Sarinah: Pengasuh masa kecil yang jadi inspirasi besar Sukarno
Proses pemugaran pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, sempat ramai karena ditemukan relief serta patung petani dan perempuan pekerja di ruang mekanikal dan elektrikal. Gedung setinggi 74 meter, terdiri dari 15 lantai itu dipugar untuk pengembangan usaha dan menjadikannya sebagai ikon Kota Jakarta. Rencananya, “pemolesan” gedung itu selesai pada Agustus 2021.
Sarinah bukan sekadar nama. Ia memiliki pertalian emosional dan personal dengan penggagas bangunan pusat perbelanjaan modern pertama di Indonesia tersebut, yakni Sukarno.
Inspirasi kitab gerakan perempuan
Tatkala Sukarno berusia enam tahun, keluarganya pindah dari Surabaya ke Mojokerto, Jawa Timur. Di sinilah ia bertemu Sarinah.
Sarinah merupakan pembantu rumah tangga yang ikut andil membesarkan Sukarno. Sarinah, diakui Sukarno di dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1988) yang ditulis Cindy Adams, bagian dari rumah tangga keluarganya.
“Bagi kami, dia adalah anggota keluarga kami. Dia tidur dengan kami, tinggal dengan kami, memakan apa yang kami makan,” kata Sukarno dalam buku itu.
Sarinah tidak dianggap sebagai pelayan, seperti pengertian pembantu rumah tangga bagi orang Barat. Di keluarganya, Sarinah hanya membantu segala aktivitas ibunya. Bahkan, menurut Sukarno, ia tidak digaji sepeser pun.
Sangat masuk akal bila Sarinah tak mendapat gaji. Sukarno sendiri menggambarkan kehidupan keluarganya melarat.
“Hampir tak bisa makan satu kali dalam sehari. Yang terbanyak kami makan ialah ubi kayu, jagung tumbuk, dengan makanan lain. Bahkan, ibu tidak mampu membeli beras murah, yang biasa dibeli oleh para petani,” kata Sukarno dalam buku itu.
Ayah Sukarno merupakan priyayi rendahan yang berprofesi guru sekolah dasar, dengan gaji f25 sebulan.
Sehari-hari saat kanak-kanak, Sarinah setia menemani Sukarno. Ia mengajarkan Sukarno perihal cinta kasih. Menemani Sukarno kecil tidur di tempat tidur yang sempit. Suatu ketika, selagi Sarinah memasak di gubuk kecil dekat rumah, Sukarno tertegun dengan wejangan Sarinah.
“Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kau harus mencintai pula rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya,” ujar Sarinah, yang ditirukan Sukarno di buku Cindy Adams.
Kalimat yang dilontarkan dari seorang gadis desa yang tidak menikah itu terpatri terus dalam benak Sukarno. Sukarno mengambil nilai humanisme dari seorang Sarinah.
“Sarinah adalah nama yang biasa. Akan tetapi, Sarinah yang ini bukanlah wanita yang biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupku,” ujar Sukarno.
Awal Januari 1946, Ibu Kota Republik Indonesia yang belum genap setahun memproklamasikan kemerdekaan dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta karena alasan keamanan. Saat itu, kedatangan Sekutu diboncengi tentara Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) Belanda yang menebar teror.
Di Yogyakarta, Sukarno yang sudah menjadi presiden mengadakan kursus untuk perempuan di ruangan lebar dan panjang, bagian belakang Istana Yogyakarta. Menurut pengawal pribadi Bung Karno, Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999), Sukarno memberi kursus politik kepada remaja putri, mahasiswi, dan pelajar putri yang ada di Yogyakarta.
Kursus yang diadakan setiap dua pekan sekali itu mendapat sambutan besar dari para perempuan di Yogyakarta. Selain Sukarno, pemimpin Indonesia lainnya, seperti A.K. Gani turut serta memberikan ceramah. Setiap selesai memberikan pelajaran, Bung Karno kerap menulis materinya dan dihimpun jadi satu oleh pegawai Sekretariat Presiden di Yogyakarta, Mualif Nasution dan Gunadi.
“Kemudian, hasilnya dibukukan,” ujar Mangil dalam bukunya.
Inilah buku yang ditulis Bung Karno di tengah pergolakan revolusi nasional. Menurut Peter Kasenda dalam Sukarno Muda: Biografi Pemikiran, 1926-1933 (2010) buku itu berisi tuntutan untuk gerakan perempuan. Tebalnya 329, terdiri dari enam bab, terbit pertama kali pada 1947.
Di bab-bab awal, Sukarno mengangkat soal laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, dibahas keadaan perempuan dan menyatukannya dengan pemikiran feminisme marxis/sosialis. Di bab-bab terakhir, ia mempertegas kewajiban perempuan, yakni turut andil dalam menyelamatkan republik dan memperkuat negara.
“Hampir separuh buku menguraikan pandangan dan pemikiran pergerakan perempuan sosialis. Nama yang kerap muncul dalam buku ini adalah Clara Zetkin, yang oleh Sukarno dijuluki sebagai Ibu Besar dari pergerakan proletar sedunia,” tulis Peter.
Di dalam pengantar bukunya itu, Sukarno menganggap, persoalan pergerakan perempuan belum pernah dipelajari sungguh-sungguh. Ia menganggap, soal perempuan amat penting.
“Soal wanita adalah soal masyarakat,” tulis Sukarno dalam pengantar bukunya itu.
Lalu, setelah proklamasi kemerdekaan, Sukarno menganggap pendapatnya soal perempuan perlu segera diangkat.
“Sebab, kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika kita tidak mengerti soal wanita,” tulis Sukarno.
Buku itu ia beri judul Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia. Ada alasan khusus mengapa ia memilih nama Sarinah, pengasuhnya di masa kanak-kanak.
“Saya namakan kitab ini Sarinah sebagai tanda terima kasih saya,” kata Sukarno.
Sukarno sangat mengagumi Sarinah. Ia bahkan mengabadikannya dalam sebuah buku tentang gerakan perempuan yang disusunnya itu. Melalui buku itu, kata Mangil, nama Sarinah menjadi terkenal di Tanah Air dan dunia.
Solichin Salam dalam buku Bung Karno Putra Fajar (1984) menulis, Sarinah meninggal dunia pada 29 Desember 1959 di Tulungagung, jawa Timur. Kelak, namanya kembali menjadi inspirasi Sukarno membangun sebuah gedung pencakar langit modern di Jakarta.
Ekonomi sosialis di Sarinah
Gedung itu adalah pusat perbelanjaan Sarinah. Sarinah dibangun dari dana pampasan perang Jepang. Gedung ini merupakan salah satu dari tiga anak proyek Sukarno yang berdiri di Jalan Thamrin, selain Hotel Indonesia dan Gedung Wisma Nusantara.
“Dalam visi Sukarno, Jalan Thamrin penuh dengan gedung yang paling sedikit lima lantai,” tulis Farabi Fakih dalam Membayangkan Ibu Kota Jakarta di Bawah Soekarno (2005).
Pembangunannya melibatkan perusahaan kontraktor asal Jepang, Obayashi Corporation. Mulai dibangun pada 1963 dan secara resmi dibuka pada 17 Agustus 1966.
Saat itu, departement store Sarinah merupakan pusat perbelanjaan termewah di Indonesia. Menurut Farabi, sewaktu awal pembukaan, hanya empat lantai yang terisi untuk bisnis. Di sini, orang pertama kali bisa naik tangga berjalan alias eskalator dan berbelanja dengan self service alias mengambil sendiri barang di etalase.
Akan tetapi, belum juga Sarinah dibuka untuk umum, kritik datang dari pers. Sukarno menyinggungnya saat berpidato di sidang paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada 15 Januari 1966, yang dihadiri pula oleh wakil mahasiswa dan wartawan.
“Ada lagi tulisan, sekarang saudara-saudara, tidak perlu gedung megah department store Sarinah, perlu beras,” kata Sukarno di pidatonya yang dikumpulkan dalam buku Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara (2014), disunting Budi Setiyono dan Bonnie Triyana.
“Lo, saya dulu meletakkan batu pertama department store Sarinah. Saya sudah bilang, departement store Sarinah itu adalah satu yang mutlak perlu untuk ekonomi sosialis.”
Sukarno punya alasan khusus membangun pusat perbelanjaan Sarinah. Pertama, katanya, menurunkan harga, menekan harga, dan stabilitas harga. Ia mengatakan, orang di luar department store Sarinah tak akan berani menjual barang lebih tinggi daripada yang ada di Sarinah.
“Sebab, kalau di department store harganya cuma Rp50, di luar department store orang tidak berani menjual barang ini Rp100,” kata dia.
Kedua, selain stabilitas harga, Sukarno mengatakan Sarinah juga alat distributor legal. Bung Karno mengatakan, Sarinah hanya akan menjual barang-barang buatan dalam negeri, yang boleh impor hanya 40%.
“Jual lah di situ kerupuk udang bikinan sendiri, potlot kita sendiri. Pendek kata, Sarinah adalah satu absolute thing perlu untuk ekonomi sekarang ini,” tutur Sukarno.
Sukarno berambisi, jika Sarinah di Jalan Thamrin sukses, maka akan dibangun pula di Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur.
Seiring waktu, menurut Farabi, pada masa Soeharto terjadi perombakan gedung yang menyalahi makna sejarah. Ketika itu, dilakukan pencarian terhadap identitas dan tradisi arsitektur Indonesia.
Sarinah kemudian diberi wajah baru dengan menambah unsur tradisional pada bagian depan, sebuah tempelan fiberglas menyerupai atap rumah joglo. Hal itu, sebut Farabi, merupakan pelanggaran terhadap asas kesejarahan dan tradisionalitas yang diusung arsitek pengubahnya.
“Modernitas Sukarno harus dilihat sebagai bagian dari sejarah, dan bukan sejarah yang keliru, karena dalam tingkat dasarnya, tidak pernah ada kekeliruan dalam sejarah,” tulis Farabi.