Salah satu penggugat uji materi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK) mengundurkan diri. Pengunduran diri ini dinilai sebagai potret kegelisahan dan kekhawatiran akan masa depan peneliti dan perekayasa di Indonesia di masa depan.
Semula uji materi diajukan Eko Noer Kristiyanto dan Heru Susetyo. Eko adalah peneliti madya di Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan Heru adalah anggota Dewan Riset Daerah DKI Jakarta dan peneliti di Lembaga Riset dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Eko Noer kemudian mengundurkan diri, 17 September lalu. Pengunduran diri itu disampaikan kuasa hukum kasus ini saat sidang pertama di MK hari ini, Selasa (21/9), secara daring (dalam jaringan). Eko menulis pengunduran diri di atas kertas bermaterai Rp10.000. Sidang dipimpin hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dengan anggota Saldi Isra dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.
Eko Noer mundur dengan alasan sudah berhenti dari jabatan fungsional peneliti di Kemenhukmham. Keputusan itu juga hasil proses berpikir bahwa ia merasa tidak perlu lagi menjadi pemohon uji materi UU Sisnas IPTEK. "Kini saya tak punya legal standing lagi," tulis Eko.
Menurut Wasis Susetio, kuasa hukum kasus ini, mundurnya Eko sebagai salah satu penggugat menjadi salah satu bukti bahwa ada kegelisahan dan juga kekhawatiran atas masa depan peneliti di Indonesia.
Sementara Heru Susetyo tetap berkomitmen memperjuangkan nasib para peneliti dan perekayasa, yang saat ini lembaga atau institusinya telah dibubarkan. Lembaga itu kemudian dileburkan ke Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN sesuai Peraturan Presiden (Perpres) 33/2021 yang kemudian direvisi menjadi Perpres 78/2021 tentang BRIN.
Heru juga prihatin atas kemajuan iptek yang saat ini dipertaruhkan dalam satu wadah tunggal BRIN. Ini organisasi birokrasi superbody yang ia yakini memiliki gerak yang kurang responsif dan lamban akibat besaran birokrasi administrasi pemerintahan dari pusat hingga daerah. Karena BRIN juga membawahi Badan Riset dan Inovasi Daerah.
Heru meyakini akan timbul berbagai model sistem brokrasi yang rumit karena ditangani satu lembaga hirarkis dari hulu hingga hilir, dari pusat hingga merentang ke daerah dengan fungsi pembentuk kebijakan, pengendalian, pelaksanaan, hingga pengawasan ada di satu tangan.
Gugatan ini menguji frasa 'terintegrasi' dan 'antara lain' yang tertuang di Pasal 48 (ayat 1) UU 11/2019 berikut penjelasannya. Pasal 48 (1) berbunyi: "(1) Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional."
Penjelasan Pasal 48 (1): "Yang dimaksud dengan "terintegrasi" adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Perrerapan untuk menghasilkan Invensi dan Inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional."
Menurut Wasis, pemohon ingin mendapatkan tafsir 'terintegrasi' dan 'antara lain' yang multitafsir. Oleh pemerintah, kedua frasa dimaknai sebagai pembubaran yang diikuti peleburan lembaga-lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) bidang iptek (Batan, Lapan, LIPI, dan BPPT) juga litbang di 48 kementerian/lembaga (K/L) ke BRIN.
Wasis mengakui, peleburan yang berarti pembubaran itu menimbulkan keresahan peneliti/perekayasa di banyak lembaga riset dan litbang. Bukan hanya di 4 LPNK dan balitbang K/L, tapi juga di yudikatif. "Kami meyakini langkah ini bertentangan dengan pengaturan kelembagaan di UU Sisnas Iptek," kata Wasis kepada Alinea.id, Senin (20/9).