Ruwet mengelola limbah medis infeksius Covid-19
Delapan bulan lebih pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Selain menekan angka kasus infeksi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19, penanganan limbah medis infeksius—masker, sarung tangan, tisu, jarum suntik, dan botol infus, dan lain-lain—di fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas menjadi pekerjaan rumah.
Menurut data dari Direktorat Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), setidaknya sejak Maret hingga Oktober 2020, ada kenaikan jumlah limbah medis hingga 30%-50% dari tahun lalu.
Sedangkan survei Indonesian Environmental Scientists Association (IESA) bekerja sama dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) menlaporkan, sebelum pandemi jumlah rata-rata limbah medis per hari 18,6 ton. Di masa pandemi, dari Maret hingga Mei 2020, rata-rata total 26,4 ton per hari, meningkat 46%.
Asian Development Bank (ADB) menyebut, selama pandemi Covid-19 di Provinsi Hubei, China, limbah medis meningkat 600%, dari 40 ton menjadi 240 ton per hari. Negara lain juga menghadapi tantangan bertambah dan menumpuknya limbah medis, selama pandemi masih berlangsung. Tak terkecuali kota-kota besar di negara Asia Tenggara.
ADB memperkirakan, pertambahan limbah medis di Manila, Filipina, paling besar di antara kota-kota besar lainnya di Asia Tenggara. Menurut ADB, perkiraan pertambahan limbah medis di Manila mencapai 280 ton per hari. Sementara peringkat kedua ada di Jakarta, dengan pertambahan limbah medis sebanyak 212 ton per hari.
Timpang pengelolaan
Berbagai cara dilakukan pengelola rumah sakit untuk mengatasi timbunan limbah medis. Di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso, Jakarta Utara, mekanisme pengolahan limbah medis dilakukan beberapa tahap.
Direktur RSPI, Mohammad Syahril menyebut, tahapan itu mencakup pemilahan limbah, pewadahan, pengangkutan, penyimpanan sementara, pencatatan, dan pengolahan. Pengolahan limbah medis itu diperlakukan seperti manajemen penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Untuk limbah medis pasien Covid-19, ia menyebut ada metode tambahan.
“Dilengkapi dengan disinfeksi pada kemasan limbah medis Covid-19, supaya virus SARS-CoV-2 dapat rusak atau hancur,” ucap Syahril saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (24/11).
Penyemprotan disinfektan itu dilakukan ketika limbah medis infeksius disimpan di tempat penampungan sementara (TPS) khusus limbah B3. Setelah itu, limbah medis dicatat, lalu disalurkan ke perusahaan pengolah limbah rekanan RSPI.
“Cara kami sudah memenuhi standar pengolahan dari Kemenkes. Termasuk soal kewaspadaan dari penularan penyakit, kami pastikan aman,” ujarnya.
Sementara di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet, Jakarta Pusat, pemusnahan limbah medis dilakukan menggunakan fasilitas insinerator—tungku perapian bertemperatur di atas 800 derajat Celsius. Menurut koordinator operasional RSDC Wisma Atlet, Kolonel Stefanus Dony, pihaknya memanfaatkan mobil insinerator hibah dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Ada empat sampai delapan mobil insinerator yang disiapkan setiap hari di dalam kawasan RSD Wisma Atlet untuk mempercepat pemusnahan limbah medis,” kata Dony saat dihubungi, Rabu (25/11).
Insinerator itu diutamakan untuk limbah medis berukuran kecil, seperti masker, tisu, jarum suntik, sisa makanan pasien, serta peralatan yang ada di ruang isolasi dan perawatan. Selain itu, limbah medis infeksius dikelola lewat kerja sama pihak ketiga.
Dalam sehari, RSDC Wisma Atlet menghasilkan 100-an kantong limbah medis. Paling tidak, kata Dony, hanya 20-30 kantong yang diolah dengan metode insinerasi. Sisanya dikelola pihak ketiga. Sebelum disalurkan ke perusahaan pengolah limbah, tumpukan kantong limbah medis disimpan di ruang khusus di tower tujuh, cukup jauh dari ruang isolasi pasien Covid-19.
Akan tetapi, penanganan limbah medis infeksius di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat bawah, seperti puskesmas, tak sebaik di rumah sakit rujukan Covid-19. Berdasarkan survei Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) awal November lalu, setidaknya ada 18 puskesmas di wilayah Jakarta yang menerapkan cara mencuci dan menggunakan ulang alat pelindung diri (APD).
Jumlah tersebut dihasilkan dari 41 puskesmas di Jakarta yang mengikuti survei. Kondisi itu mayoritas disebabkan keterbatasan persediaan APD bagi tenaga medis di puskesmas.
“Sebanyak 66% puskesmas yang menjadi responden mengungkapkan, masih mengalami keterbatasan masker N95, 43% kekurangan gaun medis, dan 40% kekurangan masker bedah,” kata Direktur Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda ketika dihubungi, Selasa (24/11).
Ia menyebut, keterbatasan APD terjadi di Puskesmas Cempaka Putih, Cililitan, dan Tanjung Priok. Kepala Puskesmas Kelurahan Tanjung Priok, Ayu Sri Wahyuni membenarkan pihaknya mengalami keterbatasan jumlah APD, terutama pada awal Mei dan Juni lalu.
“Idealnya memang disediakan lebih, tetapi di kami agak sedikit karena memang jumlah petugas juga tidak banyak seperti di puskesmas kecamatan,” katanya saat ditemui di Jakarta, Rabu (25/11).
Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes Vensya Sitohang mengungkapkan, jumlah limbah medis nasional yang dihasilkan fasilitas pelayanan kesehatan pada 2019 mencapai 295 ton per hari. Pada 2020, setiap hari sebanyak 88 ton limbah medis belum bisa diolah dengan baik.
“Itu juga mencakup limbah medis dari penanganan Covid-19,” kata Vensya saat dihubungi, Selasa (24/11).
Ia menjelaskan, sumbangan bertambahnya limbah medis semasa pandemi terkendala dengan terbatasnya metode pengolahan di rumah sakit. Dari sekitar 2.900 rumah sakit dan 10.000 puskesmas di Indonesia, baru ada empat rumah sakit yang memiliki izin menjalankan metode autoklaf (penguapan). Ketimpangan itu membuat penanganan limbah medis kerap terhambat.
Lebih lanjut, Vensya menjabarkan, ada empat prinsip pengelolaan limbah medis yang sudah ditetapkan Kemenkes. Pertama, prinsip tanggung jawab, yang dibebankan bagi penghasil limbah secara hukum dan finansial.
Kedua, prinsip kewaspadaan, yang mengutamakan perlindungan kesehatan dan keselamatan. Ketiga, prinsip kehati-hatian, agar terhindar dari risiko fisika, kimia, dan biologi. Keempat, prinsip jarak antara pihak penghasil dan pengolah limbah.
“Harus diperhatikan betul jarak tersebut dalam pengelolaan limbah, harus dalam jarak yang cukup aman,” kata dia.
“Faktor risiko dari penanganan limbah medis ini tak bisa diabaikan oleh manusia, juga dampak bagi lingkungan.”
Apa cara paling aman?
Kemenkes sendiri sudah mengeluarkan aturan terkait limbah medis infeksius dari rumah tangga dan fasilitas pelayanan kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/537/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Limbah dari Kegiatan Isolasi atau Karantina Mandiri di Masyarakat dalam Penanganan Covid-19.
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pedoman limbah medis infeksius. Di dalam pasal 59 ayat 1 disebutkan, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkan. Sedangkan dalam pasal 59 ayat 3 disebutkan, dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan imbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga sudah menerbitkan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SE.02/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Covid-19.
Di dalam beleid itu disebut, pemerintah daerah bisa menyediakan sarana seperti dropbox untuk pengelolaan limbah medis dari rumah tangga. Sementara untuk limbah dari fasilitas pelayanan kesehatan, disarankan dimusnahkan dengan insinerator atau kiln semen.
Pengurus bidang politik dan kesehatan dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sekaligus epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif sepakat dengan segala peraturan yang sudah diterbitkan pemerintah, terkait pengelolaan limbah medis.
“Umumnya limbah dari penanganan Covid-19 dibakar pakai insinerator. Dibakar itu sudah yang paling aman,” ujar Syahrizal saat dihubungi, Rabu (25/11).
Metode itu dianggap paling ampuh menjamin semua virus yang melekat di segala peralatan kesehatan bekas bisa mati. Selain itu, ia menilai, cara tersebut tak berisiko mencemari lingkungan.
Namun, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung tak setuju dengan metode insinerasi. Ia menilai, cara tersebut justru berdampak negatif terhadap lingkungan karena uap hasil pembakaran menjadi racun yang tersebar di udara.
“Terutama bila rumah sakit berada di dekat permukiman warga,” kata dia saat dihubungi, Selasa (24/11). “Setidaknya lokasinya harus jauh.”
Ia lebih menyarankan mengatasi limbah medis infeksius menggunakan metode autoklaf. Menurut dia, metode itu sudah bisa menghilangkan sifat infeksius dari limbah medis.
“Cara autoklaf sudah umum dilaksanakan di rumah sakit untuk kebutuhan pengecekan alat laboratorium,” ujarnya.
“Pembiayaan dengan autoklaf sudah menjadi standar operasional biasa di rumah sakit.”
Jenis limbah medis yang bisa ditangani dengan metode autoklaf, di antaranya botol infus, masker, dan perlengkapan APD. Cara penguapan, kata dia, juga lebih efisien dilakukan rumah sakit dibandingkan harus menyalurkannya ke pihak ketiga, yang membuat beban biaya makin membengkak.
“Lebih mahal ongkosnya bagi rumah sakit. Padahal dana rumah sakit juga terbatas,” katanya.
Meski begitu, Dwi mengakui autoklaf masih cukup sulit diterapkan sebagian rumah sakit karena kendala teknis. Dwi juga mengusulkan limbah medis disinari dengan ultraviolet yang tinggi atau disemprot disinfektan sebelum disalurkan ke tempat pembuangan akhir (TPA). Terakhir, ia menyarankan pemerintah lebih cepat mengucurkan bantuan tambahan untuk pengelolaan limbah medis.
“Rumah sakit sudah sibuk ngurusin pasien Covid-19 daripada ke limbahnya,” kata dia.