close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pedagang kaki lima. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi pedagang kaki lima. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Sabtu, 24 Juli 2021 17:29

“Saya enggak mau usaha tutup total, mau makan apa keluarga saya?”

Banyak pedagang kecil mengeluh selama penerapan PPKM darurat.
swipe

Sejak pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat Jawa dan Bali, pikiran Srie Adhimas—akrab disapa Dimas—terus dibayangi keterpurukan usaha ikan hiasnya. Padahal, ketika pandemi melanda awal Maret 2020 lalu, ia sudah mengakali strategi bisnisnya dengan berjualan secara daring.

Ternyata, PPKM darurat pun turut berimbas pada bisnis ikan hias di ranah digital. Pangkalnya, arus distribusi barang tersendat akibat pembatasan mobilitas lewat penyekatan. Hal itu membuat durasi pengiriman ikan semakin lama.

“Kalau kelamaan begitu, ikan bisa mati,” kata Dimas kepada Alinea.id, Minggu (18/7).

“Contoh (pengiriman) ke Bali biasanya 24 jam. (Sekarang) ini bisa jadi 36 jam. Sedangkan ikan dengan packing-an belum tentu bisa kuat lebih dari 24 jam.”

Melihat risiko yang lumayan besar, Dimas akhirnya menunda semua permintaan pemesanan keluar kota. Akan tetapi, ia juga harus memutar otak agar ikan hiasnya tetap terjual. Sebab, menahan terlalu lama ikan hias dagangannya, bisa berisiko menambah beban biaya perawatan dan pemeliharaan.

Warga Bekasi, Jawa Barat itu kemudian memutuskan menjual ikan hiasnya di sekitar wilayah Jabodetabek hingga PPKM darurat berakhir. “Biar (usaha) tetap jalan,” ucap Dimas.

Bukan perkara mudah juga menjual ikan hias di tengah daya beli masyarakat yang menurun. Dimas pun memutuskan menurunkan harga ikan hiasnya hingga 10%.

Dimas mengaku penghasilannya sudah turun hingga 50% sejak PPKM darurat diterapkan. Ia ketar-ketir bila PPKM darurat diperpanjang lagi.

“Kalau begini terus, berat buat usaha saya,” kata Dimas.

Petugas gabungan memerintahkan pengendara yang akan menuju Jakarta putar balik saat melintas di pos PPKM Lampiri, Jalan Kalimalang Raya, Jakarta Timur, Kamis (22/7/2021)./Foto Instagram TMC Polda Metro Jaya.

Strategi agar tak mati

Kondisi tak jauh berbeda juga dialami salah seorang pedagang buku di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, Acho. Meski sudah dilarang petugas, Acho masih nekat membuka toko bukunya.

“Pintu toko kita buka sedikit, transaksinya di luar. Begitu ada petugas, ya tutup. Karena saya juga enggak mau usaha saya tutup total. Mau makan apa keluarga saya?” kata Acho, Rabu (21/7).

Ia mengaku, usahanya sangat terpuruk sejak PPKM darurat berlaku. "Kadang sehari cuma bisa bawa pulang duit Rp25.000-Rp35.000 dari satu atau dua buku yang kebeli," ujarnya.

Acho mengatakan, ia sangat terpukul karena usahanya nyaris gulung tikar. Sebab, hasil yang diperoleh sulit menutup biaya operasional. Demi mempertahankan usahanya, ia membanting harga buku hingga 50%.

“Misalnya novel harga Rp25.000 ya saya jual Rp10.000 saja. Kalau enggak gitu susah, abis-abisan kita,” kata Acho.

Ia pun mengaku sampai harus turun ke jalan menawarkan buku-buku dagangannya kepada warga yang melintas Jalan Pasar Senen, Jakarta Pusat. “Barangkali mereka mau dan bukunya sudah kita diskon juga,” ujarnya.

Strategi lainnya, Acho rajin menghubungi pelanggan lamanya. “Saya mengandalkan pelanggan lama saja karena untuk bersaing di online sudah banyak pemainnya,” tuturnya.

Acho menyebut, beberapa pedagang buku kenalannya di Kwitang ada yang sudah menyerah lantaran tak mampu mengakali keadaan saat PPKM darurat. “Ya mau gimana, buka seharian paling yang beli satu atau dua orang," kata Acho.

Kendati demikian, Acho masih berharap momentum pergantian semester genap ke ganjil dapat mengurangi beban pedagang buku. Sebab, kala pergantian semester itu permintaan buku naik.

“Mudah-mudahan ada perbaikan. Biar sedikit, tapi berarti buat pedagang kecil kayak saya,” ucapnya.

Reni, pedagang kuliner ceker mercon di bilangan Banjir Kanal Timur (BKT), Cipinang Indah, Jakarta Timur pun mengaku penghasilannya merosot tajam karena dipaksa tutup oleh petugas Satpol PP. PPKM darurat membuatnya kelimpungan dengan segala macam kebutuhan sehari-hari.

“Kontrakan enggak kebayar semua. Saya pernah cuma dapat Rp15.000, ya cuma buat makan,” kata Reni, Sabtu (17/7).

Reni mengatakan, dirinya kerap berselisih paham dengan petugas Satpol PP karena lapaknya baru buka, tetapi sudah diusir. “Kami jualan malam. Rame sedikit, diusir Satpol PP,” ujar Reni.

Ia mengaku belum punya strategi agar usahanya tetap bisa bertahan lama. Penjualan secara daring pun, ungkapnya, sepi pembeli.

“Dulu paling kecil Rp500.000-Rp700.000 per hari biasa. Kalau weekend dua kali lipatnya. Sekarang mah enggak bisa cerita,” tutur dia.

Petugas melakukan tindakan penutupan tempat usaha dan pembubaran pedagang kali lima di sepanjang jalan masuk menuju Perkampungan Industri Kecil (PIK), Cakung, Jakarta Timur, Kamis (22/7/2021)./Foto Instagram Humas Polsek Cakung.

Ubah sikap terhadap pelaku UMKM

Pemerintah memperpanjang PPKM darurat Jawa-Bali hingga 25 Juli 2021, setelah sebelumnya diterapkan sejak 3 hingga 20 Juli 2021. Ada beberapa aturan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) selama PPKM darurat, di antaranya jam operasional hanya hingga pukul 20.00 waktu setempat, penjualan makanan dan minuman hanya menerima pesan-antar, dan sektor nonesensial dan nonkritikal tak diizinkan dibuka.

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menilai, pemerintah pusat tak matang dalam merancang PPKM darurat, sehingga kurang mendukung UMKM. Hal itu terlihat dari cara pemda yang tak seragam dalam mengatur pelaku UMKM selama PPKM darurat.

“Misalnya, Bogor simpatik caranya. Ada daerah yang kira-kira represif, seperti terjadi di Sulawesi Selatan,” kata Ikhsan saat dihubungi, Rabu (21/7).

“Banyak lagi yang terjadi di tempat lain, yang akhirnya kebablasan dan malah nutup usahanya.”

Tindakan represif yang dimaksud Ikhsan adalah peristiwa pemukulan oleh Sekretaris Satpol PP Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan terhadap pasangan suami istri pemilik warung kopi pada Rabu (14/7).

Lebih lanjut, Ikhsan melihat pelaksanaan PPKM darurat hanya berkutat pada persoalan penyekatan jalan dan penutupan tempat usaha saja. Padahal, tujuan PPKM darurat ialah menurunkan angka kasus harian Covid-19.

Menurut Ikhsan, semestinya pemerintah fokus terhadap pencegahan kerumunan, bukan penutupan tempat usaha. Dalam pengamatannya, biang kerok kenaikan angka kasus Covid-19 bukan UMKM, tetapi tak adanya pengawasan dari petugas.

“Semestinya kerumunan saja ditindak tegas. Kalau mau jujur, kenaikan angka kasus Covid-19 akibat pemerintah juga karena tak ada pengawasan yang ketat,” kata dia.

“Daerah-daerah kerumunan seperti di Pasar Minggu justru tidak ada petugasnya.”

Melihat kondisi demikian, ia menilai wajar pelaku UMKM banyak yang marah dengan penerapan PPKM darurat. Apalagi, katanya, rata-rata penghasilan UMKM hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Usaha mikro itu mendapat keuntungan paling banyak Rp200.000 sampai Rp250.000 per hari. Rata-rata keuntungan itu hanya cukup untuk makan,” tuturnya.

“Terus bisa savings anak sekolah, bayar listrik, dan bayar transportasi.”

Terlebih lagi, menurut Ikhsan, pemerintah tak memberikan jaminan sosial terlebih dahulu kepada para pelaku UMKM, sebelum penerapan PPKM darurat. Buntutnya, banyak pelaku UMKM yang kelimpungan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, begitu tak boleh berjualan.

“Harusnya, jaring pengaman sosialnya sudah siap dulu,” ucap Ikhsan.

Infografik Alinea.id/Oky Diaz.

“Misalnya, usaha mikro sebulan dapat Rp6 juta, minimal dia dapat setengahnya dari itu, sudah bagus untuk mengobati hatinya. Kalau ini kan dibiarkan begitu saja. Pemerintah lepas tanggung jawab.”

Ikhsan menyebut, saat ini rata-rata pelaku UMKM mengalami penurunan omzet 60% hingga 70%. Padahal, sebelum penerapan PPKM darurat, UMKM tengah berusaha bangkit. Meski begitu, Ikhsan mengatakan, sebenarnya pelaku UMKM bisa bertahan bila cermat membaca peluang usaha.

“Transformasi bisa dilakukan asal punya kreativitas yang tinggi. Misalnya, dulu jual makanan, sekarang jual APD (alat pelindung diri) atau masker,” kata dia.

“Tapi tidak semua pelaku UMKM bisa, lagi pula uang yang beredar di masyarakat sedikit.”

Ikhsan menyarankan, pemerintah mengubah sikap dalam menerapkan PPKM darurat, yang lebih fokus pada penerapan protokol kesehatan ketat. Bukan memukul pelaku UMKM melalui aparat pemda atau penegak hukum.

"Kalau caranya justru menutup UMKM, itu bakal sangat memukul pelaku UMKM. Dampaknya luar biasa bagi mereka," kata Ikhsan.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan