Ketua Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Siti Rakhma Mary, mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dinilai akan membuat masyarakat kecil tak mempunyai tanah. Pasalnya, RUU tersebut lebih banyak mengakomodir kepentingan pengusaha atau korporasi.
Menurut Rakhma, RUU Pertanahan dibuat untuk menggeser Undang-Undang Pokok Agraria yang saat ini berlaku. Para pemilik modal atau korporasi, kata Rakhma, merasa terhalang dengan keberadaan UU Pokok Agraria karena terdapat pasal-pasal yang menghalangi korporasi untuk menanamkan modal seluas-luasmya.
Karena sulitnya pemodal masuk, kata Rakhma, Asian Development Bank sampai-sampai pernah berusaha menggantikan kedudukan UU Pokok Agraria. Namun, upaya tersebut gagal. Tanpa melibatkan masyarakat dalam proses perencanaannya, tiba-tiba muncul RUU Pertanahan.
“Tiba-tiba saja beredar (RUU Pertanahan) dan kita semua terkaget-kaget karena memang isinya mengagetkan,” kata Rakhma dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (8/8).
Menurut Rakhma, apabila RUU Pertanahan tetap dipaksakan dan kemudian disahkan, maka dapat merugikan masyarakat kecil. Semakin sulit bagi masyarakat kalangan bawah untuk memiliki tanah karena kalah modal dengan korporasi.
“Masyarakat akan semakin terinjak-injak oleh kepentingan korporasi,” ujar Rakhma.
Rakhma menuturkan, ada dua poin yang perlu dikritisi dalam RUU Pertanahan. Poin pertama terkait pembentukan bank tanah. Berikutnya, soal hak pengelolaan tanah.
Di RUU Pertanahan, bank tanah yang akan dibentuk nantinya merupakan badan hukum milik negara yang fungsinya menjalankan kegiatan perolehan, pengelolaan, dan penyediaan tanah secara nasional dan terpadu.
Adapun aset kekayaan bank tanah nantinya dipisahkan dari keuangan negara. Selama pelaksanaannya, kata Rakhma tanggung jawab kemungkinan akan diberikan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Satu hal soal bank tanah, bagaimana semua tanah nanti yang dianggap menganggur itu akan masuk ke dalam bank,” tuturnya.
Selanjutnya, terkait hak pengelolaan. Rakhma menyebut sebetulnya tidak dikenal adanya istilah hak pengeloaan dalam UU Pokok Agraria. Namun di dalam RUU Pertanahan, hak pengelolaan terkait tanah akan diberikan secara bulat-bulat kepada perusahaan atau badan hukum.
“Misalnya, negara menguasai satu tanah kosong. Anggap saja luasnya sepuluh hektare, lalu itu bisa diberikan kepada satu perusahaan,” ucapnya.
Menurut Rakhma, RUU Pertanahan harus menjelaskan soal kepastian hukum tentang kepemilikan tanah dan penguasaannya. Bukan seperti yang ada sekarang ini, yang justru membuka pintu sangat lebar bagi korporasi untuk menguasai tanah melalui bank tanah dan hak pengelola.
Selain dianggap mengakomodir para pemilik modal, Rakhma turut berpendapat bahwa RUU Pertanahan juga tak menyentuh penyelesaian konflik agraria. Sampai saat ini pun YLBHI masih menerima aduan konflik struktural terkait agraria.
Berdasarkan catatan di tahun 2018 yang dihimpun dari 15 kantor lembaga bantuan hukum, ada sekitar 300 aduan terkait konflik agraria. Sebagian besar konflik tersebut berkaitan dengan persoalan lahan perkebunan dan hutan. Persoalan tersebut pun tidak terselesaikan karena ketiadaan lembaga pemerintah yang melaksanakan kewajibannya dengan benar.
"Kenapa konflik tidak selesai? Karena keberpihakan pemerintah kepada pemilik modal," ucap Rakhma.