Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menaikkan status kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Eximbank ke tahap penyidikan, Selasa (19/3). Padahal, sehari sebelumnya (Senin, 18/3), Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, melaporkan perkara serupa kepada Kejaksaan Agung (Kejagung)
"Kemarin, Menteri Keuangan telah melaporkan dugaan TPK (tindak pidana korupsi) ini ke Kejaksaan Agung. KPK perlu menegaskan, bahwa KPK telah meningkatkan penanganan perkara dugaan penyimpangan ataupun korupsi pada penyaluran kredit LPEI ini naik ke penyidikan," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, dalam konferensi pers, Selasa (19/3).
Ia menerangkan, KPK memulai penyidikan tersebut berdaasarkan laporan yang diterima pada 10 Mei 2023. Ada 6 laporan masuk, tetapi baru 3 laporan yang telah ditelaah dan melibatkan PT PE, PT RII, dan PT SMJL dengan total kerugian negara Rp3,451 triliun.
Ghufron pun meminta Kejagung menyetop kasus yang diadukan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dalihnya, sesuai Pasal 50 Undang-Undang (UU) KPK.
Terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, mengisyaratkan pihaknya juga bakal menindaklanjuti laporan Menkeu. Alasannya, ada banyak kasus terkait LPEI bahkan tidak tahu perkara mana yang tengah didalami KPK.
"Yang dimaksud dengan menghentikan yang mana dan yang ditangani KPK juga yang mana?" tanyanya, Rabu (20/3).
Ketut mengingatkan, ada juga kasus LPEI terkait tindak pidana umum yang ditangani Polri. "Jadi, kami perlu koordinasi dalam penanganan perkara ini, mekanismenya sudah ada."
Ia melanjutkan, penanganan terkait LPEI juga sempat dilakukan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus). Satu perkara sudah inkrah, sedangkan satu lainnya masih dihitung kerugian negaranya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Adapun yang baru dilaporkan Kemenkeu masih dipelajari.
Kejagung pun meminta KPK agar menyampaikan lebih jauh dan mendetail tentang perkara yang ditanganinya. Dengan begitu, tidak akan ada tumpang tindih.
"Silakan teman-teman KPK kalau mau koordinasi, kasus yang dimaksud yang mana. Kami terbuka dan tidak mau ada tumpang tindih penanganan perkara di antara aparat penegak hukum sesuai dengan MoU yang sudah kita sepakati," beber Ketut.
Koordinasi antarlembaga
Terpisah, pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, mendorong agar Kejagung dan KPK berkoordinasi dalam mengusut kasus dugaan korupsi di LPEI. Ini diperlukan agar ada analisis lebih jauh tentang kasus yang ditangani masing-masing lembaga dan memastikan tidak tumpang tindih.
Ia mengingatkan, pengadilan enggan meladeni perkara yang bersifat nebis in idem alias dua kasus dengan objek perkara serupa. Karenanya, Hibnu cenderung tidak sependapat apabila KPK dan Kejagung "saling sikut" dalam pengusutan perkara ini.
"Namanya suatu perkara, kan, banyak sudut pandang. Apakah perusahaannya hanya enam? Mungkin lebih. Nah, kita tunggu analisanya," jelasnya kepada Alinea.id. "Keduanya harus bertemu untuk menemukan titik temu objek perkaranya dulu."
Setelah dianalisis, maka objek perkara akan diketahui. Selanjutnya, kasus yang telah berproses harus diutamakan. Namun jika berbeda, penanganan perkara oleh masing-masing lembaga bisa tetap berlanjut.
Hibnu menilai, KPK dan Kejagung bisa berkolaborasi (joint investigation) dalam pengusutan kasus korupsi LPEI. Langkah ini dapat ditempuh untuk memecah kebuntuan ketika masing-masing bersikukuh melanjutkan penanganan perkara.
Manuver Menkeu
Sementara itu, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar berpandangan, Menkeu melaporkan kasus dugaan korupsi LPEI kepada Kejagung karena pertimbangan kinerja KPK. Apalagi, komisi antirasuah sempat dilanda masalah internal: banyak pegawainya yang terlibat skandal.
"KPK sekarang lamban menangani korupsi yang sudah jelas pembuktiannya," tegasnya kepada Alinea.id. Ia pun mendukung langkah Menkeu berkoordinasi dengan Kejagung.
Fickar menambahkan, memburuknya kinerja KPK sejak status pegawainya berubah menjadi aparatur sipil negara (ASN). Sebab, itu memungkinkan para pegawai diatur pihak lain bahkan internal.
Lebih jauh, ia menyampaikan, ada keuntungan ketika kasus ditangani "Korps Adhyaksa". Misalnya, Menkeu bisa melapor kepada Presiden bahkan meminta Jaksa Agung dipecat jika penanganan oleh kejaksaan juga tidak optimal.
"Jika Kejagung macam-macam, Sri Mulyani lapor Presiden dan Jaksa Agungnya bisa minta dipecat dan diganti dengan Jaksa Agung yang jujur dan berani," terangnya.
"Kalau KPK, kan, Presiden tidak bisa mengganti sembarangan. Jadi, memang karena faktor perubahan aturan itu KPK sudah tidak independen dan gampang dimainkan oleh pihak pihak tertentu," sambung Fickar.