Simalakama timbunan sampah impor di Indonesia
Gundukan sampah dan limbah bahan baku pembuat kertas membumbung hingga setinggi 15 meter di salah satu sudut pabrik PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk di Jalan Raya Sentul, Kragilan, Serang, Banten, Jumat (20/5) siang itu.
Di puncak salah satu bukit sampah, Rohidin--bukan nama sebenarnya--sibuk memilah limbah. Tangan-tangannya yang kekar meraup dan mengaduk tumpukan sampah kertas dan plastik. Satu per satu tumpukan ia pelototi. Target Rohidin hanya sampah alumunium.
"Rata-rata (bisa dapat) 20 kilogram (sampah alumunium per hari). Ya, kalau dihitung, bisa mencapai Rp40 ribu sehari. Tergantung sih. Kalau dapat besar, itu berarti banyak juga (sampah) yang dibuang,” ucap Rohidin saat berbincang dengan Alinea.id.
Satu kilogram alumunium hanya dihargai Rp2.000 oleh pengepul. Angka itu, kata Rohidin, tak sebanding dengan jerih payahnya "berenang" di antara tumpukan sampah. Apalagi, limbah alumunium bisa dihargai Rp6000-Rp10.000 di ibu kota.
Meski begitu, Rohidin bersyukur masih ada pekerjaan yang bisa ia lakoni untuk bikin dapur tetap ngebul. “Yang penting halal. Tidak dari hasil rampok,” tegas dia.
Pembuangan terbuka milik PT Indah Kiat itu seharusnya hanya diisi mixed paper. Namun, banyak sampah plastik terlihat menyembul di antara tumpukan sampah kertas. Tulisan dan nuansa pada permukaan kemasan sampah-sampah plastik itu mengindikasikan asal muasal limbah tersebut: Kanada, Amerika Serikat, hingga Italia.
Empat belas tahun jadi pemulung di area pembuangan sampah itu, Rohidin mengaku tak pernah benar-benar tahu pasti dari mana sampah-sampah itu datang. “Katanya sih, (sampah ini) dari luar (negeri). Ini kan sisa yang enggak terpakai dari bahan produksi kertas," kata dia.
Fatimah, rekan seprofesi Rohidin, mengungkapkan pernyataan serupa. Ia mengaku bersyukur masih diperbolehkan memilah sampah di area pembuangan milik PT Indah Kiat.
Beberapa tahun lalu, warga setempat memang sempat dilarang memulung sampah di area pembuangan terbuka milik anak perusahaan Grup Sinarmas itu. Namun, larangan itu tak jadi diberlakukan setelah perusahaan diprotes warga.
“Kalau (pendapatan) ibu, untuk (sekolah) anak. Bapak, untuk makan sehari-hari. Ya, alhamdulillah cukup untuk kebutuhan meski pas-pasan,” ucap Fatimah kepada Alinea.id.
Bersama sang suami, Fatimah sudah sekitar sepuluh tahun jadi pemulung sampah. Seperti Rohidin, ia tak tahu-menahu asal muasal tumpukan limbah itu. “Enggak tahu kalau itu. Saya di sini hanya mulung,” cetus dia.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah tidak memperbolehkan impor sampah. Pasal 29 ayat (1) UU tersebut tegas menyatakan larangan bagi setiap orang untuk mengimpor sampah dari luar negeri.
Namun, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor memperbolehkan impor sampah jenis tertentu, semisal kelompok kertas, logam, karet, tekstil, produk tekstil, dan kaca.
Dalam salah satu edisi film dokumenter Ekspedisi Tiga Sungai, Watchdoc mengungkap kemungkinan sampah kertas yang diimpor PT Indah Kiat tidak "steril". Artinya, tumpukan sampah itu, baik disengaja atau tak disengaja, tercampur dengan limbah jenis lainnya yang tak diperbolehkan diimpor.
Mengancam kesehatan
Aktivis Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) Foundation Muhammad Kholid Basyaiban mengatakan lolosnya sampah berbahaya masuk ke Indonesia tak hanya ditemukan di Kragilan, Serang, Banten, saja. Fenomena serupa ditemukan ECOTON di sejumlah pembuangan terbuka milik perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Jawa Timur.
Kholid mencontohkan temuan kasus sampah impor di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Mojokerto. Di desa itu, ada pembuangan terbuka milik sebuah pabrik yang turut dikelola warga setempat. Sekitar 50% warga desa menggantungkan hidupnya pada tumpukan sampah impor.
"Sampah yang memiliki nilai jual itu dijual ke home industry tahu dan kerupuk di daerah Sidoarjo. Jadi, beberapa home industry tahu dan kerupuk itu menggunakan scrap sisa dari sampah yang dipilah warga untuk digunakan sebagai bahan bakar penggorengan,” ujar Kholid kepada Alinea.id, Jumat (20/5).
Kholid menduga sampah berbahaya, seperti kemasan plastik dan botol, bisa masuk ke Indonesia karena kombinasi sejumlah faktor. Pertama, sampah-sampah itu sengaja diselundupkan negara pengekspor. Di lain sisi, petugas Bea Cukai juga lemah dalam pengawasan.
“Jadi, sampah lain B3 itu disisipkan dalam pengiriman (limbah bahan baku industri) ke Indonesia. Karena tidak ada pemeriksaan lebih lanjut di pintu masuk, akhirnya sampah-sampah itu sampai ke masyarakat,” ucap Kholid.
Meski punya nilai ekonomi, Kholid menegaskan, sampah impor yang tidak steril punya beragam dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Pada 2018, misalnya, ECOTON menemukan kandungan dioxin di dalam telur ayam di dekat area pengelolaan sampah impor milik sebuah perusahaan di Jawa Timur.
“Dioxin itu seperti senyawa kimia untuk mengikat polutan-polutan yang bisa menyebabkan kanker. Yang mencengangkan lagi, kontaminasi dioxin yang kita temukan itu nomor dua terbesar di Asia Tenggara setelah Vietnam,” terang Kholid.
Untuk menanggulangi penyelundupan limbah berbahaya dalam impor sampah, Kholid mengusulkan sejumlah langkah. Pertama, pemerintah menyediakan pekerjaan alternatif bagi warga yang menggantungkan hidupnya pada sampah impor. Kedua, pemerintah memperketat pengawasan impor sampah untuk bahan baku industri.
Terakhir, pemerintah melarang impor sampah sekaligus berupaya menyediakan bahan baku bagi industri yang terdampak larangan tersebut. "Aturan perizinan impor sampah itu justru bertentangan dengan semangat untuk memerangi sampah di dalam negeri," tegas Kholid.
Peneliti hukum lingkungan dari Indonesian Center for Evironmental (ICEL) Fajri Fadhillah mengatakan regulasi terkait impor sampah yang dikeluarkan pemerintah sebenarnya sudah cukup baik. Apalagi, regulasi-regulasi itu berbasis pada kesepakatan perdagangan limbah yang disetujui dalam Konvensi Basel pada 2019.
"Aturan soal impor limbah B3 itu sudah diatur Permendag dan diubah berkali-kali. Aturan di situ membuat masuknya limbah impor lebih ketat lagi, misalnya, aturan terkait surveyor pengawasan jadi lebih ketat,” kata Fajri saat dihubungi Alinea.id, Minggu (22/5).
Persoalannya, jelas Fajri, regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait impor sampah tak dijalankan dengan benar. Ia sepakat pengawasan yang lemah bikin kasus-kasus impor sampah berbahaya terus marak. "Mungkin dari sumber daya manusia di pelabuhan yang masih belum memadai,” tutur Fajri.
Di lain sisi, tak semua negara turut menandatangani Konvensi Basel. Karena itu, para pengekspor sampah berbahaya ke negara-negara berkembang seperti Vietnam, Filipina, dan Indonesia tidak bisa dijerat hukum oleh pemerintah di negara asal sampah.
“Salah satunya itu Amerika Serikat. Dia negara pengirim sampah, tetapi bukan negara (penandatangan) Konvensi Basel. Jadi, dia tidak terikat aturan konvensi itu,” jelas Fajri.
Ketergantungan industri dalam negeri
Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani memaparkan setidaknya ada dua faktor yang bikin Indonesia dijadikan negara tujuan ekspor sampah. Pertama, makin banyak perusahaan yang produksinya tergantung pada bahan-baku sampah yang diimpor dari luar negeri.
"Potensi keuntungan yang dapat dihasilkan dari industri recycling dan regulasi saat ini yang perlu dipertimbangkan. Harus dicari solusi antara persoalan sisi lingkungan dengan industri,” ucap Askolani saat dihubungi Alinea.id, Jumat (20/5).
Kedua, kebijakan pemerintah Tiongkok memperketat impor komoditas plastik dan limbah non-B3 pada 2018. Sebelum kebijakan itu dirilis, China merupakan salah satu negara tujuan utama untuk ekspor sampah, semisal dari Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea, dan beberapa negara Eropa.
“Diketahui berdasarkan US Census Bureau, Japan e-Stat, Statistics Canada, negara-negara tersebut melakukan perubahan negara tujuan ekspor, terutama ke negara-negara ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam dan Indonesia,” imbuhnya.
Pemerintah, tegas Askolani, telah menggelar beragam upaya untuk mencegah limbah berbahaya diselundukan dalam impor sampah untuk bahan baku industri. Salah satu upaya dilakukan Ditjen Bea Cukai dengan memperketat pengawasan terhadap impor barang larangan dan/atau pembatasan (Lartas).
Sampah, katanya, merupakan salah satu jenis barang yang terimbas ketentuan Lartas. Supaya bisa mengimpor sampah, perusahaan wajib memenuhi sejumlah ketentuan, semisal yang tertuang dalam Permendag Nomor 20 tahun 2021 dan Permendag 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
"Berdasarkan amanat kedua regulasi tersebut, Dirjen Bea dan Cukai melakukan pengawasan sejak dokumen pengangkutan barang, kegiatan pembongkaran, penimbunan, dan pengeluaran barang, kesesuaian antara pemberitahuan impor dan fisik barang, serta validitas perizinan dari instansi terkait," jelas Askolani.
Dalam menyusun Lartas dan pengawasan terhadap impor sampah, Dirjen Bea dan Cukai menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Ketiga instansi itu kini tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Impor Limbah Non-B3.
Satgas bertugas mengawasi aktivitas impor sejumlah pelabuhan, semisal Batam, Tanjung Priok, hingga Tanjung Perak. Di sejumlah pelabuhan, menurut Askolani, pemerintah telah mengungkap ribuan kasus penyelundupan sampah impor yang melanggar ketentuan selama periode 2019-2022.
"Atas pelanggaran ketentuan impor limbah non-B3 telah ditindaklanjuti dengan dilakukan ekspor kembali sebanyak 481 kontainer, diserahkan kepada Satgas Impor Limbah Non B3 sebanyak 1.122 kontainer dan sebagian diserahkan kepada penyidik Satgas Penegakan Hukum KLHK,” jelas Askolani.