Saat Soeharto bandingkan harga bensin dengan secangkir teh
Pemerintahan Sukarno yang kian kehilangan simpati di mata rakyat akibat krisis politik—menyusul tragedi 30 September 1965—dan ekonomi, malah membuat blunder. Pada Desember 1965, peraturan baru di bidang moneter justru membuat segalanya runyam.
Penulis dan aktivis 1966 Soe Hok Gie mengungkapkan, ketika itu menteri Kabinet Dwikora mengeluarkan peraturan menurunkan nilai mata uang rupiah. Uang Rp1.000 disamakan dengan Rp1. Uang kertas Rp10.000 dan Rp5.000 ditarik dari peredaran dalam waktu sebulan.
Akibatnya, harga membumbung beratus-ratus persen dalam waktu seminggu. Kekacauan ini ditambah dengan menaikkan tarif kendaraan umum rata-rata 500%-1.000%. Beras naik rata-rata 300%-500%.
“Mahasiswa terpukul sekali, terutama dengan naiknya tarif angkutan umum,” kata Soe Hok Gie dalam tulisan “Di Sekitar Demonstrasi-demonstrasi Mahasiswa di Jakarta” termuat di buku Zaman Peralihan (2005).
Saat itu, menurut Hok Gie, pemerintah menaikkan pula harga bensin, dari Rp4 per liter menjadi Rp1.000 per liter. Menurut Soeharto dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), kenaikan harga bensin menyebabkan karcis bus naik dari Rp200 menjadi Rp1.000.
“Menyebabkan para mahasiswa tidak tahan,” kata Soeharto.
Gelombang demonstrasi mahasiswa besar-besaran terjadi di tahun berikutnya. Seiring waktu, kuasa Sukarno makin melemah.
Menaikkan harga bensin
Soeharto makin terkerek namanya. Pada 12 Maret 1967, ia ditetapkan sebagai pejabat presiden usai pertanggung jawaban Sukarno ditolak MPRS. Kemudian, pada 27 Maret 1968, ia ditunjuk MPRS menjadi presiden definitif.
Soeharto menyusun strategi memperbaiki ekonomi yang hancur lebur. Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto menyebut, inflasi pada 1965 mencapai 500% dan harga beras naik 900%. Defisit anggaran belanja tahun itu mencapai 300% dari pemasukan.
Di balik Soeharto, ada deretan ekonom jempolan yang membantu memperbaiki perekonomian yang porak-poranda, seperti Widjojo Nitisastro, Sumitro Djojohadikusumo, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Frans Seda. Pada 24 April 1968 malam, Soeharto tampil pertama kali lewat siaran langsung di televisi dan radio, sejak ia diangkat sebagai presiden.
“Pidato presiden dimulai dengan ucapan terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia atas kepercayaan yang diberikan,” ujar ekonom Widjojo Nitisastro, yang saat itu menjabat Kepala Bappenas, dalam buku Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro (2010).
“Selanjutnya diuraikan betapa pentingnya ada kesatuan pandangan dan penilaian dalam menghadapi masalah-masalah besar yang menyangkut kehidupan rakyat banyak.”
Sebuah kado di mula pemerintahan daripada Orde Baru kepada rakyat diumumkan: harga bensin naik lagi. Dikutip dari Sinar Harapan, 25 April 1968, Soeharto mengatakan, tindakan menaikkan pungutan terhadap minyak bumi bertujuan meningkatkan pendapatan pemerintah dan memperbaiki keadaan ekonomi.
“Sama sekali bukan dimaksud untuk merugikan dan menekan rakyat,” kata Soeharto.
Malam itu diputuskan, harga bensin naik dari Rp4 menjadi Rp16. Naik pula minyak tanah dari Rp2 menjadi Rp4, avigas dari Rp4 menjadi Rp25, solar dari Rp3,50 menjadi Rp12,50, minyak diesel dari Rp1,25 menjadi Rp6,50, avtur dari Rp4 menjad Rp20, dan minyak bakar dari Rp1 menjadi Rp5.
Soeharto beralasan, pertimbangan lain kenaikan pungutan minyak bumi itu karena harganya masih terlalu rendah dibandingkan harga barang-barang lain.
“Satu liter bensin masih jauh lebih rendah dari harga satu cangkir teh manis atau satu bungkus rokok yang paling rendah,” ujar Soeharto.
Menurut Widjojo, Soeharto menyadari kenaikan harga bensin akan mengerek pula tarif angkutan dan harga barang-barang kebutuhan sehari-hari. Namun, ia berkilah, jika tak ada usaha mengambil kesempatan mencari keuntungan, maka kenaikan ongkos bensin kecil pengaruhnya terhadap harga barang-barang lainnya.
Disebutkan Sinar Harapan, dengan menaikkan harga bensin, diperkirakan pemerintah bakal dapat hasil kotor dari konsumsi bensin dalam negeri mencapai Rp24.786.880.000.
Mantan Kepala Perwakilan International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional, Kemal Siber memuji langkah Soeharto.
Menurutnya, dalam tulisannya “Manajemen Krisis Ekonomi Indonesia 1966-1969” di buku Esai dari 27 Negara tentang Widjojo Nitisastro: Penghargaan dari Para Tokoh (2010), faktor utama penyebab defisit anggaran adalah besarnya subsidi sebagai akibat rendahnya harga barang dan jasa.
“Untuk menghapus subsidi, harga beberapa barang yang sensitif dinaikkan dengan tajam. Misalnya, harga bensin dan minyak tanah,” tulis Kemal.
“Dilihat dari kacamata politik, kenaikan harga secara drastis ini sulit dilakukan dan merupakan tindakan berani sebuah pemerintah yang baru, tetapi dunia luar melihat semua ini sebagai tekad Indonesia untuk melaksanakan program stabilisasi.”
Akan tetapi, keputusan itu tak lepas dari kritik. Salah seorang pimpinan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jakarta, Bachtiar Lubis mengatakan, keputusan pemerintah menaikkan harga bensin tak akan mengobati penyakit ekonomi.
“Ia mengatakan pemerintah tak akan bisa mencegah naiknya harga barang dan mencegah kembalinya inflation behavior pattern,” tulis Sinar Harapan, 26 April 1968.
“Pemerintah bertujuan meningkatkan uang masuk, tapi yang menjadi kenyataannya pasti malah sebaliknya karena naiknya harga akan memperbesar pengeluaran.”
Bachtiar mengingatkan, kenaikan harga berakibat pada likuiditas yang semakin seret karena makin besar modal yang dibutuhkan untuk transaksi. Ia memprediksi, dari pola inflasi dan kenaikan bensin, akan terjadi kenaikan harga dalam tahun 1968 paling sedikit 100%.
“Tengkulak-tengkulak modal dalam situasi begini akan mendapat peluang yang baik,” ujar Bachtiar.
Kenyataannya, kenaikan harga bensin dan bahan baku minyak lainnya berimbas pada kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari. Kompas, 15 Juli 1968 melaporkan, harga sembako dalam minggu kedua bulan Juli naik sekitar 2%.
“Beras Rp39 per liter, minyak goreng Rp75 per botol, gula pasir Rp60 per kilogram, garam bata Rp7,50 per bata, dan minyak tanah Rp4,67 per liter,” tulis Kompas.
Begitu pula dengan biaya jasa dan ongkos transportasi. Menteri Perhubungan Laksamana Muda Udara Soetopo mengumumkannya pada 29 April 1968.
“Tarif dasar kereta api jadi Rp0,90 per penumpang, tarif dasar angkutan barang jadi Rp5,00 per ton kilometer, tarif dasar kirim surat dalam negeri hingga berat 20 gram jadi Rp15 dan keluar negeri hingga 20 gram jadi Rp30, tarif dasar telegraf dalam negeri jadi Rp2,50 setiap perkataan, tarif dasar pemakaian telepon dalam negeri jadi Rp10 setiap percakapan,” tulis Sinar Harapan, 30 April 1968.
Meredam protes
Tak seperti riuh demonstrasi atas pemerintahan Sukarno, usai kenaikan harga bensin di awal kuasa Soeharto justru situasinya adem ayem. Meski memang ada wacana unjuk rasa.
Disebutkan Sinar Harapan, 10 Mei 1968, pelajar seluruh Jakarta akan mogok belajar di halaman sekolah dan jalanan untuk memprotes kenaikan harga, imbas naiknya harga bensin. Rencananya, aksi itu akan diikuti pelajar SMA I, SMA IV, SMA Tanah Abang, dan SMA Taman Siswa.
Aksi itu diagendakan digelar sehari setelah Kaisar Ethiopia, Haile Selassie meninggalkan Indonesia. Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) pun menolak kenaikan harga. Namun, Pimpinan Harian KAPI Jaya, M.Z. Usman, menginstruksikan tak akan ada demonstrasi.
“Kami selaku pimpinan KAPI menginstruksikan kepada seluruh anggota KAPI daerah Jakarta tetap belajar seperti biasa dan melakukan tugas seorang pelajar,” ujar M.Z. Usman, yang instruksinya termuat di Sinar Harapan, 10 Mei 1968.
Aksi mogok pelajar Jakarta tadi urung dilakukan. Soeharto pun rajin melakukan “ramah-tamah” dengan kesatuan aksi pada Mei 1968.
Semisal, disebut dalam buku Jejak Langkah Pak Harto: 28 Maret 1968-23 Maret 1973 (1991), pada 6 Mei 1968 Soeharto menerima wakil dari delapan kesatuan aksi—KAPI, Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Pengusaha Nasional Indonesia (KAPNI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), dan Lasykar Ampera Arief Rachman Hakim—di Istana Merdeka, Jakarta.
“Dalam tukar pikiran itu, Soeharto mengungkapkan satu-satunya jalan keluar dari keadaan ekonomi yang sekarang ini ialah dengan mengadakan pembangunan secara bertahap, sambil menekan tingkat inflasi,” tulis buku Jejak Langkah Pak Harto: 28 Maret 1968-23 Maret 1973.
Kesatuan aksi tadi adalah yang lantang protes pada Januari 1966, menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, perombakan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan—yang dikenal dengan Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura.
Lalu, pada 19 Mei 1968, Soeharto memberikan sambutan tertulis dalam pembukaan diskusi besar dewan mahasiswa universitas/institut negeri seluruh Indonesia yang diadakan di Universitas Indonesia. Ia menekankan tiga masalah nasional. Salah satunya, soal perbaikan kehidupan ekonomi.
Soeharto kembali mengadakan konsolidasi dengan mengundang 142 orang mahasiswa dari universitas seluruh Indonesia pada 25 Mei 1968. “Mereka adalah pimpinan dewan mahasiswa yang baru saja mengikuti diskusi besar di UI,” tulis buku Jejak Langkah Pak Harto: 28 Maret 1968-23 Maret 1973.
Patut diduga, segala usaha Soeharto ini demi meredam aksi unjuk rasa karena kenaikan harga bensin. Namun, masih ada segelintir mahasiswa yang melakukan perlawanan lewat siaran radio amatir bernama Radio Research Universitas Indonesia (RRUI).
Seakan tak ada takutnya, melalui corong radio, mahasiswa mendesak Soeharto mengundurkan diri dan diganti pemimpin Orde Baru lainnya. Mereka menyatakan, pemerintahan Soeharto dan Sukarno seperti dua musik kampungan yang sedang bermain.
“Kepala negara oleh radio amatir itu dinamakan (diejek) sebagai toapekong dan raja gareng dari Merdeka Utara,” tulis Sinar Harapan, 13 Mei 1968.
Akibatnya, lima orang mahasiswa yang jadi penyiar radio itu ditangkap dalam sebuah penggerebekan. Alasannya, kata Panglima Kodam V Jaya Amir Machmud—yang kemudian jadi Menteri Dalam Negeri—siaran radio amatir tersebut sudah menghina dan memfitnah kepala negara, serta menghasut rakyat. Aksi main gerebek itu dikritik Soe Hok Gie, yang kala itu jadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI.
“Adalah wajar kalau terhadap mereka ditindak karena melakukan penghinaan, tetapi caranya haruslah sesuai saluran yang resmi bukan dengan gerebek,” kata Hok Gie dalam Sinar Harapan, 11 Mei 1968.
Protes mahasiswa tadi, tak membuat kuasa Soeharto yang sudah kian kuat bergoyang sedikit pun. Soeharto malah membandingkan langkahnya yang tak populer, dengan keputusan pemerintah Sukarno yang membuat perekonomian hancur dalam pidato kenegaraan di Sidang DPR-GR, 16 Agustus 1970.
“(Awal 1966) jalan-jalan rusak, penerbangan dan pelajaran tidak teratur, air minum macet, dan listrik bergiliran hidup-mati. Rakyat harus antre besar, minyak tanah, gula, dan sebagainya; mobil-mobil harus berderet-deret sebelum mendapat bensin,” kata Soeharto.
“Beberapa kali saya harus mengambil putusan yang sangat berat: ialah penyesuaian harga dan tarif, serta kenaikan harga bensin dan minyak tanah. Sekarang saya yakin, saudara-saudara setuju dengan saya.”