Saat warkop-warkop bersolek bak kafe dan restoran
Laga puncak Piala Dunia antara Argentina dan Prancis telah memasuki menit ke-36. Setelah unggul lewat penalti Lionel Messi, Argentina memperlebar keunggulan lewat sontekan Angel di Maria. Gelandang Juventus itu sukses mengeksekusi umpan silang yang dikirim Alexis Mac Allister.
Momen-momen terciptanya gol cantik tersebut terpampang pada layar televisi di warung kopi (warkop) bernuansa kafe pantai di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Sabtu (18/12) malam itu. Para pengunjung yang rata-rata fans Argentina bersorak. Teriakan dan tepuk tangan bergemuruh.
Rasyid, pemilik warkop, turut bergembira. Tak hanya karena tim andalannya unggul, ia juga semringah lantaran pengunjung warkopnya membeludak. Malam itu, ia memang sengaja menggelar acara nonton bareng di warkopnya.
"Kalau enggak gitu, nanti kita enggak bisa manfaatin momen Piala Dunia buat narik pembeli," kata Rasyid saat berbincang dengan Alinea.id di sela-sela kesibukannya menyiapkan kopi dan makanan pesanan pengunjung.
Tak seperti warkop pada umumnya, warkop milik Rasyib memang terbilang cukup ideal untuk ajang nobar. Selain dilengkapi TV digital, ada banyak colokan listrik untuk menyuplai kebutuhan para pengunjung. Kursi-kursi dan meja pun ditata bak di kafe dan restoran. Bangku panjang khas warkop disingkirkan.
Rasyid bercerita membuka warkop berkonsep kafe sejak Agustus lalu. Semula, Rasyid membuka warung tenda di dekat Terminal Kalideres. Ia memutuskan pindah lokasi usaha lantaran warung tendanya kerap sepi pengunjung.
"Saya minjam uang dari teman yang sama-sama buka warkop. Ya, udah duitnya saya buat nyewa toko. Setahun sewanya Rp30 juta," tutur pria asal Cilimus, Kuningan, Jawa Barat itu.
Ide membuka warkop bernuansa kafe bukan orisinil dari kepala Rasyid. Ia mengaku mengikuti jejak rekan-rekannya telah lebih dulu bikin warkop rasa kafe. "Sekarang kan orang-orang sudah enggak nyaman duduk di bangku panjang kayak model warkop zaman dulu," kata Rasyid.
Menurut Rasyid, membuka warkop sudah menjadi profesi lazim bagi warga Cilimus. Selain di Jakarta, warkop yang dimiliki pengusaha asal Cilimus tersebar di sejumlah titik di Yogyakarta.
Dari usaha warkop selama bertahun-tahun itu, lanjut Rasyid, rekan-rekan sekampung dia mampu meraup cuan lumayan. Sebagian rekan Rasyid bahkan sudah mampu membeli rumah tinggal dan sawah yang luas di kampung.
"Apalagi di Jogja, banyak burjo semi kafe di sana. Memang zamannya sekarang kita harus inovasi juga supaya pembeli seneng mampir. Kalau di Jakarta, pada nyebar di (Jakarta) Utara. Ada di Tanjung Priok, dekat UNJ (Universitas Negeri Jakarta) ada," kata Rasyid.
Meski bernuansa kafe, menu makanan dan minuman tetap khas warkop. Indomie kornet, susu, telur, madu dan jahe, roti bakar, serta kopi instan menjadi andalan warung Rasyid. Bubur kacang ijo (burjo) tak lagi dijual.
"Kalau bikin (burjo), suka enggak habis. Jadi, basi. Sekarang, lagi mau coba bikin menu baru, ketan susu," ucap Rasyid.
Jika dibanding kafe beneran, warkop Rasyid terbilang hanya punya satu kekurangan, yakni tak punya Wi-fi. Soal itu, Rasyid mengaku masih mengumpulkan modal. "Saya belum bisa pasang. Soalnya, belum laku-laku amat," ujar Rasyid.
Berlokasi di Jalan Kebahagiaan, Krukut, Taman Sari, Jakarta Barat, Warmindo Juned bisa dikata jadi salah satu perintis warkop rasa kafe di ibu kota. Bermula berupa warung tenda, Warmindo Juned pindah ke ruko sejak 2014 dan tak lagi hanya bermodalkan bangku-bangku panjang.
Kala itu, Warmindo Juned terpaksa mengungsi ke ruko lantaran lokasi usahanya berada di atas lahan Pemprov DKI Jakarta yang bakal dibangun trotoar. Yogie, putra Juned, kini jadi pengelola warkop yang sudah berdiri sejak 1974 itu.
Kepada Alinea.id, Yogie bercerita Warmindo Juned buka 24 jam dan selalu ramai pada akhir pekan. Sehari-hari, ia dibantu 5 karyawan. Semua karyawan direkrut Yogie dari kampung halamannya di Cibatu, Garut, Jawa Barat.
"Kalau enggak mah, enggak kuat saya. Berlima aja masih kurang buat dua shift," ucap pria berusia 34 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id di Warmindo Juned, Jumat (23/12).
Cat warna merah, kuning, hijau khas Indomie mendominasi Warmindo Juned. Selain pada dinding, Indomie juga ngiklan di pelapis meja dan spanduk di depan warung. Yogie bercerita warungnya memang baru dirombak ulang oleh Indofood sekitar tiga bulan lalu.
Indofood, kata Yogie, sekadar mengubah tampilan luar warkop. "Selebihnya kami mengeluarkan modal sendiri untuk bikin kayak kafe dan sebagainya. Mereka cuma branding," kata Yogie.
Warmindo Juned memang menyediakan menu utama olahan Indomie dengan beragam topping, semisal telur, sosis, dan kornet. Selain mi, roti bakar juga jadi andalan warkop itu. Untuk minuman, Yogie dan kawan-kawan memajang menu jeruk peras dan aneka kopi.
Yogie bertutur rata-rata warkop di Jakarta dimiliki pengusaha asal sejumlah daerah di Jawa Barat. Ia menyebut tiga daerah asal pengusaha warkop, yakni Kuningan, Garut, dan Sumedang. "Kalau Cibatu itu paling terkenal di Garut sebagai tukang warmindo yang nyaingin orang Kuningan," kata Yogie.
Meski tak kentara, masing-masing daerah punya kekhasan. Warkop punya orang Garut, misalnya, utamanya identik dengan menu olahan Indomie. Kuningan identik dengan menu bubur kacang ijo dan Sumedang menonjolkan roti panggang.
"Jadi, walaupun sekilas sama, tapi bagi kami yang bergelut pada usaha ini tahu masing-masing daerah itu punya identitas dari menu yang ditonjolkan," kata Yogie.
Meskipun jenis usahanya sama, menurut Yogie, para pebisnis warkop di Jakarta tak terlibat persaingan sengit. Alih-alih saling sikut, ia mengklaim hubungan antara pemilik warkop malah terbilang harmonis. "Ya, namanya bisnis," kata dia.
Soal transformasi warkop-warkop menjadi semi kafe, Yogie bertutur fenomena itu terjadi secara alamiah. Tanpa disadari, para pemilik warkop berlomba merias tempat usahanya demi menarik lebih pengunjung. "Tapi, sebenarnya tetap dengan khas masing-masing," ucap Yogie.
Ramah dompet
Tren warkop berdandan bak kafe di Jakarta dibenarkan Iman Suparman, pemilik warung roti panggang di Jalan Jombang Raya, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten. Ia menyebut konsep warkop rasa kafe muncul dan berkembang sejak 10 tahun lalu.
Sebagaimana warkop dan warmindo, menurut Iman, konsep kafe juga diadopsi para pedagang ropang. Tujuan utamanya antara lain untuk bikin betah pengunjung.
"Karena dulu warung tenda pakai bangku panjang enggak cukup buat nampung orang. Kalau hujan juga jadi ribet pembeli," kata pria berusia 28 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id di warungnya, Kamis (22/12).
Iman sudah 12 tahun melakoni usaha jual ropang di Jakarta. Pada 2020, ia mulai membuka "toko" ropang di ruko, lengkap dengan meja dan kursi yang bisa menampung sampai 20 sampai 30 orang sekaligus. Sebelumnya, ia berjualan di sebuah warung tenda di dekat Stasiun Sudimara, Tangerang.
Iman asal Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat. Ia membenarkan mayoritas orang Sumedang yang merantau ke Jakarta berjualan ropang. Namun, kekhasan itu tak berlaku baku.
"Ada juga orang Sumedang yang jual bubur kacang ijo. Tapi, memang jarang. Lebih banyak ke ropang. Tapi, semua sama. Sekarang berlomba-lomba jadi kafe. Temen saya saja banyak yang mengubah model dagangnya kayak kafe dan enggak di tenda lagi," kata dia.
Iman bertutur perantau Cimalaka datang belakangan. Mulanya, bisnis warmindo dan ropang di ibu kota dirintis pengusaha asal Cisarua, Sumedang.
"Kalau orang Cisarua itu sekarang enggak hanya punya satu warung. Kebanyakan itu punya tiga atau empat warung. Kalau kami yang dari Cimalaka, ya, mau niru mereka," kata dia.
Kendati tidak seestetik kafe, Iman yakin warkop dan warmindo kekinian bisa menarik pembeli lebih banyak. Harga makanan dan minuman yang jauh lebih murah jadi keunggulan utama warkop ala kafe.
Ke depan, menurut Iman, warkop dan warung ropang bakal terus berinovasi. "Pasang Wi-fi kayak burjo-burjo di Semarang sama Yogyakarta kayaknya sih boleh. Apalagi, di sini yang jajan anak muda sama remaja," ucap dia.
Sakti, 22 tahun, salah satu pengunjung setia toko ropang Iman, membenarkan eksistensi warkop ala kafe digandrungi anak muda sepertinya. Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Ciputat itu mengaku rutin nongkrong di kafe ropang itu bersama teman-temannya selepas kuliah.
"Selain itu dekat rumah juga. Terus, menunya murah dan ada meja sama kursi buat ngerjain tugas. Kalau abis kuliah atau UAS (ujian akhir semester) kayak gini, kadang saya kongkow-kongkow di sini. Ngomongin macam-macam. Ya, politik atau hanya tugas kuliah," kata dia kepada Alinea.id.
Soal harga juga jadi alasan Santika lebih memilih warkop rasa kafe ketimbang kafe beneran. Rata-rata sekali dalam sepekan, Santika selalu menyempatkan diri nongkrong bersama teman-teman kerjanya di Warmindo Juned.
"Karena di sini (warmindo) banyak bangku sama kursi. Bisa buat tujuh sampai delapan orang. Indomie racikannya juga enak dan murah. Bawa duit Rp50 ribu aja udah dapet Indomie, roti, sama minum," kata Santika kepada Alinea.id.
Tahan banting?
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Heddy Shri Ahimsa menilai gagasan bikin warkop ala kafe bukan murni inisiatif dari para pemilik warkop. Ia menduga ada campur tangan perusahaan, khususnya Indofood, sebagai sponsor.
Indofood, terka dia, berupaya mereplikasi kisah sukses Sido Muncul, perusahaan jamu dan obat herbal dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia. Sejak bertahun-tahun lalu, Sido Muncul rutin membantu pedagang jamu untuk punya kios sendiri.
"Sebab, pedagang jamu dan warmindo ini ujung tombak produk mereka, perusahaan-perusahaan besar. Mereka (pedagang) membantu untuk membuat produk mereka laku," kata Ahimsa kepada Alinea.id, Jumat (23/12).
Ahimsa berkata bila kerja sama yang terjalin antara warmindo dan perusahaan besar warkop tak bisa dianggap sepele. Bukan tidak mungkin warkop ala kafe kian menjamur dan menggerus para pelanggan kafe beneran.
Di lain sisi, perusahaan juga punya kepentingan untuk memastikan usaha warkop sukses dan berkembang. Harapannya, jaringan pedagang warkop bisa dimanfaatkan promosi dan jualan produk. "Warmindo didekati kelompok-kelompok tertentu karena ada jaringan," ucap Ahimsa.
Terkait pengusaha warkop yang identik dengan daerah tertentu, menurut Ahimsa, itu sudah jadi ciri khas pedagang Asia Tenggara yang condong menonjolkan primordialisme. Fenomena itu terjadi lantaran basis kekerabatan kerap dijadikan mereplikasi bisnis atau membangun kerja sama yang saling menguntungkan.
"Berasal dari satu daerah, dari suku yang sama, atau masih kerabat. Itu (hubungan) yang bermain memang karena itu bisa saling membantu. Mengapa mereka memanfaatkan kekerabatan? Karena mereka sudah kenal orangnya jadi itu bisa jalan. Nah, kerja sama itu perlu trust," ucap Ahimsa.
Basis primordial itu, kata Ahimsa, membuat warkop-warkop dan warmindo menjadi bisnis yang resilien. Seorang pedagang, misalnya, bisa meminjam duit ke pedagang lainnya untuk kebutuhan mendesak tanpa birokrasi berbelit.
"Saling percaya itu tidak tumbuh begitu saja, tapi itu hasil timbal balik yang lama. Hubungan timbal balik bisa lama karena kita punya hubungan yang berlapis-lapis tadi. Jadi, itu yang membuat hubungan itu bisa lancar dan tahan banting warmindo," ucap Ahimsa.