Bareskrim Polri melayangkan surat panggilan kedua kepada tersangka tindak pidana korupsi kondensat Honggo Wendratmo. Surat tersebut dilayangkan langsung ke rumah Honggo Wendratmo di Jalan Martimbang III Nomor 3, Jakarta Selatan.
Berdasarkan pantauan Alinea.id, penyidik Bareskrim Polri tiba di kediaman Honggo, Senin (27/1), pukul 14.00 WIB. Saat tiba di rumah bercat putih itu, penyidik hanya bertemu dengan penjaga keamanan.
Kasubdit III TPPU Bareskrim Polri Kombes Jamaludin mengatakan berdasarkan keterangan satpam, Honggo tidak pernah berada di rumah. Namun, penyidik tetap memberikan surat panggilan tersebut.
“Kami penyidik TTPU Bareskrim Polri menyerangkan surat pemanggilan ke-2. Dalam rangka pemeriksaan di Kejagung. Untuk Kamis (30/1),” kata Jamaluddin di kediaman Honggo, Jakarta Selatan.
Jamaluddin menuturkan, penyidik terus melakukan pengejaran terhadap Honggo. Berdasarkan informasi, Honggo berada di Singapura.
“Kami sudah cari lewat interpol. Sampai sekarang belum kami dapatkan. Yang bersangkutan tidak hadir, maka berkas tetap kami limpahkan Kejagung,” ujar Jamaluddin.
Menurut Jamaluddin, pihaknya akan melakukan penyerahan berkas kepada Kejaksaan Agung pada Kamis (30/1). Setelah penyerahan berkas, sidang secara in absentia akan dilakukan.
Kasus ini berawal dari mantan Dirut PLN Nur Pamudji yang mengadakan pertemuan dengan Presiden Direktur PT TPPI Honggo Wendratno yang kini tersangka dalam kasus kondensat dan masih berstatus buron sejak beberapa tahun lalu.
Dalam pertemuan yang digelar sebelum lelang itu, PT PLN menyebutkan membutuhkan BBM berjenis High Speed Diesel (HSD) milik PT TPPI. Kemudian, saat dilakukan proses lelang oleh panitia pengadaan di PT PLN, diatur agar lelang tersebut dimenangkan Tuban Konsorsium dengan PT TPPI sebagai leader.
Setelah menang tender tersebut, Tuban Konsorsium mendapatkan Lot II PLTGU Tambak Lorok dan Lot IV PLTGU Belawan. Padahal, Tuban Konsorsium tidak layak dan tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pemenang karena tidak sanggup memenuhi pasokan untuk dua tempat itu.
Berdasarkan hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diduga terjadi kerugian negara atas proyek tersebut hingga Rp188 triliun. Namun Polri baru berhasil mengembalikan keuangan negara Rp173 miliar.