Keluarga Imawan Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi menyambangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (12/12). Kedatangan mereka, ditujukan untuk mencari keadilan atas tewasnya dua mahasiwa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, memastikan, KPK telah berkomitmen untuk mengawal kasus kematian dua mahasiswa Halu Oleo. Dia berharap, aparat penegak hukum dapat mengungkap pelaku penembak Randi dan Yusuf.
Bagi Saut, kematian Randi dan Yusuf menjadi beban moral KPK. Apalagi kematian dua mahasiswa Halu Oleo itu, memperjuangan KPK, yakni menuntut penolakan RUU KPK.
Oleh karena itulah KPK mendaulat keduanya sebagai inspirasi perjuangan pemberantasan korupsi. Selain itu, KPK akan mengabadikan nama Randi dan Yusuf di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan.
"Kami akan membawa dua nama ini menjadi sebuah nama di ACLC. Kami abadikan di ruang ACLC, walaupun sebenarnya hanya sebuah nama. Itu mungkin hanya cara kami untuk keep our mind. Bahwa mereka telah berjuang untuk membersihkan Indonesia dari orang-orang jahat," papar Saut, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Untuk ditahui, Muhammad Yusuf Kardawi dan Imawan Randi, tewas saat berunjuk rasa untuk menuntut penolakan atas RUU KPK, di depan Kantor DPRD Sulawesi Tenggara pada 26 September 2019. Diduga keduanya akibat tembakan timah panas aparat kepolisian.
Sementara ibunda mendiang Yusuf Kardawi, Endang mengaku, belum mendapat laporan terkait pengusutan pelaku penembakan anaknya. Padahal, peristiwa kematian buah hati pertamanya itu, sudah memakan waktu hingga dua setengah bulan.
"Kedatangan kami di KPK, sebagai penyambung lidah kami agar suara hati kami bisa lebih didengar para petinggi di negara ini," kata Endang, dengan suara lirih.
Dia menuturkan, kematian anaknya merupakan peristiwa kelam bagi negara ini. Nyawa buah hatinya melayang saat mengutarakan aspirasi untuk menolak RUU KPK di depan Kantor DPRD Sulawesi Tenggara.
"Apakah darah juang yang habis di negaranya sendiri tak berarti apa-apa untuk negara ini? Itu yang saya tuntut. Darah mereka habis di negara mereka. Negara harus bertanggung jawab, atas kematian anak saya," ucap dia.
Sementara Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menganggap, kasus kematian dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, merupakan salah satu contoh kegagalan kepolisian dalam melakukan penjagaan demontrasi. Untuk itu, dia mendesak pemerintah dapat memerhatikan penanganan kasus tersebut
"Randi dan Yusuf serta kawan-kawan lain yang menjadi korban adalah martir atau pahlawan antikorupsi yang harus mendapat perhatian dari negara dalam bentuk keadilan hukum untuk menghukum para pelakunya," kata Usman, saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Bagi Usman, pencopotan pejabat kepolisian yang bertanggungjawab atas tewasnya kedua mahasiswa itu tidak lah cukup. Menurutnya, poses hukum terhadap pelaku dianggap langkah yang paling ideal.
"Pelaku harus diproses secara hukum, agar kepolisian kita benar-benar bersih dari orang yang membenarkan praktek kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk dalam penanggulangan unjuk rasa," ucap dia.
Usman menganggap peristiwa tewasnya Randi dan Yusuf merupakan momentum untuk mengingatkan kembali pada negara agar menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Salah satu contohnya, kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, dan kasus Munir Said Thalib.
"Kasus Randi dan Yusuf adalah bukti bahwa pelanggaran HAM itu juga terjadi di masa pemerintahan yang sekarang. Ini adalah tragedi baru seperti Trisakti, Semanggi yang harus dipertanggungjawabkan negara," ujar Usman.