Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Karyoto, dianggap melakukan tindakan memalukan dan terkesan memberikan perlakuan khusus saat menyambut kedatangan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Agung Firman Sampurna. Pangkalnya, kehadiran yang bersangkutan terkait kasus dugaan rasuah.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menyatakan, tindakan Karyoto dapat dibenarkan jika Agung menghadiri acara di KPK. "Lantas, untuk apa disambut secara khusus?" ucapnya secara tertulis, Selasa (8/12).
Agung menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan suap proyek air minum di Kementerian PUPR tahun anggaran (TA) 2017-2018, hari ini. Keterangannya dibutuhkan untuk pemberkasan tersangka Komisaris Utama PT Minarta Dutahutama, Leonardo Jusminarta Prasetyo.
Kurnia menambahkan, tindakan Karyoto tersebut bukan kali pertama terjadi. Laku serupa pernah dilakukan Firli Bahuri saat menjabat Deputi Penindakan KPK, 8 Agustus 2018.
"Kala itu, Firli menjemput langsung saksi Bahrullah Akbar, Wakil Ketua BPK, didampingi oleh Kabag Pengamanan dan menggunakan lift khusus di KPK. Akibat tindakan tersebut, Firli dijatuhi sanksi etik oleh Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat," ujarnya.
"Oleh karena itu, ICW merekomendasikan kepada Pimpinan dan Dewan Pengawas (KPK) untuk segera menegur, mengevaluasi, dan menjatuhkan sanksi terhadap Deputi Penindakan atas tindakannya tersebut," tambah Kurnia.
KPK menetapkan dua orang tersangka dalam perkara proyek air minum. Ada bekas Anggota BPK, Rizal Djalil, selain Leonardo.
Sejak 3 Desember 2020, keduanya ditahan selama 20 hari. Rizal di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih, sedangkan Leonardo di Rutan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur, Jakarta.
Dalam kasusnya, Rizal diduga menerima sejumlah uang dari Leonardo sebesar S$100.000. Duit tersebut disinyalir merupakan biaya komitmen untuk Rizal membantu PT Minarta Dutahutama mendapat proyek SPAM Jaringan Distribusi Utama Hongaria dengan pagu anggaran sebesar Rp79,27 miliar.
Cuan itu ditengarai diberikan Leonardo kepada Rizal melalui salah satu pihak keluarga dalam pecahan S$1.000 di sebuah pusat perbelanjaan kawasan Jakarta Selatan.
Sebagai penerima, Rizal disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Selaku pemberi, Leonardo disinyalir melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.