close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang. Alinea.id/Chevi Azmi Damara
icon caption
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang. Alinea.id/Chevi Azmi Damara
Nasional
Senin, 02 Desember 2019 19:41

Saut Situmorang: Dari segi penindakan, KPK itu belum apa-apa

"Kalau memang (rekomendasi) itu tidak bisa dijalankan, ya, tinggal tunggu kapan dijemput KPK."
swipe

Dari sekitar seribu orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2012, sebanyak 300 di antaranya berasal dari kalangan politikus. Meskipun hampir tiap tahun ada politikus yang dihadiahi rompi kuning oleh KPK, namun tren korupsi politik tak juga surut. 

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengungkap alasan tren itu terus ada. Menurut dia, korupsi politik tetap marak karena tidak satu pun partai politik yang menjalankan rekomendasi KPK. Padahal, KPK rutin menggelar safari ke markas parpol untuk menularkan semangat anti korupsi.

Rekomendasi-rekomendasi itu, kata Saut, tertuang dalam Sistem Integritas Partai Politik (SIPP). Fokus SIPP empat hal, yakni kaderisasi, rekrutmen, jenjang karier, dan kode etik parpol.

"Itu semua bermasalah. Apalagi, kalau menjelang munas (musyawarah nasional). Itu semua keliatan tuh," kata Saut saat berbincang dengan Alinea.id di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (27/11).

Tak hanya itu, menurut Saut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga punya andil dalam melanggengkan tren praktik lancung korupsi politik ke depan. Hal itu, setidaknya terlihat dari lolosnya revisi UU KPK yang baru dan keengganan Jokowi menerbitkan Perppu.

Berikut petikan wawancara Alinea.id dengan pria yang pernah menjadi staf ahli Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu:

 

Hampir tiap tahun ada pejabat publik, politikus, dan penyelenggara negara yang ‘dicomot’ KPK. Namun, hingga kini tren korupsi politik tidak juga surut. Kenapa seperti itu?

Jadi, memang dari 1.000 yang sudah dimasukan (ke penjara karena) perkara (korupsi) itu hampir 300 lebih politisi dan kecenderung angka itu masih akan bertambah. Maksud saya, sebenarnya dari awal, di Piagam PBB antikorupsi itu sudah diingatkan (bahaya korupsi politik). Terus pertanyaan yang sering muncul dari masyarakat itu, ‘Ada apa sih dengan partai politik?’

Kalau sedikit mundur ke belakang, Bank Dunia dari awal sudah mempelajari di banyak negara berkembang itu (muncul) yang disebut state capture. Jadi, adanya perilaku politik, politisi dikaitkan dengan isu-isu korupsi. Bagaimana mereka lakukan (korupsi) itu. Sehingga kenapa kemudian angka demikian itu bertambah terus. Jadi pertanyaannya, ‘Ada apa sih dengan integritas partai politik ini?’ Pertanyaan terus bergulir dan kami bahkan melakukan riset beberapa kali. Riset itu salah satunya bertanya kepada sejumlah calon kepala daerah yang kalah. Itu semua mengakui ada isu transaksional di situ. Bahkan dia (calon kepala daerah) sebutkan jumlahnya. Kemudian pertanyaannya, apakah penyebabnya sehingga terjadi korupsi di pileg. Kenapa ini menjadi perhatian KPK? Karena memang dari jumlah itu kecenderungannya dari tahun ke tahun tak berubah, swastanya kira-kira dua kali lipat dari jumlah penyelenggara negaranya, dalam hal ini, kepala daerah maupun daerah, DPR maupun DPRD.

Nah, oleh sebab itu, ketika kita melakukan riset dan diskusi salah satunya dengan LIPI, munculah ide yang kita sebut sebagai politik cerdas berintegritas. Politik cerdas ini kita turunkan lagi menjadi konsep SIPP (Sistem Integritas Partai Politik). Nah, SIPP itu membahas beberapa hal, misalnya kaderisasi. Kaderisasi ini paling rawan di partai politik. Siapa yang menjadi ketua, kemudian rekrutmen, kemudian anggarannya, dan bagaimana kode etiknya.

Jadi, hal-hal itu menjadi perhatian KPK, yakni bagaimana kita membina itu. Kalau (berkaca pada) sejarah, definisi itu (penyalahgunaan wewenang) kan bisa disebut devil in details. Jadi, setan itu masuk dari pintu-pintu yang sederhana, dia sangat detail. Jadi di empat hal itu, kaderisasi, rekrutmen, jenjang karier, kode etik.  Itu semua bermasalah. Apalagi, kalau menjelang munas (musyawarah nasional). Itu semua keliatan tuh.

KPK selalu mencoba pelajari itu, seperti jabatan rangkap. Itu keliatannya sederhana, tetapi perilaku transaksional di belakang hari kan…dan isu utama dari SIPP itu ketemu tokoh yang berintegritas. Kalau by definition, kan orang-orang yang muncul di partai politik. Menurut UUD 1945 kita, presiden ditentukan oleh partai politik. Oleh karena itu, kita harus bina partai politik. Kalau kemudian partai politik ini tidak dibina dengan baik, terus muncul figur-figur transaksional. Nanti angka itu terus saja seperti itu.

Oleh karena itu, yang saya maksudkan detail-detail itu, kami KPK tidak bisa memaksanya karena itu tergantung dari mereka mengelolanya dari rekomendasi yang kita lakukan itu. Kalau kita rekomendasikan, misalnya, pemerintah harus beri setengah (dana parpol), kemudian setengah lagi mereka bisa iuran anggota dan lainnya. Nah, kalau kita nanti bisa komit dengan SIPP yang kita rekomendasikan. Tujuannya kan bisa menjaga figur-figur berintegritas. Itu yang sulit untuk kita bisa pertahankan secara sustain karena memang itu bukan di penindakan.

Hari ini kan kita dikritik di DPR seolah-olah kita tebang pilih (kasus). Enggak. Kita bantah itu. Sejauh saya di KPK, enggak pernah tebang pilih. Dua bukti cukup, kita lakukan penyelidikan. Setelah itu, kita lakukan penyidikan. Sebelum penyidikan, biasanya kena OTT. Jadi, artinya rekomendasi yang dilakukan KPK, baik kaderisasi, rekrutmen, tata kelola keuangan dan seterusnya, ya, kita hanya keluarkan rekomendasi. Kalau memang itu tidak bisa dijalankan, ya, tinggal tunggu kapan saja (dijemput KPK). Tetapi, apa kita mau begitu terus di negeri ini?


Tadi disebutkan tidak ada partai politik yang menjalankan rekomendasi dari KPK. Indikasi tidak menjalankan rekomendasi itu seperti apa?

Ya, di antaranya itu tidak hanya di partai politik, termasuk juga di pemerintahan. Tetapi, kalau fokusnya di partai politik, ya, indikasinya kan lihat saja bahwa di antaranya teman-teman di partai itu aktif di mana-mana, entah itu sebagai lawyer, pengusaha, birokrat, atau apa saja. Partai politik kan hanya tempat, background-nya dari tempat-tempat lain. Di tempat itu kami sudah masuk, di guru masuk, dosen masuk, mahasiswa masuk, pengusaha masuk. Di Kadin (Kamar Dagang Indonesia) itu ada Komite Advokasi Nasional. Nah, ini kan semua menjaga integritas mereka. Ketika kita menjaga integritas mereka, kemudian tidak dijalankan, ya, kita mau gimana lagi.

Jadi, kalau kita menyarankan, misalnya, rekrutment, apakah ada seleksi, apakah ada tes. Rekrutment itu saja pun itu belum tentu berintegritas. Karena jelas partai tak bisa menjaga integritas sepanjang hari juga. Nah, kalau by definition, integrity kan sesuatu yang baik, adil, jujur, (dan) benar. Kalau itu tak ada, KPK mau bikin apalagi? Karena di (bidang) pencegahan, KPK hanya bisa beri rekomendasi-rekomendasi.

Bisa dicontohkan secara lebih spesifik, misalnya, rekomendasi KPK seperti apa dan kenapa enggak dijalanin?

Ya, di antaranya kalau pemilihan pengurus itu kan selalu gonjang-ganjing. Itu kayak gimana. Ada prossesnya enggak? Bagaimana proses rekrutmentnya? Itu kita lihat.Contohnya kalau mau (jadi)  ketua harus seperti apa. AD/ART mereka bisa dipatuhi enggak? Kalau enggak dipatuhi, ya, kami kembali lagi hanya bisa mengingatkan. Tinggal kode etik partai itu sendiri. Makanya, kita liha kode etik itu gimana. Misalnya, kalau enggak boleh jabat rangkap, ya, jangan jabat rangkap. Kalau sudah duduk di kementerian, bagaimana seterusnya. Itu semua kan harus diatur (dalam kode etik).

Nah, kalau umpamanya bagaimana kita menindak lanjuti rekomendasi itu, menata rekomendasi itu? Ya, tentu kita punya keterbatasan. Itu namanya campur tangan. Tetapi yang perlu dipahami adalah ketika persoalan integrity bermasalah kan timbul conflict of interest. Misalnya, jabatan rangkap itu kan conflict of interest-nya tinggi, muncullah penilaian yang tadi, di antaranya munculnya korupsi, ada ketidakpuasan di partai karena ada isu egaliter, ada isu musyawarah, terus ada isu-isu lainnya yang berkaitan dengan partai politik.

Ini secara keseluruhan berpotensi terhadap membangun negara yang bersih. Nah, kenapa KPK menjaga ini? Ya, karena parrai politik itu masa depan Indonesia. Itu yang harus dipahami dulu.

Kegaduhan di musyawarah nasional (munas), sistem kaderisasi yang buruk, mahar politik, dan sebagainya itu kan realitas media. Tetapi, KPK punya riset atau investigasi yang menunjukkan bahwa memang sistem dan budaya parpol itu cenderung korup?

Hampir setiap munas KPK mendengar itu. Tetapi, saya tidak bisa mengatakan bahwa kami sudah masuk atau sudah proses. Karena itu, umumnya kan (domain KPK kan) penyelengara negara. Kompetensi KPK kan penyelenggara negara. Kalau tak ada penyelenggara negara di situ, itu diluar kompetensi kita. Tetapi, kenapa itu perhatian kita? Karena memang cenderungnya mereka penyelenggara negara, incumbent juga penyelenggara negara. Makanya, itu menjadi perhatian kita, bagaimana kita perhatikan itu supaya isu transaksional tidak terjadi. Dan persoalan yang sudah kita dengar dari penindakan muncul kan suara itu. Uang itu digunakan untuk ini (dan itu).

Kita enggak masuk ke situnya. Tetapi mereka sebut bahwa arahnya ke mana. Which is itu yang sebenarnya sisi lain penindakan yang kami lakukan, walaupun kita enggak masuk ke situ. Tetapi, itu side effect dari penindakan yang kita lakukan aja. Dari cerita itu kan bisa kita simpulkan, sebaiknya Anda tidak transaksional dong.

Nah, pertanyaan kalau apakah KPK bisa masuk detail? Enggak. Tetapi sensor kami sudah lakukan untuk melihat siapa yang berpotensi melakukan itu (politik transaksional). Ya, kan kami tidak bisa sebut apa yang telah kami lakukan. Enggak. Karena yang telah kita sebut itu kalau ada penindakan, sudah ada penyidikan.

Artinya munas itu rimba yang susah untuk diintervensi KPK? Jadi, membangun budaya antikorupsi itu murni komitmen dari partai politik sendiri?

Ya, kecuali dari (sisi) penyelenggara negara. Umumnya di penyelenggara negara itu bukan sesuatu yang baru bahwa kita memperhatikan itu semua. Karena itu kewajiban kita. Ketika dia penyelengara negara, kewajiban kita untuk menjaga (mereka) tetap berintegritas. Untuk menjaga dia tidak melakukan (politik) transaksional. Itu jelas.

KPK mengawasi secara langsung setiap munas parpol?

Itu dengan cara kitalah. Tetapi, dalam diskusi kita hadir di pencegahan kan. Saya sendiri beberapa kali dalam raker (parpol) hadir di situ untuk membangun integrity mereka. Tetapi, di balik itu kita juga ‘menari-nari’ kan? Biasalah itu. Itu kan enggak ketemu-ketemu. Enggak ketemu di situ (munas) kan bisa aja ketemu di tempat lain. Kan begitu.

Tapi, seringkali kan elite-elite politik ketahuan melakukan praktik-praktik lancung itu jauh setelah penyelenggaraan munas?

Iya, makanya itu kan gambaran. Kalau di depan itu kan kita susah (mencegahnya). Kita mau pakai pasal berapa? Kalau pakai Pasal 2 (UU Tipikor), tentu kerugian negara harus dihitung dulu. Kalau pakai Pasal 5, Pasal 12 itu kan suap dan seterusnya. Jadi, itu tergantung case-nya. Di mana kita masuk tergantung upaya kita buktikan itu.

Modus-modus korupsi itu terus berkembang. Koruptor terus berinovasi. Bagaimana cara KPK beradaptasi?

Itu kan sesuai dengan tujuh bentuk (korupsi). Itu dia kan bisa masuk di suap, masuk di perizinan, pengadaan barang. Tetapi, dari ketujuh bentuk itu mereka sudah terlihat (modusnya). Bahkan, (misalnya) ada juga aktivis atau tokoh politik yang menghalangi penyidikan.

Jadi, kalau tujuh bentuk korupsi yang kita sebut di UU Tipikor itu mereka sudah lakukan… Tetapi, di perizinan paling banyak karena di situ kan case-nya cepat. Kalau umpamanya pengadaan itu ada proses, tawar-menawar. Jadi, perizinan itu banyak. Terus kemudian perbuatan  curang ada, pemerasan juga ada. Jadi, ini tergantung dari peluangnya juga. Bentuknya berbeda dan macam-macam.

Cukup enggak pencegahan korupsi politik dengan membangun sistem antikorupsi?

Ya, contoh misalnya uang ketok. Itu kan bentuknya kalau dia setuju, kita setuju. Kalau enggak, wani piro? Nah, makanya kalau ketika disebut uang ketok itu berbicara tentang e-planning, e-budgeting dan seterusnya. Nah, KPK dengan delapan intervensi yang dilakukan di daerah, termasuk juga di Jakarta, dan di setiap kementrian. Kita lakukan sejumlah rekomendasi supaya bisa menekan perilaku transaksional tadi.

Jadi, kalau uang ketok itu, disebutkanlah e-planning itu mau bangun apa. Kan itu ada di musrembang, di setiap proses itu ada. Nah, ketika itu jalan, KPK masuk di situ. Contoh di satu daerah tidak ada kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Kemudian, KPK masuk di situ. Dalam tempo beberapa bulan, mereka sepakat akhirnya.

Katalanlah, umpamanya di BPJS kemarin kita bicara dengan Kemenkes. Kebetulan karena menterinya keren, komitnya kuat, dia katakan, 'Saya enggak mau tahu soal pengadaan barang, aku fokus di stunting. (Pengadaan) barang semua dilakukan oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). LKPP kalau tak paham, enggak tahu katalog, nanti saya kirim dokter. Nah, itu niat orang di dalem juga berpengaruh.

Artinya integritas individual itu jauh lebih penting daripada sistem?

Makanya, kan literatur mana saja bilang, ‘Sistem yang baik, kalau orangnya baik, ya, baik. Tetapi, kalau sistem yang dibuat bagus oleh (orang) jelek, mau gimana?’ Sekarang saya tanya, di republik ini yang belum diatur apa sih sebenarnya? Kamu saja kalau buang sampah sembarangan di DKI bisa dihukum? Tetapi, pernah dihukum enggak kita? Kita enggak konsisten di situ. Jadi, makanya saya bilang itu integrity. Yang ngelanggar juga integrity-nya jelek.

Jadi, sistem pun kalau penyelenggara negaranya tidak ber-integrity mau sistem apa pun enggak baik. Oleh sebab itu, yang paling baik memang memilih orang yang berkompeten, berintegritas, bertanggung jawab, punya track record baik dan detail. Inilah yang saya maksudkan dalam memilih seseorang tidak boleh conflict of interest. Anda harus pilih benar-benar orang ini masa depan partai lho. Masa depan partai ini masa depan Indonesia. Kenapa KPK cawe-cawe di partai politik? Ini masa depan Indonesia.

Makanya, sekali lagi Anda punya struktur apa pun, staf apa pun, style apa pun, strategi apa pun kalau di kepala Anda itu transaksional, Anda enggak akan bisa menciptakan karya-karya besar di Indonesia? Karena yang paling penting itu nilai di kepala ini. Di kepala ini ada apa? Conflict of interest-kah? Sempitkah? Kelompok sendiri? Ya, itu susah.

Jadi, di bidang pemberantasan korupsi, sejauh ini Anda masih melihat partai politik masih seragam?

Itulah yang saya bilang kenapa KPK dari awal sangat concern di situ. Bukan hanya karena obligation dari (dunia) internasional yang bicara state capture. Tetapi, di dalam negeri KPK juga sudah membayangkan bagaimana membangun negara, bagimana tata negara kita dijalankan. Itu kan sangat dipengaruhi oleh penyelenggara negaranya, di sisi belakangnya partai politik.

Itu karenanya kita menjaga ini. Yang paling penting kan sebenarnya sustainability. Saya selalu berulang-ulang membicarakan itu. Jadi, jangan hari ini baik, besok enggak. Saya enggak usah sebut partai politiknya. Ada yang sampai hari ini mereka sustain lho. Artinya, dia enggak akan pernah dua kali (ketua umumnya sama) dan setiap tahun dia harus berubah. Tetapi, ada yang terus saja gitu kan. Ini kan sebenarnya…’Ya, enggak. Orang kita dipilih kok.’ Iya, persoalannya kita kan bicara potensi, kemungkinan. Kemudian, untuk harapan dalam tempo pendek atau panjang itu tergantung orangnya.

Oleh sebab itu, daripada kita berasumsi, kita bikin sistem yang bagus. Setiap orang dikasih syarat untuk memimpin itu seperti apa. Syarat itu, ya, dibuatnya oleh mereka sendiri dan kemudian KPK hanya melihat dari sisi yang tadi itu, seperti bagaimana mengelola dana, kode etiknya jalan atau enggak.

Bagaimana peran dari Presiden Jokowi sendiri? Belakangan, komitmen Jokowi terkait pemberantasan korupsi itu dinilai 'berkurang'? Anda melihat itu?

Ya, itu saya dekati dengan dua, ya. Pertama, tadi di (rapat kerja KPK dengan) DPR saya bilang, ‘Mohon maaf saya selama ini keras. Karena saya bukan intelijen sekarang, saya jadi penegak hukum. Saya enggak boleh abu-abu, enggak boleh hitam putih.’ Kalau intelijen, beda lagi.

Maksud saya, belakangan saya banyak kritik itu kan. Saya melihat ada beberapa yang sebenarnya enggak cocok antara pikiran, ucapan, dan tindakan. Enggak cocok, ucapannya begini, tetapi tindakannya enggak. Itu kan terbukti (dalam) poin-poin di UU baru itu. Paling tidak enggak usah yang jauh-jauhlah, saya juga enggak terlalu ini kok sekarang.

Soal pemimpin bukan penyidik dan penuntut. Kita approve dari situ aja dulu, bagaimana UU bisa keluar. Itu kan terlihat. Bahwa yang saya bilang devil in detail itu kan Anda harus detail. Masak Anda enggak baca yang namanya Dewan Pengawas itu. Itu sudah jauh sekali dari prinsip-prinsip yang diatur dalam KUHAP. Pengawas diawasi oleh siapa? Diawasi oleh UU itu?

Oke, UU itu boleh saja jalan, tetapi itu sangat inefisien. Kita di awal harus jelas bahwa memberantas korupsi itu harus efisien, efektif. Berarti kan enggak konsisten antara ucapan, pikiran, dan tindakan. Enggak cocok itu bilang efisien, tetapi ini jadi inefisien. Jelas dong. (Penetapan tersangka di KPK), dua bukti saja sudah cukup. Bahkan, tadi kita debat dengan DPR, 'Anda enggak perlu hitungan-hitungan itu. Anda kalau perlu hitung sendiri. Enggak perlu BPK, enggak perlu BPKP. Ketika ada dua bukti yang cukup, sudah tahan hari ini boleh.' Sekarang jadi ruwet (dengan berlakunya UU yang baru).

Makanya, saya katakan bahwa ini enggak konsisten. Kalau Anda (Presiden) mau memberantas korupsi, saya katakan bahwa negara memegang pemberantasan korupsi. Dia pegang sendiri. Enggak peduli orang lain, dia warnai hukum, bukan mewarnai hukum.

Makanya, saya bilang isu ini state capture. State capture itu semua kekuatan politik sama-sama untuk kemudian melakukan sesuatu. Dan, pengalaman di negara-negara besar itu kenapa mereka survive? Misalnya LKY (Lee Kuan Yew). LKY itu dia lakukan itu. Dia pegang sendiri. Dia sikat sendiri orang yang paling dekat ketika dia membangun Singapura ketika (memberantas) korupsi. Enggak boleh ada proteksi-proteksi dengan alasan yang Anda sebut sebagai pencegahan.

Pencegahan dan penindakan sesuatu yang beda. Ketika dua bukti yang cukup telah terjadi. Itu tinggal mencari saja sebenarnya. Tetapi, orang itu sudah jahat. Itu yang dimaksud dengan (korupsi di) KUHAP. Ketika kita sudah mulai penyidikan itu dua bukti sudah ada. Artinya, (korupsi) sudah terjadi. Bukan kita mencari-cari kesalahan. Terus kemudian saya disuruh mencegah orang-orang yang sudah penuhi dua bukti ini? Itu enggak adil.

Jadi, Jokowi enggak konsisten?

Kalau saya bilang, ‘Iya.’ Tidak konsisten pikiran, ucapan, dan tindakannya. Dia harus konsisten dong. Kata adil itu dua kali disebut dalam Pancasila lho.

Lahirnya UU KPK yang baru itu ditengarai sebagai salah satu upaya melanggengkan korupsi politik. Sepakat enggak?

Kalau saya dekati dari value KPK ini, dengan asumsi mereka enggak dikeluarin semua nih dari gedung baru. Tetapi, kan tadi ditanya orang-orang yang punya otak mulai enggak betah nih. Sudah ada empat atau lima (pegawai) sudah keluar. Ya, sudah mundur.

Saya anggap ini suatu (gejala) orang sudah merasa enggak ada kebanggaan (bekerja) di sini (KPK). Ini sesuatu yang berbahaya dari UU itu. Okelah, mungkin ada beberapa orang survive. ‘Saya enggak peduli dengan UU. Saya pegang KUHAP saja sudah cukup, UU KPK hanya manajemen saja.’ Katakanlah, hanya melengkapi KUHAP, ya. Tetapi, sebenarnya di KUHAP saja sudah cukup. Tugas kami dalan penyelidikan itu cari dua bukti. Nah, kalau memang dia ngambil (duit korupsi), saya (KPK) hitung sendiri. Yang diambil sama dia, saya hitung sendiri dan itu (di putusan) MK-nya sudah begitu.

Jadi, artinya kalau dari sisi itu, kita tidak akan ragu. Apa pun bentuk UU-nya, value yang ada di KPK ini akan mendorong mereka tetap melakukan penindakan dan pencegahan dengan baik. Tetapi, Anda percaya kan bahwa yang saya katakan di bagian depan untuk memberantas korupsi itu harus efisien dan ada proses yang dihambat dengan posisi Dewan Pengawas tadi.

Pertanyaannya kalau begitu ini ada agenda apa? Makanya, saya pakai tadi state capture. Ada puluhan orang yang memandang mereka terzalimi, kemudian mereka lakukan serangan balik. (Mereka sepakat) untuk ‘memperbaiki’ UU KPK dengan judul membikin Indonesia lebih banyak pencegahan daripada penindakan. Padahal, laporan kita di pencegahan kita sangat banyak (yang dilakukan KPK). Katakanlah kalau kita bicara benar, dari 7.000 surat (laporan) yang masuk ke KPK, 30% yang berpotensi korupsi. Seharusnya KPK memenjarakan berapa orang? Paling enggak lima orang satu hari. Kalau memang betul dari 7.000 itu 30% punya potensi (terjadi korupsi). Rata-rata begitu tiap tahun.

Artinya, dari segi penindakan (KPK) belum lakukan apa-apa. Dari seribu (orang tersangka) itu, yang kena OTT (operasi tangkap tangan) cuma berapa sih? Jadi, kenapa diributin? Karena yang di-OTT apa temannya semua? Saya enggak tahu. Makanya, kita enggak setuju kalau kita (dibilang) tebang pilih. Mana yang tebang pilih. Yang kita pilih yang buktinya cukup.

Bagaimana KPK menyikapi kasus-kasus korupsi yang sempat menyeret hingga ketua umum partai? Ada tekanan?

Jadi, sebenarnya kita enggak menyasar-nyasar orang. Iya kan? Ucapan, pikiran, (dan) tindakan orang, KPK itu selalu konsisten (merekomendasikan apa yang ada) di dalam SIPP. Dalam gambar besar politik cerdas berintegritas itu kan kita maksudnya justru untuk membina. Itu kalau enggak, kita biarin aja.  Biar ngaco semua, kita tangkep-tangkepin. Iya, enggak?

Tetapi, kemudian kita bicara bagaimana seseorang karena kekuasaannya digunakan mempengaruhi (orang lain). Kan kasus terakhir begitu. (Korupsi) yang dua triliun itu kan kekuasaan yang digunakan. Posisi dia yang digunakannya untuk kemudian mengatur-atur.

Maksudnya kasus korupsi KTP elektronik yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto?

Iya, itu digunakan untuk itukan mengatur anggotanya. Stafnya ikut di situ. Itu kan terbukti bahwa kita bukan menyasar partai tertentu. Enggak dong. Tetapi, makanya cenderung yang disebut sebagai kekuasaan cenderung disimpangkan. Itu terbukti ternyata.

Itu sebabnya makanya rekrutmen, kaderisasi, dan model-model pemilihannya harus selektif. Bukan berdasarkan katakanlah transaksional atau politik uang. Kita enggak pernah berpikir bahwa, ‘Oh, ini kalau dia ketua, ini pasti (korupsi).’ Enggak juga. Nih, ketua yang lain enggak tuh. Enggak semua ketua. Jadi, artinya begini. Kita lebih kepada kekuatan bukti-buktinya. Dan, bayangkan saja untuk kasus lama juga (KPK) sangat hati-hati. Dari 2012 (kasus KTP-e digarap), 2017 baru (ada tersangka).

Jadi, yang kita maksudkan kita (KPK) datang melindungi orang-orang baik itu bukan ucapan hanya di bibir saja. Enggak. Tetapi, ketika kita sudah melihat itu jadi sebuah peristiwa pidana dan kita bisa buktikan itu, ya, kita akan kejar sampai kapan pun.

Artinya ketika nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sempat disebut di persidangan dan hingga kini belum juga 'digarap' KPK, itu karena memang buktinya belum cukup?

Yes. Tetapi, kan kemarin ada yang mau coba justice collaborator (JC). Ada seseorang mengaku, kemudian sudah kita tolak. Karena syaratnya untuk JC itu bukan pemeran utama dan seterusnya. Ya, kalau dia mau buka kasus yang lebih besar lagi, ya, silahkan aja ajukan lagi JC-nya.

Kita tidak pernah katakan bahwa kita enggak pernah terpengaruh. Bayangin aja di setiap kasus itu pasti kan orang disebutin nama-namanya. Banyak selalu disebut. Macam-macam orang nyebut nama juga. Biar nyeret-nyeret itu. Ibaratnya kalau udah mau tenggelam di laut itu kan segala macam ditarik. Itu sangat normatif. Tetapi, KPK enggak terpengaruh di situ.

Kemudian kita tidak bisa secara cepat menghentikannya atau kemudian mengaitkan kasusnya. Harus diakui itu ada kaitannya dengan resource kita juga. Sama dengan kasus (korupsi Wali Kota) Medan. Kita baru memulai lagi. Babak tiganya ini. Meskipun belasan orang (itu) juga kasihan juga itu (kalau ditetapkan tersangka). Tetapi, kan belum kita tersangkakan. Tetapi, kan mau kita dalami lagi.

Jadi, harus diakui juga bisa jadi memang kita belum ketemu itu karena resource-nya terbatas dan bisa jadi juga faktanya tidak ada yang disebut itu. Dan, kita enggak terlalu terpengaruh. Kalaupun disebut, kita akan tanya.

Sebenarnya KPK enggak perlu pengakuan kok. Hampir semuanya yang ditanya-tanya itu tidak pernah ngaku. Kita enggak perlu pengakuan. Kita bisa nyari bukti dari yang lain. Dan, memang prinsip yang baru memang seperti itu. Kita enggak butuh pengakuan.

Jadi, dalam mencari nama-nama yang disebut itu, kita harus hati-hati. Tetapi, percayalah, kalau memang (buktinya) cukup, kita akan jalankan.

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan