Saat keadilan restoratif menyelamatkan 'orang-orang kecil' dari jeruji
Nur Alif masih tak menyangka bakal tersangkut persoalan hukum lantaran mengambil kayu manis dari area hutan di kaki Gunung Sumbing, Temanggung, Jawa Tengah. Bersama sang paman, Trimo, ia dituduh mencuri kayu manis yang ternyata berada di lahan milik Perhutani.
"Saya enggak tahu kalau (kayu manis) itu enggak boleh diambil. Saya lihat banyak orang lain ambil. Karena saya butuh uang, saya ikut ambil. Andai orang-orang enggak ambil, ya, saya enggak akan ambil," kata Alif saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (15/3).
Kejadian sial itu bermula saat Alif diajak sang paman mencari lumut untuk keperluan tanaman hias di kaki Gunung Sumbing, Juli lalu. Ketika itu, keduanya memasuki kawasan hutan Perhutani yang ada di kaki Gunung Sumbing melalui Desa Jetis, Selopampang, Temanggung.
Alif dan Trimo tak menemukan jenis lumut yang mereka cari. Keduanya pun memutuskan untuk pulang ke rumah mereka di Magelang. Saat turun dari kaki gunung, mereka melihat sejumlah warga yang sedang "memanen" kayu manis. "Saya tanya ke mereka, 'Pak boleh di ambil?' Mereka jawab, 'Boleh'," ucap Alif.
Karena tak ingin pulang tanpa hasil, Alif dan Trimo pun turut mengambil bongkah-bongkah kayu manis di area tersebut. Ada sekitar 40 kilogram kayu yang mereka kantongi ketika itu. "Lalu kami jual kepada warga sekitar kampung kami. Sekilonya Rp12 ribu," kata Alif.
Keesokan harinya, Alif dan Trimo kembali mencari kayu manis di kaki Gunung Sumbing. Nahas, gerak-gerik keduanya telah dipantau. Saat hendak pulang, mereka diadang sejumlah warga. "Mereka tanya apa isi karung yang kami bawa, 'Ini apa, Mas?' Saya jawab, 'Kayu manis,'" tutur Alif.
Alif dan Trimo langsung dikerubungi warga desa. Ketika itu, Arif merasa ada yang tak beres. Tak lama, aparat kepolisian Polsek Tembarak, Temanggung, tiba di lokasi. "Ternyata ada warga yang lapor ke polisi. Saya takut banget itu," kata Alif.
Kepada polisi, Alif mengaku tak tahu tanaman kayu manis yang ada di area kaki Gunung Sumbing ternyata milik Perhutani. Namun, alibi Alif tak digubris polisi. Alif dan Trimo kemudian digelandang ke kantor polisi.
Usai penyidikan, keduanya ditetapkan sebagai tersangka. Selama 52 hari, Alif dan Trimo mendekam di tahanan Polres Temanggung. "Berhari-hari saya di sana, saya sampai kepikiran anak istri. Siapa yang bakal kasih makan?" kata Alif.
Dari sebuah video, pendiri Rumah Pancasila, Yosep Parera mengetahui kasus yang menimpa Alif dan Trimo. Tanpa pikir panjang, Yosep mengirimkan tim hukum ke Temanggung untuk mencari tahu duduk perkara kasus tersebut.
"Saya mikir, kasus begini aja kok orangnya mesti ditahan. Wah, Kapolresnya enggak benar ini. Tapi, kasus ini ternyata sudah P21 alias sudah dinyatakan lengkap dan tinggal sidang," kata Yosep kepada Alinea.id, Senin (14/3).
Tak patah arang, Yosep ikut turun ke Temanggung untuk mencari cara menghentikan perkara. Ia juga bertemu dengan keluarga Alif dan Trimo di Magelang. Usai pertemuan dengan pihak keluarga, Yosep kian membulatkan tekad untuk menyelamatkan Alif dan Trimo.
"Saya bisa bilang (mereka keluarga) miskin. Anak dari salah satu dari mereka ada yang gizi buruk. Mereka makan hanya dengan nasi jagung dan tempe gembus. Mereka juga tidak punya KTP. Saya merasa ini enggak adil," kata Yosep.
Yosep lantas bersurat kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Ia meminta agar kasus dugaan pencurian yang menjerat Alif dan Trimo diselesaikan menggunakan pendekatan restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif sebagaimana isi Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Kejaksaan RI.
Sesuai aturan itu, pendekatan RJ bisa digunakan untuk menyelesaikan perkara pidana yang berfokus pada pelaku dan korban lewat kesepakatan mediasi. Syarat-syaratnya, semisal pidana itu bukan perbuatan berulang, ancaman hukuman di bawah 5 tahun dan nilai kerugian di bawah Rp2,5 juta.
Permohonan Yosep dikabulkan kejaksaan. Kejaksaan Negeri Temanggung lantas menggelar mediasi mempertemukan pihak-pihak yang berpekara. Selain Alif dan Trimo, perwakilan Perhutani, tiga kepala desa, polisi, dan pemuka agama juga hadir dalam proses mediasi tersebut.
Proses mediasi itu berjalan lancar. Perhutani setuju mencabut perkara. Alif dan Trimo hanya diminta membayar ganti rugi Rp3juta. Dengan sukarela, Yosep membayar biaya ganti rugi itu. Perhutani mengembalikan duit Yosef kepada Alif dan Trimo sebagai dana bantuan untuk warga miskin.
"Hari itu saya antar mereka berdua (Alif dan Trimo) pulang," kata Yosep.
Kepada Alinea.id, Alif mengaku bersyukur kasusnya bisa diselesaikan secara damai. Meski kadung dicap sebagai pencuri oleh warga desa, Alif pasrah. "Ya, sudah. Yang penting perkara yang menimpa saya itu jadi pelajaran saya," kata Alif.
Semakin rutin digunakan
Penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif saat ini memang sedang gencar dijalankan Polri dan Kejaksaan Agung. Di kepolisian, arahan untuk mengenjot pengunaan pendekatan RJ tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam beberapa bulan terakhir, tercatat ada sejumlah kasus "viral" yang diselesaikan lewat mekanisme RJ. Salah satunya ialah kasus yang menjerat Rinaldi Gunawan, mahasiswa asal Sumedang, Jawa Barat. Rinaldi didakwa mencuri ponsel dan helm milk pelajar SMA di Majalengka, awal Maret lalu.
Dari hasil penyelidikan, Rinaldi diketahui mencuri untuk menutupi tunggakan biaya kuliah sebesar Rp10 juta. Pihak korban iba dan bersedia mencabut perkara. Setelah dua bulan mendekam di penjara, Rinaldi dibebaskan polisi.
Kasus "viral" lainnya melibatkan Munir Alamsyah, eks guru honorer SMPN 1 Cikelet, Garut, Jawa Barat. Awal Januari lalu, Munir membakar sebagian ruang kelas SMPN 1 Cikelet. Ia mengamuk lantaran honornya sebesar Rp6 juta tidak dibayar sekolah.
Polres Garut memutuskan menyelesaikan kasus itu dengan pendekatan RJ lantaran kerugian dialami pihak sekolah ditaksir relatif kecil. Selain itu, Munir juga tidak pernah melakukan tindakan kriminal sebelumnya alias bukan residivis.
Yosep menuturkan polisi dan jaksa belakangan memang kian terbuka dengan pendekatan RJ sebagai solusi menyelesaikan perkara. Dengan RJ, Rumah Pancasila bahkan bisa menuntaskan 100 kasus per tahun. "Kejahatan penggelapan, penipuan, penganiayaan dan penipuan," kata Yosef.
Meski efektif, Yosep mengakui pendekatan RJ juga rawan disalahgunakan. Di sejumlah kasus yang melibatkan jumlah duit yang besar, ia menemukan ada oknum jaksa dan polisi yang meminta "honor" untuk mengupayakan pendekatan RJ dalam menyelesaikan perkara.
"Di sisi lain, kami masih banyak menemukan orang-orang yang menjadi korban pemidanaan polisi yang semestinya bisa diselesaikan dengan RJ. Saya sering sekali saat melakukan kunjungan ke LP menemukan anak kecil yang dipenjara hanya karena curi besi atau kasus ringan lainnya. Ada banyak fakta mengerikan di lapangan," kata Yosep.
Rizky Sianipar, advokat dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), membenarkan kasus-kasus kecil kian mudah diselesaikan dengan pendekatan RJ. Itu berbasis pengalamannya mendampingi pelaku dalam sejumlah kasus pidana.
"Seperti waktu itu saya mendampingi seorang ibu yang mencuri baju di kawasan Depok. Saat itu si ibu mencuri karena tidak mampu baju baru untuk Lebaran. Semula mau ditahan, tapi akhirnya kita selesaikan dengan ganti rugi lebih kurang Rp1 juta," kata Rizky kepada Alinea.id.
Lebih jauh, Rizky mengapresiasi upaya Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk menggenjot penggunaan perspektif RJ. Menurut dia, pendekatan RJ sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang cenderung menyelesaikan masalah menggunakan musyawarah.
Di sisi lain, ia sepakat RJ juga rawan disalahgunakan oknum polisi dan jaksa. "Kalau kasusnya, misalnya, pemerkosaan. Lha, terus pakai RJ? Enggak tepat. Cuma kadangkala polisi di lapangan itu juga banyak yang belum menerapkan ini. Perspektifnya masih ke pengadilan," jelas Rizky.
Kasubdit Penindakan dan Pelanggaran (Dakgar) Ditgakkum Korlantas Polri, Kombes I Made Agus Prasatya mengatakan pendekatan RJ kini digunakan divisinya saat menindak truk over dimensi dan over loading (ODOL) yang sejak lama dianggap biang keladi kerusakan jalan dan kecelakaan di jalan raya.
"Restorative justice kami masukkan dalam kegiatan preemtif. Adapun kegiatan normalisasi (bentuk truk) dilakukan oleh perusahaan," kata Agus saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (19/3).
Sepanjang Januari hingga Maret 2022 saja, menurut Agus, ada sebanyak 243.445 kasus pelanggaran truk ODOL yang digarap Dirlantas Polri di seluruh Indonesia. Mayoritas kasus diselesaikan menggunakan pendekatan RJ.
Awasi pemberlakuan RJ
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti meminta aparat penegak hukum berhati-hati memberlakukan pendekatan RJ dalam menuntaskan perkara pidana. Menurut dia, RJ rawan disalahgunakan dan masih banyak penegak hukum tidak memahami tipologi kasus yang sesuai dengan pendekatan RJ.
"Celakanya lagi terkadang ada dugaan RJ dilakukan dengan motif pragmatis, yakni kasus segera selesai dan ada keuntungan. Penyidik juga rentan kurang memahami RJ, misalnya, kasus perkosaan diselesaikan melalui RJ, seperti kasus di Serang," kata Poengky kepada Alinea.id, Selasa (15/3).
Kasus yang dimaksud Poengky ialah dugaan pemerkosaan terhadap seorang gadis penyandang disabilitas di Serang, Banten. Kasus itu ditangani Polres Serang pada awal Januari 2022. Belakangan, Polres Serang menghentikan penyidikan lantaran laporan dicabut.
Saat ini, penyidik yang menempuh jalan damai dalam kasus tersebut tengah diperiksa Polda Banten. Kasus itu dipersoalkan Kompolnas lantaran perkosaan bukan delik aduan yang tidak sepatutnya dihentikan penyidikannya karena alasan keadilan restoratif.
Meski masih punya beragam celah, Poengky sepakat pendekatan RJ perlu diarusutamakan untuk penanganan kasus-kasus pidana kecil. Menurut dia, pendekatan tersebut bisa membantu Polri mencegah penumpukan perkara dan mengurangi overkapasitas di lapas.
"Penyelesaian perkara-perkara ringan agar tidak berlarut-larut. Tapi, tidak hanya di kepolisian saja yang menerapkan RJ, kejaksaan dan pengadilan juga perlu menerapkan RJ," kata eks Direktur Eksekutif Imparsial itu.
Menurut catatan Polri, ada 11.811 perkara pidana ringan yang diselesaikan menggunakan mekanisme RJ sepanjang 2021. Adapun di kejaksaan, tercatat ada 821 perkara di seluruh Indonesia diselesaikan melalui cara tersebut sejak peraturan Jaksa Agung RI No. 15/2020 dirilis.
Guru besar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hibnu Nugroho setuju pendekatan RJ perlu jadi perspektif aparat penegak hukum di semua instansi yang berwenang menangani perkara. Khusus di kepolisian, RJ diberlakukan untuk memaksimalkan peran Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
"Jadi, (perkara) belum masuk ranah hukum. Jaksa harus melihat jenis tindak pidananya perbuatannya sehingga tidak dilakukan. Apakah perlu dilanjutkan ke pengadilan atau diselesaikan dengan RJ," kata Hibnu kepada Alinea.id, Senin (13/3).
Hibnu menjelaskan pendekatan RJ merupakan hal yang lazim dipraktikan di negara-negara yang menganut common law. Dengan mengadopsi RJ, Hibnu berharap pola pikir penegak hukum saat menghadapi kasus-kasus pidana "receh" juga turut berubah. Sederhananya, Hibnu menyebut 'pencuri ayam tak perlu masuk penjara.'
"Saya rasa perkembangan baru itu harus direspons dengan cara berpikir yang baru. Jangan pakai cara berpikir lama untuk melihat perkara-perkara saat ini. Sebab, pada dasarnya hukum bergerak ke depan sesuai dengan dinamika masyarakat," kata Hibnu.