close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aparat kepolisian rutin menggelar razia kendaraan selama masa pembatasan sosial skala besar di Jakarta. /Foto Antara
icon caption
Aparat kepolisian rutin menggelar razia kendaraan selama masa pembatasan sosial skala besar di Jakarta. /Foto Antara
Nasional
Sabtu, 28 November 2020 08:44

Saat warga lebih percaya preman dan dukun ketimbang polisi

Warganet ramai-ramai mengkritik cuitan akun media sosial Polri.
swipe

Cuitan "polos" admin Twitter Divisi Humas Polri @DivHumas_Polri pada 5 November lalu bikin heboh jagat maya. Niat ingin mengajak publik rajin melaporkan kejahatan, warganet malah membanjiri cuitan itu dengan curhat, lelucon, kritik, dan satire. 

Dalam cuitannya admin @DivHumas_Polri melekatkan sebuah poster. Ada tulisan ajakan serupa di poster itu. Bunyinya begini: "Ups, laporkan saja. Jangan malu, jangan ragu dalam membuat laporan atas sebuah tindak pidana. Kami hadir sebagai pelayan masyarakat."

Hingga hari ini, cuitan itu dikomentari lima ribu pemilik akun Twitter. Mayoritas warganet membalas dengan komentar bernada kekecewaan terhadap kinerja aparat di lapangan. Ada pula yang mempertanyakan balasan admin yang sekadar template

Salah satunya ialah Faizal, warga Desa Jatiwangi, Kecamataan Jatisari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Menurut pria berusia 27 tahun tersebut, unggahan admin @DivHumas_Polri hanya sekadar jargon belaka. 

"Polisi sebenarnnya tidak pernah sungguh-sungguh dalam memproses laporan dari masyarakat," kata Faizal ketika dihubungi Alinea.id, belum lama ini. 

Motor Faisal dicuri pada awal November lalu. Ia pun telah melaporkan kasus itu ke polsek setempat. Alih-alih dilayani secara profesional oleh petugas, Faisal malah dimintai duit agar laporannya dapat diproses.

"Ya, akhirnya kami sekeluarga harus cari sendiri dan menghubungi preman setempat. Justru lebih efektif karena langsung tahu dugaan keberadaan motornya, tapi sudah dijual dan sulit dilacak lagi," ujar Faisal. 

 

 

Menurut Faisal, banyak warga yang mengalami kasus serupa seperti dia. Itulah kenapa cuitan di akun Twitter Polri tersebut langsung dibanjiri kritik dari warganet. 

"Dari cerita-cerita netizens, sebenarnya masih ada rasa percaya kepada kepolisian. Makanya, pertama kali yang dilakukan masyarakat adalah lapor kepada polisi. Tapi, polisi sendiri yang meruntuhkan kepercayaan masyarakat bahkan memalak rakyat yang kesusahan. Makanya, berlaku teori sosial bahwa polisi adalah necessary evil," tutur dia. 

Terkait komentar-komentar satire di akun Twitter Mabes Polri, Faizal berharap hal itu menjadi pelajaran bagi Polri untuk bekerja lebih profesional dan meningkatkan mutu pelayanan. Menurutnya, pengawasan Polri terhadap praktik pungli masih lemah.

"Juga harus ada penegasan dari kepolisian sendiri bahwa dalam proses pelayanan publik tidak dipungut biaya apapun. Jika terjadi pemungutan liar, harus ada sanksinya," katanya.

Rata-rata warganet yang mengomentari cuitan itu memang punya pengalaman serupa dengan Faisal. Akun @pujanggaa, misalnya, mengatakan lebih percaya dukun ketimbang personel kepolisian. "Saya kalau barang ilang mending ke dukun, Mas. Lebih mungkin ketemu," ciak Pujangga Pandunagara, pemilik akun @pujangga. 

Pengamat media sosial Eddy Yansen mengatakan Polri harus menjadikan banjir kritik warganet sebagai pelajaran berharga. Menurutnya, pro-kontra di medsos lazimnya orisinal, berbasis pengalaman, dan berkembang secara organik.

"Ya, jadi reaksi masyarakat di media sosial adalah pendapat publik terhadap apa yang mereka rasakan. Dan ini menjadi masukan berharga bagi Polri," kata Eddy melalui pesan singkat kepada Alinea.id, Kamis (26/11).

Agar tidak blunder, Eddy mengatakan agar Divisi Humas Mabes Polri harus lebih cerdas mengelola media sosialnya. Ia menegaskan media sosial bukan platform komunikasi satu arah. "Meningkatkan pelayanan publik, menjadikan masukkan masyarakat sebagai titik awal meningkatkan kualitas pelayanan," kata Eddy. 

Tingkat kepercayaan publik turun

Pengamat komunikasi publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah mengatakan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri terus tergerus dalam beberapa tahun terakhir. Publik kerap kecewa karena pernyataan-pernyataan petinggi Polri tidak bisa "dipegang".

"Apa yang disuarakan masyarakat seharusnya diakoomodasi. Saya kira juga tidak perlu membuat pernyataan kontroversial seperti itu. Karena itu kan jadi menimbulkan kegaduhan," kata Trubus melalui sambungan telepon, Kamis (26/11).

Sebagaimana Eddy, Trubus juga menyarankan agar Polri meningkatkan mutu pelayanan. Hal yang paling penting adalah memperhatikan keadaban publik (public civility) saat membuat pernyataan di media sosial.

Trubus mengatakan, reaksi beragam dan cenderung pesimistis dari masyarakat terjadi karena ajakan Divisi Humas Polri itu dikeluarkan saat masyarakat sedang berjibaku bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19.

"Jadi, dalam menyampaikan sesuatu ke publik itu harus betul-betul memperhatikan kondisi sekarang. Kondisi sekarang kan Covid-19. Banyak yang terdampak Covid-19, banyak nganggur. Jadi, resesi ekonomi menyebabkan masyarakat sangat sensitif. Jadi, harusnya tidak membuat hal-hal bersifat kegaduhan," kata dia. 

Belakangan, citra Polri di mata publik memang terus memburuk. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019, misalnya, menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat pada Polri tinggal 72,1%. Angka itu turun drastis jika dibandingkan hasil survei serupa pada 2018, yakni sebesar 87,8%. 
 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan