Saat label teroris melekat pada NII
Kelompok Negara Islam Indonesia (NII) dianggap "naik kelas". Tak hanya berstatus sebagai kelompok radikal, organisasi itu kini kian jamak dikategorikan kelompok teroris. Dari serangkaian penangkapan terhadap anggotanya di berbagai daerah, kepolisian menyimpulkan NII tengah mempersiapkan aksi teror di Indonesia.
"Program (produksi senjata) itu sudah berjalan oleh mereka. Sudah ada orangnya dan punya kontak itu. Itu akan menjadi tempat membuat persenjataan. Itu yang di Sumatera Barat,” ujar Kepala Bagian Bantuan Operasi (Kabagbanops) Densus 88 Antiteror Polri, Kombes Aswin Siregar kepada Alinea.id, Rabu (13/4).
Salah satu barang bukti yang ditemukan ialah perkakas pandai besi yang bakal digunakan untuk membuat senjata. Bukti-bukti itu didapat dari penyisiran personel Densus 88 di Kabupaten Dharmarasya dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Jumat (25/3) lalu. Dari dua kabupaten itu, Densus 88 juga menangkap 16 kader NII.
Dari identifikasi bukti-bukti dan keterangan para saksi, menurut Aswin, kelompok NII sudah rutin menggelar pelatihan militer (idad) terhadap para anggotanya. Tanpa merinci, ia juga menyebut kelompok tersebut sudah punya rencana untuk menggelar aksi-aksi teror.
“Kemudian, pola atau struktur yang bersifat klandestin ayau tersembunyi, dan lain-lain yang menyangkut barang bukti yang holistik. Sehingga (kepolisian) menetapkan kasus NII ini adalah kasus terorisme,” terang Aswin.
Pada mulanya, NII ialah gerakan pemberontak. Kelompok ini awalnya didirikan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Pada 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya NII di Desa Cisampah, Tasikmalaya, Garut.
Setelah membentuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Kartosuwiryo melancarkan pemberontakan di sejumlah daerah di Jawa dan Sumatera. Namun, pemberontakan itu dipadamkan. Setelah ditangkap, Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati pada 1962.
Meski tanpa Kartosuwiryo, kelompok tersebut tak benar-benar tenggelam. Bergerak di bawah tanah, NII menjadi wadah berkumpulnya kaum radikal. Salah satu jebolan NII adalah Abu Bakar Ba'asyir yang kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah (JI).
Menurut Aswin, NII kini menjadi penyuplai kader bagi kelompok-kelompok teroris di Indonesia. Selain di JI, eks anggota NII juga terendus pindah ke Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan sejumlah organisasi teroris lainnya.
"Proses (kaderisasi di NII) itu seperti pembibitan kepada kelompok teror di masa yang akan datang, baik itu kelompok baru atau menguatkan kelompok teror lainnya. Kita mempertimbangkan seperti itu," jelas Aswin.
Sebagai organisasi yang dilabeli kelompok teroris, NII hampir tidak pernah menggelar aksi teroris. Satu-satunya aksi teroris yang ditengarai melibatkan NII ialah penyerangan Mapolda Riau pada 16 Mei 2018.
Ketika itu, polisi sempat menyebut para pelaku berasal dari NII. Namun, pernyataan itu direvisi Tito Karnavian, Kapolri ketika itu. Menurut Tito, penyerang Mapolda Riau terkait dengan JAD pimpinan Aman Abdurrahman.
Aswin meyakini NII tetap berbahaya. Apalagi, bentuk jaringan NII berupa sel-sel terputus yang bisa beroperasi sendiri. Dari hasil penyidikan Densus 88, NII juga kian intens merekrut anggota baru di berbagai daerah.
Ia mengingatkan agar masyarakat, khususnya para orang tua, mewaspadai penyebaran paham radikal yang dilakukan NII. Pasalnya, Densus 88 menemukan ada setidaknya 126 kader NII yang direkrut ketika masih remaja.
"Pencegahan di ranah doktrin itu tanggung jawab kita semua, terutama dari level keluarga untuk membentengi (anak-anak) dari ideologi radikal seperti ini,” imbuh Aswin.
Potensial menyerang balik
Eks anggota NII Ken Setiawan menganggap wajar jika NII kini kian lazim dikategorikan sebagai kelompok teroris. Menurut dia, paham yang dianut NII serta tujuan yang ingin dicapai organisasi tersebut memang serupa dengan organisasi teroris lainnya.
“Sebenarnya tidak naik level, tetapi hanya karena doktrinnya saja yang menganggap kalau kondisi saat ini jahiliyah. Hari ini dianggap kondisinya (sedang) perang. Jadi, mereka berjuang dengan cara seperti itu,” terang Ken kepada Alinea.id, Senin (11/4).
Ken bergabung dengan NII pada awal tahun 2000. Ia sempat dianugerahi sebagai salah satu perekrut kader terbaik oleh salah satu gubernur NII. Setelah tiga tahun berkecimpung di NII, Ken keluar dan mendirikan NII Crisis Center.
Menurut Ken, ada tiga ajaran pokok yang berkembang di NII. Pertama, iman terhadap Islam. Kedua, hijrah. Terakhir, jihad. Tiga nilai ajaran pokok itu berakar dari paham wahabi dan salafi yang diimpor dari Arab Saudi.
Berbasis tiga ajaran pokok itu, menurut Ken, kader NII harus tinggal di negara berbasis syariat. Itulah kenapa NII berseberangan dengan konsep NKRI dan menolak ideologi Pancasila. Berbagai upaya, termasuk di antaranya menggelar aksi teror, dilakukan NII untuk mengubah bentuk negara.
“Jadi, kalau kita bilang semua teroris di Indonesia itu 80% ibu kandungnya NII. Jadi, pada mereka itu sudah tertanam nilai-nilai radikal, benci dengan Pancasila. Memang, orang yang radikal belum tentu jadi teroris, tetapi teroris pasti radikal," tutur Ken.
Berbasis catatan Densus 88 Polri, jaringan kader NII kini telah tersebar berbagai wilayah di Tanah Air, semisal di Jawa Barat, Banten, Lampung, Maluku, Sulawesi, Aceh, dan Sumatera Barat.
Khusus di Sumatera Barat, Polri mencatat jumlah anggota NII mencapai 1.125 orang. Rinciannya, sebanyak 833 kader NII ada di Dharmasraya, sedangkan 292 anggota lainnya berada di Tanah Datar. Namun demikian, hanya sekitar 400 orang yang bertatus personel aktif.
Sepanjang 2022, sudah ada sebanyak 24 orang terduga teroris dari NII yang digulung Densus 88. Awal April lalu, Densus 88 menangkap lima anggota NII di Tangerang, Banten. Pada tahun-tahun sebelumnya, Densus 88 juga rutin mencokok terduga teroris yang terafiliasi dengan NII.
Meski mengapresiasi langkah Densus 88 Polri, Ken menilai rangkaian penangkapan terhadap anggota NII bisa jadi bumerang. Jika terus dikebiri ruang geraknya, ia khawatir sel-sel di NII kian militan dan nekat menggelar aksi-aksi terorisme.
“Jadi, sangat mungkin terjadi (kelompok itu melakukan aksi teror). Pasti, ya, mereka marahlah kalau ada saudara atau kawannya ditangkap. Enggak mungkin mereka diam diri. Mereka menunggu saat tibanya konflik,” tutur Ken.
Dua sisi NII
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid menilai NII telah menerapkan strategi yang biasa dipakai oleh kelompok-kelompok teroris yang beroperasi di Indonesia.
Pertama, menggelar taqiyyah atau menyembunyikan jati diri dan akidah agama yang mereka percayai. Kedua, melakukan tamkin atau penguasaan suatu wilayah dan memperluas pengaruh. Ketiga, melakukan indoktrinasi pada para pegawai pemerintahan strategis.
“Mereka (NII), kan, minoritas. Untuk itu, mereka cenderung untuk mengadu domba, membuat konflik. Dengan begitu, mereka bisa cepat mengambil alih kekuasaan. Sehingga mereka juga menginfiltrasi di lembaga negara yang strategis,” ujar Nurwakhid saat dihubungi Alinea.id, Rabu (13/4).
Menurut Nurwakhid, wajar jika NII kemudian disebut-sebut bertransformasi menjadi kelompok teroris. Apalagi, gagasan mendirikan pada mulanya dicetuskan oleh NII pimpinan Kartosuwiryo dan diadopsi kelompok-kelompok teroris lainnya.
"Ideologi NII tergolong radikalisme lantaran bercita-cita ingin merubah tatanan Indonesia dengan menganut syariat Islam. Fase seorang menjadi teroris itu mempunyai paham radikalisme. Jadi, NII itu adalah ibu kandung atau induk dari jaringan terorisme lokal,” ujar Nurwakhid.
Untuk menggerus eksistensi NII, Nurwakhid mengatakan, pemerintah telah menggelar sejumlah langkah strategis. Pada sisi penegakan hukum, Densus 88 Polri dikerahkan di bawah koordinasi BNPT. Tugasnya membongkar jaringan NII yang potensial menggelar aksi teror.
Pada ranah perang wacana, menurut Nurwakhid, BNPT telah melakukan sejumlah upaya strategis, semisal menggelar sosialisasi dan edukasi kepada publik. Dalam kegiatan-kegiatan semacam itu, seluruh elemen masyarakat dilibatkan.
“Misalnya, pemerintah, seperti kementerian atau lembaga termasuk pemda. Kemudian komunitas, dan civitas akademi, seperti melibatkan mahasiswa, dosen, rektor, universitas dan sebagainya. Selain itu, BNPT juga melibatkan media dan melibatkan pengusaha baik swasta maupun BUMN,” tutur Nurwakhid.
Pakar terorisme dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar menilai kelompok NII sebenarnya lebih "jinak" jika dibandingkan dengan Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ia tidak yakin kader-kader NII berani menggelar aksi teror untuk mengekspresikan tujuan politik mereka.
"Kalau ekspresif pragmatic ini yang bisa berkembang melampaui batas-batas negara seperti ISIS, JI. Paling keras mereka itu pseudo-bureaucratic. Biasanya, mereka diberi jabatan kosong sebagai ketua RT, lurah, camat, bupati, gubernur. Cuma jabatan itu yang mereka bangga,” kata Chaidar saat dihubungi Alinea.id, Selasa (12/4).
Chaidar menduga tersangka teroris yang ditangkap Densus 88 Polri dalam beberapa bulan terakhir hanya meminjam "bendera” NII. Berbasis data yang ia miliki, misalnya, Chaidar menyebut tidak ada jaringan NII di Dhamasraya dan Tanah Datar.
“Jadi, ini siapa? Jangan-jangan orang yang dulu pernah ikut NII dan kemudian tiba-tiba masuk ke dalam JAD atau mereka yang ditangkap itu tidak mau mengaku sebagai JAD, JI, atau MIT (Mujahidin Indonesia Timur). Bagi mereka, mengaku sebagai JAD itu hukumannya berat,” jelas Chaidar.
Diakui Chaidar, NII memang tergolong militan. Namun, kelompok itu hanya dianggap sumber kader bagi kelompok-kelompok teroris yang jauh lebih radikal seperti JI dan JAD. "Mereka (NII) ini sebelumnya hanya kelompok pengecut yang tidak punya percaya diri," imbuh dia.