferensi Pers Menuju Hari Tani Nasional di Sekretariat Nasional KPA, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (22/9).
Lebih lanjut, Dewi menjelaskan, kewenangan Lembaga Pengelolaan Tanah bukan hanya sekadar mengatur dan mengontrol harga tanah, melainkan juga dapat bekerja sama dengan pihak ketiga atau asing.
"Cara kerja lembaga pengelolahan tanah ini kan mengidentifikasi tanah-tanah yang dianggap sebagai tanah negara, yang kemudian mereka kelola dalam sistem tersebut (tertuang dalam RUU Pertanahan), seperti land freezing, pembekuan agar tidak terjadi fluktuasi harga tanah," ujar Dewi.
Menurutnya, kewenangan transaksi sewa-menyewa dalam Lembaga Pengelolaan Tanah sangat bermasalah. Sebab, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi No.96/PUU-XIV/ 2016, penguasaan tanah oleh negara, bukan berarti kepemilikan.
"Kata sewa ini menurut kami sangat bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Kalau sewa-menyewa itu artinya negara punya tanah. Negara pemilik tanah," ucapnya.
Oleh karena itu, Dewi Kartika memasukkan pembentukan Lembaga Pengelolaan Tanah sebagai salah satu persoalan mendasar dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan.
Ancam ekonomi petani
Sementara itu, Ketua Departemen Penataan Produksi dan Usaha Tani Aliansi Petani Indonesia (API) Muhammad Rifai menyayangkan tergerusnya pelaksanaan reforma agraria. Bahkan, kata dia, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) malah dibredel menjadi berbagai UU, seperti RUU Pertanahan.
"Fakta sampai pada hari ini, wujud dari pelaksanaan reforma agraria itu, semakin lama, semakin dipisah-pisah, dipreteli satu persatu," ujar Rifai dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, sekitar 36 juta petani yang bergantung pada sumber agraria terancam kehilangan akses perekonomiannya. Terlebih, sekitar 14 juta di antaranya hanyalah petani gurem dengan kepemilikan tanah hanya seluas kurang dari 0,5 hektar.
Lebih lanjut, Rifai menjelaskan, petani akan menjadi imigran atau kaum urban yang menimbulkan permasalahan sosial baru bila tidak mempunyai tanah. Di sisi lain, pemerintah malah memprioritaskan investasi dan korporasi.
Bahkan, kata dia, pemerintah tidak menganggap petani dan hasil pertaniannya sebagai bagian dari investasi.
"Ini adalah salah satu fakta bahwa pemerintah dan DPR belum memiliki political will atau keberpihakan kepada petani" ujar Rifai.
Senada dengan Rifai, Solidaritas Perempuan Dinda Nur Annisa Yura menyebut pemerintah pro investasi dan menganggap aktivis dan rakyat yang melawan sebagai musuh. Menurutnya, RUU Pertanahan hanya memperparah konflik agraria yang terjadi antara petani dengan pemerintah atau petani dengan korporasi. Dalam konteks petani perempuan, kata dia, mereka sangat rentan menjadi korban konflik agraria.
"Konflik agraria menyebabkan ketimpangan berlapis (bagi perempuan) karena tidak hanya persoalam trauma yang dialami perempuan korban, tetapi juga perkara beban konsumsi sosialnya, seperti memikirkan (perekonomian) keluarga. Bahkan, sering terjadi harus beralih profesi yang tadinya petani, kemudian tanahnya dirampas, menjadi pekerja serabutan, buruh cuci, bahkan keluar negari menjadi TKI dengan situasi yang sangat minim dari perlindungan," imbuhnya.