Seberapa bahaya parasetamol yang mencemari Teluk Jakarta?
Usai ramai tersiar kabar pencemaran parasetamol—obat pereda rasa nyeri dan penurun panas—di Teluk Jakarta, awal Oktober 2021 Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemprov DKI Jakarta bergerak. Mereka mengambil sampel air di Muara Angke dan Ancol, lokasi yang diduga tercemar parasetamol.
Sampel air laut itu diambil untuk diteliti agar dapat mengetahui muasal parasetamol. Setidaknya dibutuhkan waktu 14 hari, hasil riset baru keluar.
“Kami belum tahu apa penyebabnya. Apakah ada kelalaian karena ada yang membuang dengan sengaja atau tidak sengaja. Kami sedang melakukan penelitian,” ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, seperti dikutip dari Antara, Senin (4/10).
Peringatan pencemaran limbah farmasi
Sementara itu, tampaknya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bergerak lebih maju. Kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya Bakar itu bakal membentuk tim kerja bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kementerian terkait, dan perguruan tinggi guna mengelola bahan kimia farmasi dan kekhawatiran kontaminan yang muncul (contaminants of emerging concern).
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati, nantinya lingkup kerja tim itu meliputi kegiatan sains yang transparan untuk memandu penentuan prioritas kekhawatiran kontaminan yang muncul saat ini dan masa depan.
“(Dengan cara) menyaring dan mengidentifikasi bahan kimia yang akan diprioritaskan untuk tujuan pengembangan kebijakan lebih lanjut,” ujar Rosa saat dihubungi Alinea.id, Kamis (7/10).
Lalu, mengembangkan program pemantauan berbasis kinerja dan validasi metode analisa yang lebih baik, seperti teknik penyaringan bioanalitik untuk mengidentifkasi bahan kimia kontaminan.
“Hal ini dilakukan untuk memprediksi konsentrasi CEC (contaminants of emerging concern) berdasarkan produksi, penggunaan, dan keberadaannya di lingkungan, yang bermanfaat untuk menetapkan prioritas penelitian dan pengembangan kebijakan,” tutur Rosa.
Selain akan membentuk tim kerja, KLHK juga bakal memanggil puluhan pengelola perusahaan farmasi yang ada di Jakarta untuk diminta keterangan dan memastikan pengelolaan limbah sesuai standar yang sudah ditetapkan.
“Dari catatan kami, di Jakarta ada 27 perusahaan farmasi. Rencananya akan kami cek bagaimana pengelolaan dari obat-obatan bekas yang sudah kedaluwarsa dan sebagainya,” kata dia.
Terdeteksinya parasetamol di Teluk Jakarta pertama kali diungkap empat peneliti dalam riset berjudul “High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia“ di Marine Pollution Bulletin, yang dipublikasikan pada Agustus 2021.
Empat peneliti itu, antara lain Wulan Koagouw dari School of Pharmacy and Biomolecular Sciences, Universitas Brighton, Inggris; Zainal Arifin dari Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)—yang sekarang terintegrasi dengan BRIN; George W.J. Oliver dari School of Pharmacy and Biomolecular Sciences, Universitas Brighton, Inggris; dan Corina Ciocan dari Centre for Aquatic Environments, Universitas Brighton, Inggris. Wulan juga beraktivitas di Centre for Aquatic Environments, Universitas Brighton, serta Pusat Penelitian Oseanografi.
Di dalam hasil riset itu, disebutkan sampel air laut diambil dari lima titik sepanjang pantai utara Jawa Tengah, empat titik di Teluk Jakarta (Angke, Ancol, Priok, dan Cilincing), dan satu titik di Teluk Eretan (Jawa Barat).
Sampel di Teluk Eretan, Angke, Ancol, dan Priok diambil pada September 2017. Sedangkan sampel di Cilincing diambil pada 2018. Hasil temuannya, tingkat konsentrasi parasetamol di Angke sebesar 610 nanogram per liter (ng/L).
“Yang merupakan salah satu konsentrasi tertinggi di air laut, setelah Laut Mediterania barat pada 200 g/L dan Laut Aegea 2,9 g/L,” tulis Wulan dkk. Sedangkan tingkat konsentrasi parasetamol di Ancol sebesar 420 ng/L.
Banyak limbah berbahaya lainnya
Menurut Zainal Arifin, yang terlibat dalam penelitian ini, dua lokasi itu memang merupakan konsentrasi parasetamol paling tinggi. “Sedangkan di Teluk Eretan tidak terdeteksi alat,” kata dia saat diskusi melalui kanal YouTube KLKH, Selasa (5/10).
Sumber parasetamol yang ada di Teluk Jakarta, kata dia, berasal dari tiga faktor. Pertama, ekskresi akibat konsumsi masyarakat yang berlebihan. Kedua, sisa limbah obat dari rumah sakit. Ketiga, pembuangan limbah dari industri farmasi.
Kendati menemukan konsentrasi parasetamol yang tinggi, Zainal mengingatkan, risetnya perlu pendalaman lagi terkait dampaknya terhadap ikan yang terkontaminasi dan dikonsumsi manusia.
Wulan Koagouw, peneliti lain yang terlibat, mengungkapkan bahwa temuan ini bisa menjadi dasar bagi kesadaran seluruh pihak agar mengatasi pencemaran air laut. Peran peneliti, ujar Wulan, dapat memberikan data guna diserahkan pada pemerintah supaya bisa mengambil kebijakan yang tepat.
“Agar kita bisa melakukan solusi yang kita rumuskan bersama untuk atasi masalah di laut kita, bukan hanya parasetamol, tetapi dengan contaminant lainnya,” ucapnya saat konfrensi pers virtual, Senin (4/10).
Menanggapi temuan tersebut, staf pengajar Departemen Kimia Universitas Airlangga (Unair) Ganden Supriyanto merasa heran. “Kenapa yang dijadikan topik itu parasetamol? Sementara banyak polutan lain yang lebih toxic yang perlu diekspos,” tutur Ganden, Kamis (7/10).
Salah satu contoh limbah farmasi yang menurut Ganden menjadi polutan lebih beracun adalah etinilestradiol, yang merupakan komponen utama dalam pil KB.
“Kandungan itu banyak ditemukan di laut lepas di beberapa negara, dibanding parasetamol,” ujar Kepala Grup Riset Sensor dan Teknologi Unair itu.
Dampak yang diakibatkan dari pencemaran etinilestradiol itu juga menurut dia lebih berbahaya untuk biota laut. Bahkan, bisa menimbulkan kepunahan. Apalagi kandungan itu tak mudah terurai lantaran memiliki senyawa yang kompleks dibanding parasetamol.
“Kalau lepas ke lingkungan, dikonsumsi oleh mikroorganisme itu menjadi betina semua,” kata Ketua Pusat Studi Lingkungan dan Energi Berkelanjutan Pascasarjana Unair itu.
Tak cuma limbah farmasi, Ganden menerangkan, limbah logam berat yang berasal dari produksi perusahaan tambang juga polutan berbahaya bagi ekosistem laut dan berdampak fatal untuk kesehatan manusia.
“Logam berat itu kan biasanya di sedimen. Itu kalau diambil oleh kerang, kemudian dikonsumsi ibu hamil, sangat berbahaya. Dia menyerang sistem saraf pusat atau fetus calon bayi,” tuturnya.
Menurutnya, konsentrasi parasetamol yang ditemukan empat periset itu terbilang kecil, tak melebihi lethal concentration (LC) 50 dan lethal dose (LD) 50 yang ditetapkan dalam jurnal terindeks scopus Q1. LC 50 dan LD 50 merupakan ukuran konsentrasi dan dosis suatu senyawa yang menyebabkan hewan uji mati.
“Jadi secara toksikologi sebetulnya belum berbahaya. Itu masih aman dari manusia, jauh di bawah LC atau LD,” tuturnya.
Tingkat LD 50 pada tikus saja, menurut Ganden, mencapai 1.900 mg/kg dari berat badannya. Dengan demikian, ia menilai, tingkat konsentrasi parasetamol yang ditemukan di laut Jakarta masih relatif aman untuk manusia, tetapi tak aman bagi biota laut.
Kesehatan manusia tak akan terdampak dari kandungan parasetamol itu. Pasalnya, kandungan LD 50 parasetamol bagi manusia, yang diketahui Ganden, mencapai 12 gram/liter.
“Apalagi itu satuan (berat parasetamol) ng (nitrogram). Ng per liter itu kecil sekali. Di bagi 1.000 masih mikrogram, dibagi 1.000 lagi jadi milligram,” tutur Gendan.