Sanitasi buruk, PR yang belum tuntas di Jakarta
Memasuki Gang Sekretaris di Tanjung Duren Utara, Grogol, Jakarta Barat, kesan kumuh langsung terlihat. Jalanan sempit, hanya bisa memuat berjalan dua orang. Ember, gerobak, pakaian yang terjemur, dan kantong-kantong sampah ada di sepanjang gang itu. Beberapa rumah juga semipermanen.
Aroma tak sedap yang berasal dari kali kecil di gang itu, langsung menyengat hidung. Akan tetapi, warga di permukiman padat dan lembap itu tak terganggu dengan bau busuk tersebut.
Ibu-ibu berkumpul mengobrol, memasak, dan memomong anaknya. Anak-anak berlarian ke sana-ke mari. Mereka tak terusik sama sekali dengan bau tak sedap.
“Biasa aja. Enggak bau kok,” kata seorang ibu.
Aroma tak sedap itu berasal dari kotoran yang tersumbat di Kali Gendong, sebuah kali kecil berukuran 1,5 meter di sekitar permukiman. Di dekat permukiman juga ada kali yang lebih besar, yakni Kali Sekretaris. Namun, keadaan Kali Gendong terlihat lebih keruh dan tercemar.
Sitanggang, Ketua RT 15, tengah asyik mengobrol, saat ditemui di depan kediamannya. Ia lantas berkisah, sudah lama warga di lingkungannya membuang air besar ke Kali Gendong karena tak punya tangki septik (septic tank).
“Jadinya mereka membuang semua hasil MCK (mandi, cuci, kakus) ke kali,” kata Sitanggang saat berbincang dengan Alinea.id di Gang Sekretaris, Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat, Selasa (8/10).
Belakangan, kebiasaan warga buang hajat ke kali ini menjadi perbincangan publik. Menurut Sitanggang, ada 21 rumah di lingkungannya yang tak punya tangki septik.
Semua saluran rumah tangga kemudian langsung dibuang ke Kali Gendong. Permukiman yang dihuni sekitar 300 kepala keluarga ini memang sangat minim fasilitas toilet, terutama yang memiliki tangki septik. Namun, kata Sitanggang, sanitasi yang buruk ini tak mengganggu aktivitas warga.
“Sejak saya tinggal di sini, saya tak pernah mendengar ada warga yang jatuh sakit akibat masalah sanitasi,” ujarnya.
Andik Nur Cahyo, seorang tokoh pemuda di Gang Sekretaris pun mengamini ucapan Sitanggang. Andik mengatakan, perilaku warga yang buang hajat ke kali sudah sering ia lihat.
“Sepertinya, (perilaku buang air besar ke kali) itu masih kelanjutan kebiasaan lama,” katanya ditemui di lokasi yang sama, Selasa (8/10).
Kebiasaan itu, sebut Andik, sudah dilakukan warga sejak lingkungan sekitar permukiman masih didominasi rawa.
Potret buruknya sanitasi
Problem sanitasi sebenarnya merupakan masalah kesehatan secara nasional. Pada 2017, berdasarkan data dari Progress on Drinking Water, Sanitation and Hygiene 2017 yang dipublikasikan World Health Organisation (WHO), Indonesia ada di posisi ketiga negara dengan sanitasi terburuk. Peringkat pertama ditempati India, dan kedua diisi China.
United Nations Children’s Fund (UNICEF) Indonesia di situs webnya melaporkan, nyaris 25 juta orang di Indonesia tak menggunakan toilet. Menurut UNICEF, orang Indonesia banyak yang membuang kotoran di ladang, semak, hutan, parit, jalan, sungai, atau ruang terbuka lainnya.
Di Jakarta, dengan jumlah pendudukan sekitar 10 juta, akses ke sarana sanitasi yang layak alias jamban sehat pun masih minim.
Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tahun 2017 yang dipublikasikan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, di Jakarta Pusat dengan jumlah penduduk 899.391 jiwa, total penduduk yang memiliki akses sanitasi layak 450.094 jiwa (50,04%).
Di Jakarta Utara, dengan penduduk 1.781.316 jiwa, total penduduk yang punya akses sanitasi layak 1.335.401 jiwa (74,97%). Di Jakarta Barat dengan penduduk 2.528.065 jiwa, total penduduk dengan akses sanitasi layak hanya 1.791.920 jiwa (70,88%).
Di Jakarta Selatan, dengan penduduk 2.226.830 jiwa, total penduduk yang memiliki akses sanitasi layak hanya 1.051.358 jiwa (47,21%). Di Jakarta Timur, dengan penduduk 2.805.337 jiwa, yang punya akses sanitasi layak 1.875.085 jiwa (66,84%). Sementara di Kepulauan Seribu, dengan penduduk 25.250 jiwa, yang punya akses sanitasi layak 19.955 jiwa (79%).
Berdasarkan data ini, artinya tak semua warga di DKI Jakarta memperoleh sanitasi yang layak. Menurut data gerakan TinjuTinja, pada 2015 Pemprov DKI Jakarta pernah menargetkan menjadi provinsi teratas akses sanitasi layak di tahun 2019. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian.
Padahal, selain menjadi sumber penyakit, sanitasi buruk pun menjadi penyebab stunting—keadaan di mana anak takbisa tumbuh dengan normal karena kekurangan gizi dan lingkungan.
Lebih jauh lagi, menurut Bank Dunia, dalam situs web Worldbank.org, kurangnya pelayanan sanitasi bisa menghambat potensi pertumbuhan Indonesia. Berdasarkan laporan Bank Dunia, kerugian ekonomi yang diderita Indonesia karena kesehatan dan lingkungan akibat sanitasi yang tak layak, mencapai sekitar 2,3% dari pendapatan domestik bruto (PDB) tahunan.
Tangki septik komunal
Merespons masalah sanitasi di lingkungannya, Andik Nur Cahyo menuturkan, warga sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Madya Jakarta Barat untuk membangun instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) atau tangki septik komunal.
“Sudah dari lima bulan lalu kami intensif rapat dengan Suku Dinas Perumahan Jakarta Barat,” kata Andik.
Menurut Andik, pembuatan tangki septik komunal merupakan bagian dari rencana penataan kampungnya, yang sudah terdaftar di Surat Keputusan Gubernur Nomor 878 Tahun 2018 tentang Gugus Tugas Pelaksanaan Penataan Kampung dan Masyarakat. SK tersebut disahkan pada 21 Mei 2018.
“Kalau rencana (eksekusi pembuatan tangki septik) kita belum tahu. Kemarin sudah mau dibangun, mau digali, dan sebagainya. Tapi enggak bisa cepat karena ada pertimbangan geografis, budget, dan segala macam,” tutur Andik.
Ia melanjutkan, saat ini warga masih menunggu hasil koordinasi antara Pemkot Jakarta Barat dan Pemprov DKI Jakarta, terkait eksekusi penataan kampungnya.
“Kami harap bisa cepat karena mestinya mereka sudah memahami masalah di Gang Sekretaris,” ujarnya.
Dikonfirmasi masalah sanitasi di daerah Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat, Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Juaini Yusuf mengaku, belum bisa menargetkan berapa tangki septik komunal yang akan dibuat. Sebab, pihaknya harus memetakan terlebih dahulu permukiman di Gang Sekretaris.
"Apakah ada lahan yang bisa dijadikan untuk pembuatan septic tank komunal?" ujarnya saat dihubungi, Selasa (8/10).
Bila tak memungkinkan, Juaini mengatakan, terpaksa setiap rumah bakal dibuatkan tangki septik. “Kita cek lagi dengan masyarakat setempat,” kata dia.
Menurut Juaini, Dinas SDA DKI sendiri mengusulkan dana sebesar Rp116 miliar untuk membuat tangki septik komunal di wilayah Jakarta Barat. Eksekusinya, kata dia, akan dilakukan pada 2020.
Merujuk draf Kebijakan Umum Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI tahun 2020, Dinas SDA DKI mengusulkan anggaran sebesar Rp116,2 miliar untuk pembangunan sistem pengelolaan air limbah domestik skala permukiman di Provinsi DKI Jakarta. Anggaran tersebut ditargetkan untuk 30 lokasi di wilayah Jakarta.
Juaini mengatakan, memang wilayah Jakarta Barat belum masuk prioritas tahun ini. Ia berdalih, pihaknya masih fokus mengerjakan kawasan Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.
Kurang serius
Anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI William Aditya Sarana mengatakan, permasalahan sanitasi semestinya sudah tak ada di kota sekaliber Jakarta. Berpijak dari kejanggalan tersebut, ia menuturkan, PSI akan melakukan audit setiap program yang sudah dilakukan Pemprov DKI.
"Kami sudah mulai pelajari dan inventarisir kegiatan-kegiatan yang kita bakal kritisi saat pembahasan anggaran nanti," ujarnya saat dihubungi, Selasa (8/10).
Di sisi lain, Ketua Fraksi Nasional Demokrat (NasDem) DPRD DKI Wibi Andrino pun mengaku heran dengan buruknya sanitasi di bilangan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Sebab, menurut dia, selama ini Pemprov DKI sudah punya program penataan permukiman kumuh, terutama yang memiliki sanitasi buruk.
“Program itu diatur dalam Pergub Nomor 90 Tahun 2018 dalam bentuk penataan kawasan permukiman terpadu untuk penataan fisik lingkungan, pemberdayaan sosial dan budaya, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat,” katanya saat dihubungi, Selasa (8/10).
Program itu, sebut Wibi, sudah punya anggaran yang cukup besar. Menurutnya, baru Kelurahan Tanjung Duren Utara yang melakukan perencanaan partisipatif masyarakat (communitty action plan) dengan pagu anggaran sebesar Rp418.365.805.
Ia menduga, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan jajarannya kurang serius dalam membenahi sanitasi di wilayah DKI.
"Pertanyaannya adalah bagaimana program seperti ini, yang sudah jelas ada pergubnya, masih ditemukan adanya sanitasi buruk di sana? Apakah memang suku dinas tidak turun ke masyarakat? Atau program ini memang hanya dijalankan setengah-setengah oleh Dinas Perumahan?” ucap Wibi.
Lebih lanjut, ia mengatakan, seharusnya Dinas Perumahan DKI mendapatkan teguran keras dari Gubernur DKI, sehingga penataan kawasan permukiman kumuh bisa dievaluasi.
Penataan ulang kawasan
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi memandang, potret sanitasi buruk di Tanjung Duren merupakan bentuk kegagalan Pemprov DKI menghadirkan fasilitas layak bagi warganya. Hal seperti ini, menurut dia, seharusnya sudah lama teratasi.
Ia mengatakan, sebenarnya Pemprov DKI sudah punya agenda terkait IPAL komunal. “Nah, IPAL komunal ini memiliki banyak persoalan. Salah satunya terkait lahan,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (8/10).
Tubagus memandang, Pemprov DKI masih terkesan menyalahkan warga Gang Sekretaris dalam menyikapi buruknya sanitasi di sana. Padahal, akar masalahnya ada di pemerintah.
“Ini masalah pencemaran yang belum bisa diatasi Pemprov DKI,” tuturnya.
Ia menuturkan, untuk mengatasi buruknya sanitasi di permukiman padat, tak ada jalan lain selain membangun IPAL komunal. Akan tetapi, ia mengingatkan, dalam membuat IPAL komunal, pemerintah harus berkonsultasi dengan masyarakat.
Tujuannya, supaya solusi benar-benar disepakati antara pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna. Bila hal itu tak dilakukan, Tubagus pesimis masalah sanitasi yang tak layak di DKI Jakarta bisa ditangani. Sebab, masyarakat tak pernah diberi pemahaman sesungguhnya mengenai bahaya buruknya sanitasi.
"Kalau tidak seperti itu, masyarakat akan kembali membuang limbahnya ke kali," ujarnya.
Sementara itu, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga mengingatkan, membenahi masalah sanitasi tak cukup sekadar dengan membuat tangki septik komunal.
“Perlu penataan ulang kawasan,” kata dia saat dihubungi, Selasa (8/10).
Menurut Nirwono, permukiman kumuh di Jakarta tersebar di 188 dari 267 kelurahan, dengan luas total mencapai 1.005,24 hektare. Dengan rincian, di Jakarta Utara 39%, Jakarta Barat 28%, Jakarta Selatan 19%, Jakarta Timur 12%, Jakarta Pusat 11%, dan Kepulauan Seribu 1%.
Untuk menata ulang kawasan, Nirwono mengatakan, perlu dibuka terlebih dahulu peruntukan permukiman itu di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana detail tata ruang (RDTR), dan rencana tata ruang dan lingkungan (RTRL).
"Itu penting untuk mengetahui peruntukan pemukiman tersebut," ujarnya.
Selain itu, perlu ditelusuri pula sertifikat kepemilikan lahan warga. Jika sah, menurut Nirwono, Pemprov DKI wajib menata ulang kawasan menjadi lebih tertata. Misalnya, menjadi hunian vertikal berbentuk rumah susun sederhana berlantai empat hingga enam.
“Tapi, kalau tak sesuai peruntukan RTRW dan RDTR, kampung itu harus direlokasi ke permukiman terdekat, yang layak huni,” tuturnya.