Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dinilai sesat pikir. Pangkalnya, wajib belajar dikonsepkan sebagai kewajiban orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
"Ditambah lagi kewajiban orang tua untuk menanggung biaya pendidikan," ujar pengamat pendidikan dari Vox Populi Institute, Indra Charismiadji, dalam keterangannya, Senin (19/9).
Dia menerangkan, Program Education for All UNESCO mengamanatkan pemerintah memberikan akses kepada seluruh warga negara agar dapat bersekolah. "Itu 100% dibiayai oleh negara dan bukan oleh masyarakat."
"Pemikiran dalam RUU Sisdiknas ini membahayakan masa depan pendidikan karena tidak sesuai konstitusi," imbuh dia.
Menurut Indra, pemerintah dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas telah dimandatkan menggelar wajib belajar. Kemudian menteri terkait menjadi penanggung jawab pendidikan.
Sayangnya, imbuh dia, menteri sekarang justru bertugas sebagai penyelenggara pendidikan. Imbasnya, capaian visi Indonesia Emas 2045 diyakini akan terpengaruh.
Sementara itu, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (BSKAP Kemendikbudristek), Anindito Aditomo, sebelumnya mengklaim, RUU Sisdiknas tak mengubah konsep wajib belajar. "Pemerintah tetap berkewajiban membiayai wajib belajar."
"Ini secara eksplisit dinyatakan di Pasal 7, yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyelenggarakan wajib belajar sesuai dengan kewenangannya dan Pasal 57 ayat (1), yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan pendanaan untuk penyelenggaraan wajib belajar," sambungnya.
Anindito justu sesumbar, RUU Sisdiknas memperluas cakupan wajib belajar, yang semulanya 9 tahun, menjadi 12 tahun. "Perincian anggaran sedang disimulasikan oleh Kemendikbudristek bersama Kemenkeu (Kementerian Keuangan)."