Saat remaja ibu kota 'bergaya' dengan vape
Hujan deras mengguyur sebagian besar wilayah Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (17/11) petang itu. Di sebuah gubuk semi permanen yang tak jauh dari Stasiun Pondok Ranji, Doni, 14 tahun, sedang nongkrong bersama lima sobatnya.
Bagi Doni dan kawan-kawan, "fasilitas" di gubuk itu terbilang lengkap. Berjarak hanya selemparan batu, ada sebuah warung kopi yang bisa menyediakan kebutuhan minuman dan makanan bagi mereka. Suplai listrik tanpa batas juga bisa diakses dari sebuah stop kontak di gubuk tersebut.
Tempat itu, sebagaimana disepakati Doni dan sobat-sobatnya, ideal untuk main gim bareng (mabar) di ponsel. Khusus bagi Doni, ajang mabar itu juga ia manfaatkan untuk vaping alias merokok elektronik. Kebetulan, ia baru saja membeli liquid dengan rasa baru.
"Kemarin, udah nyobain rasa kopi. Tapi, bosen. Sekarang, coba rasa yakult (salah satu merek minuman probiotik)," ucap Doni saat berbincang dengan Alinea.id.
Doni mengaku merokok sejak kelas 7 SMP atau sekitar setahun yang lalu. Ia "kucing-kucingan" lantaran belum diperbolehkan merokok oleh orang tuanya. Belakangan, ia kecanduan vaping setelah rokok elektronik yang punya beragam varian rasa itu ngetren di kalangan remaja di dekat rumahnya.
"Kalau di rumah, vape saya simpan aja. Orang rumah juga enggak tahu soal rokok elektronik ini. Jadi, pas main aja dibawa nongkrong. Enggak selalu dipakai," kata Doni.
Vape dibeli Doni dari sebuah aplikasi jual-beli online. Harganya Rp170 ribu. Untuk liquid, Doni belanja patungan bersama rekan-rekannya. Harga per botol ukuran 60 mililiter berkisar Rp135 ribu. Liquid biasanya dibeli dari toko vape yang tak jauh dari rumah Doni.
Meski pengguna baru, Doni merasa rokok elektronik lebih nikmat ketimbang rokok konvensional. Ia mengaku varian rasa dari liquid yang bikin vaping lebih "menyenangkan" ketimbang tembakau biasa. "Jadi, lebih nendang aja," cetusnya.
Argumen serupa diungkap Ikbal, salah satu rekan Doni. Kepada Alinea.id, ia mengaku ketagihan vaping. Padahal, sebelumnya ia tak pernah merokok sama sekali. Doni yang mengenalkan nge-vape kepada dia.
"Kalau bawa beginian (rokok elektronik) pas kumpul sama temen-temen, keren juga kelihatannya," ucap Ikbal. Remaja itu tak mau menyebut nama lengkap.
Demam vaping juga dirasakan Lukman, 16 tahun. Pemuda Kampung Pangkalan, Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, itu baru sebulan lalu membeli vape di salah satu marketplace. Duit untuk membeli vape ia kumpulkan sejak beberapa bulan lalu.
"Beli second (bekas) di Tokopedia. Anak-anak di sini (Kalideres) pada pakai vape. Ya, udah ngikutin aja biar keren," ujar Lukman saat berbincang dengan Alinea.id.
Lukman sudah merokok sejak duduk di bangku SMP. Kini, ia kelas 10 SMA. Ia mengenal vaping dari kawan-kawan sepermainan. Karena belum bekerja, Lukman masih harus patungan untuk membeli liquid. Supaya hemat, ia juga kerap membarter liquid.
"Vape saya bawa kalau, misalnya, mau nongkrong atau futsalan (bermain futsal) sama teman-teman. Biasanya anak-anak pada bawa vape pas nongkrong sama futsal. Sisanya, kalau di rumah, ya, pakai rokok filter," ucap Lukman.
Muhammad Ikrom, seorang penjaga toko rokok elektronik di Rawa Bokor, Batu Ceper, Tangerang, Banten, mengakui tokonya kini kian rutin dikunjungi pembeli berusia remaja. Biasanya, para konsumen belia itu tak sendirian saat belanja.
"Rata-rata mereka beli liquid-nya aja. Kalau vape, jarang yang beli. Kadang bertiga belinya, terus mereka pakai bareng," ucap Ikrom kepada Alinea.id, Jumat (25/11).
Sebagai pegawai biasa, Ikrom mengaku tak punya kuasa untuk melarang para konsumen dari kalangan belia itu belanja di tokonya. Apalagi, bosnya juga tak memberikan arahan untuk mencegah anak di bawah umur membeli vape atau liquid.
"Ya, kita layanin aja. Saya suka heran ini anak-anak duit jajannya berapa. Kok bisa beli vape? Saya aja enggak ngerokok vape. Ini orang tuanya tahu apa enggak, ya?" ucap pemuda berusia 25 tahun itu.
Perlu diregulasi ketat
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (UI) Ni Made Shellasih menilai vape merambah kalangan remaja lantaran lemahnya pengawasan pemerintah. Menurut dia, banyak remaja tergoda mencoba vape lantaran terpikat varian rasa.
"Rasa yang menjadi alasan konsumen menggunakan rokok elektronik. Patut diduga anak-anak juga sama. Selain itu, jangan salah, iklan rokok elektronik juga dilakukan dengan masif oleh influencer," ucap Shellasih kepada Alinea.id, Selasa (22/11).
Juni lalu, Kementerian Kesehatan merilis hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adult Tobacco Survey (GATS). Hasil survei menunjukkan peningkatan prevalensi perokok elektrik dari 0.3% pada 2011 menjadi 3% pada 2021. Prevalensi perokok remaja usia 13-15 tahun juga meningkat sebesar 19,2%.
Shellasih menyebut kenaikan signifikan jumlah perokok elektrik dalam satu dekade terakhir mengindikasikan lemahnya pengawasan pemerintah. Menurut dia, rokok elektrik seharusnya diperlakukan seperti rokok konvensional, yakni diatur dalam regulasi khusus.
"Rokok elektronik itu belum diatur iklannya dan juga penjualannya. Mereka yang buka toko itu izin usahanya juga mudah saja karena belum ada cantolan hukum buat aturannya. Bahkan, (vape) bisa dijual ke anak yang belum 18 tahun," kata dia.
Rokok konvensional diregulasi ketat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Menurut Shellasih, karena sama-sama produk rokok, vape juga semestinya dirinci dalam PP tersebut.
"Kalaupun nanti PP 109 tahun 2012 tidak bisa berbicara detail, ya, sebut saja. Jadi, nanti di aturan turunannya yang memang mengacu untuk mengendalikan rokok elektronik," ujar Shellasih.
Aturan terkait vape, kata Shellasih, harus merinci mengenai peredaran, iklan, dan izin usaha. Tak kalah penting, Shellasih berharap perasa pada liquid vape dihilangkan. Jika memungkinkan, liquid pada vape diregulasi hanya berasa tembakau. "Karena ini yang bikin penasaran anak-anak," ucap Shellasih.
Konsumsi rokok elektronik di ruang publik, lanjut dia, juga perlu diatur. Menurut dia, para pengguna vape harusnya diperlakukan sama seperti perokok konvensional saat berada di ruang terbuka.
"Ini juga bisa dimasukkan ke peraturan daerah. Jadi, banyak di daerah itu sudah memasukkan rokok elektronik. Jadi, yang menjadi perda KTR (kawasan tanpa rokok) itu enggak hanya rokok konvensional, tapi di rokok elektronik juga," jelas dia.
Peneliti dari Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC), Oktavian Denta Eko Antoro membenarkan rokok elektronik kian ngetren di kalangan remaja. Menurut dia, banyak remaja jadi doyan nge-vape lantaran terbuai promosi di media sosial.
"Pengamatan kami, faktor tertinggi karena mereka ingin ikut tren. Terbawa pengaruh temannya bawa terus dia kepengin. Terus, dia ikut cari dari nyari di online," ujar Denta kepada Alinea.id, Selasa (22/11).
Denta sepakat rokok elektronik mendesak untuk segera diregulasi. Berbeda dengan rokok konvensional, merek-merek rokok elektronik ternama masih bebas beriklan di beragam platform dan rutin menjadi sponsor pelbagai perhelatan besar.
Regulasi terkait rokok elektronik, lanjut Denta, perlu memasukan aturan yang melarang anak di bawah umur untuk membeli dan mengonsuminya. "Ini nanti bisa jadi celah untuk mereka menjual ke anak-anak," kata Denta.
Denta juga berpendapat perasa pada liquid vape perlu dihilangkan. Menurut dia, kalangan remaja menggandrungi vape karena daya tarik dan sensasi dari beragam varian rasa yang ditawarkan liquid-liquid vape yang dijual di toko.
"Ada rasa cokelat, keju, atau nanas. Supaya anak-anak enggak tertarik, ya, jangan ada rasa-rasa. Karena rasa itu yang menarik penasaran mereka. Semestinya, perasa itu dihapuskan," ucap Denta.
Bahas bersama
Sekretaris Jenderal Kemenkes Kunta Wibawa Desa Nugraha mengatakan tengah menginventarisasi masalah-masalah terkait rokok elektronik sebelum diatur dalam PP 109/2012.
"Sedang kami bahas," ujar Kunta saat dihubungi Alinea.id, Jumat (25/11).
Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan tren merokok elektronik di kalangan remaja perlu dihentikan. Ia mengatakan kandungan dalam rokok elektronik sama berbahayanya dengan rokok biasa.
Selain nikotin dan zat kimia, rokok elektronik juga mengandung perasa atau flavour yang bersifat toxic. Jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama, zat-zat itu bisa menyebabkan masalah kesehatan serius, seperti memicu penyakit kardiovaskular, kanker, paru-paru, dan tuberkulosis.
"Tidak ada bedanya risiko merokok konvensional dan elektrik, dua-duanya sama bahayanya, baik itu dari segi sosial-ekonomi maupun untuk masa depan," ucap Dante seperti dikutip dari siaran pers Kemenkes.
Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Aryo Andrianto mengaku para penguasaha vape tak pernah diajak bicara oleh pemerintah terkait revisi PP 109/2012. Ia berharap pemerintah membuat aturan tersendiri untuk meregulasi vape.
"Rokok elektronik ini lahir karena ingin jadi solusi orang berhenti merokok. Ini salah satu alternatif agar perokok lebih sehat dengan beralih rokok elektronik. Kalau ini disamakan, tidak adil buat kita," kata Aryo kepada Alinea.id, Sabtu (26/11).
Lebih jauh, Aryo meminta pemerintah mengajak kalangan pengusaha berdiskusi sebelum merilis aturan terkait rokok elektronik. Ia berharap Kemenkes tidak hanya mendengar masukan dari kalangan yang kritis terhadap rokok elektronik saja.
"Karena rokok elektronik itu, bagi kami, secara kandungan berbeda dengan rokok konvensional. Kami dari industri bukan tidak mau diregulasi. Tetapi, kami mau diregulasi dengan sesuai dengan kebutuhannya, sesuai dengan kenyataan yang ada," kata dia.