close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Komponen Cadangan. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi Komponen Cadangan. Alinea.id/Oky Diaz
Nasional
Kamis, 28 Januari 2021 18:43

Segudang persoalan di balik pembentukan Komponen Cadangan

Tanpa diatur oleh regulasi secara ketat, Komponen Cadangan potensial dijadikan alat penguasa.
swipe

Meski berstatus mahasiswa baru di Fakultas Ekonomi Universitas Nasional (Unas), hal-hal terkait skripsi alias tugas akhir sudah memenuhi benak Isna Lifina. Berniat lulus cepat, Lisna sigap mengantisipasi semua peluang menambah poin akademik. 

Itulah kenapa saat program Pelatihan Karakter dan Kepemimpinan Mahasiswa (PKKM) Bela Negara dibuka di Unas, Isna langsung mendaftarkan diri. Kabarnya, sertifikat PPKM Bela Negara bisa dibarter dengan poin akademik. 

"Sejauh ini, saya enggak tahu pasti (poin) itu jadi diberikan atau enggak sama kampus ke setiap mahasiswa yang ikut PKKM," kata Isna saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (26/1).

PPKM Unas digelar di Depo Pendidikan Bela Negara Rindam Jaya, Condet, Jakarta Timur, November, tahun lalu. Pelatihan digelar selama beberapa hari. Ada ratusan mahasiswa baru Unas yang tersaring sebagai peserta. 

Di sana, kata Isna, para peserta dilatih oleh instruktur dari Rindam Jaya. Menu pelatihan rata-rata ialah kegiatan-kegiatan yang bertujuan membangun kekompakan dan kedispilinan. 

"Seperti membuat yel-yel bersama TNI dan melatih kekompakan keliling Rindam Jaya pada malam hari. Ada juga makan bersama dengan waktu yang cukup cepat yang dikasih para pelatih. Itu untuk kita jadi cepat, teliti, dan tepat waktu," tutur dara berusia 19 tahun itu.

Selain aktivitas lapangan, Isna dan kawan-kawannya juga diberikan materi-materi di dalam ruangan. Salah satu yang diingat Isna ialah materi terkait sejarah TNI-Polri. "Kami disuruh nonton tayangan sejarah terbentuknya Indonesia dan dididiknya para (personel) TNI-Polri," ujarnya.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unas, Zainul Djumadin membenarkan niatan pihak kampus mengonversi keterlibatan mahasiswa dalam PPKM ke bentuk nilai akademik. Ia juga tidak membantah jika langkah itu diambil supaya mahasiswa Unas tertarik ikut PPKM. 

"Jadi, nanti kami akui (keikutsertaan dalam PPKM) berapa SKS. Misalnya kalau dia ikut selama enam bulan, nanti kami coba rumuskan ulang. Kita akui berapa (nilai) kegiatan ini," ujar Zainull saat dikonfirmasi Alinea.id

PKKM, kata Zainul, lahir berkat kerja sama Unas dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Kegiatan PPKM dimaksudkan sebagai cikal bakal rekrutmen mahasiswa untuk mengisi Komponen Cadangan (Komcad) yang digagas Kemenhan. 

Menurut Zainul, konsep Komcad sejalan dengan niat Unas mencetak mahasiswa yang unggul serta berintegritas. "Kalau ilmu dan teknologi ini nanti disalahartikan dan disalahgunakan, maka bahaya buat bangsa dan negara. Karena itu, Pak Rektor kita, bagaimanapun juga menyambut baik jika memang Komcad itu betul-betul nanti dibuka," ucapnya.

Pembentukan Komcad merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (UU PSDN). Disebutkan dalam beleid itu, Komcad adalah sumber daya nasional yang disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama (TNI).

Rencana membentuk Komcad kian mewujud setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Peraturan Pelaksana UU PSDN pada pertengahan Januari lalu. Dengan terbitnya PP itu, rekrutmen 25 ribu anggota Komcad tahap awal hanya tinggal disahkan lewat Peraturan Menhan. 

Meskipun ramai dikritik aktivis hak asasi manusia dan pegiat LSM, Zainul optimistis rekrutmen Komcad tidak akan menimbulkan persoalan. Apalagi, tidak ada kewajiban bagi para mahasiswa untuk ikut ambil bagian dalam PPKM. 

"Ini kan lebih ke luar dan untuk membentuk karakter. Ya, jangan sampai kayak Pam Swakarsa (Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa pada 1998). Jadi, ini untuk melatih kedisiplinan. Jiwa kepemimpinan dan nasionalisme. Lagi pula, ini kan sifatnya sukarela," kata dia. 

Hingga kini, menurut Zainul, sudah ada 250 mahasiswa Unas yang mengikuti pelatihan ala militer di Rindam Jaya. "Nanti kalau Komcad launching, mungkin (mereka) jadi cikal bakal Komcad (dari kalangan mahasiswa)," ujar Zainul.

Ilustrasi pelatihan Komponen Cadangan. Foto Antara/Ahmad Subaidi

Komcad bisa jadi alat penguasa

Meski telah punya payung hukum, Direktur Imparsial Gufron Mabruri meminta agar rekrutmen Komcad ditunda. Menurut Gufron, pembentukan Komcad potensial melahirkan beragam persoalan. Salah satu yang ia permasalahkan ialah terkait definisi dan fungsi Komcad belum diatur secara jelas dalam UU PSDN. 

"Komponen Cadangan yang telah disiapkan dan dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk menghadapi ancaman keamanan dalam negeri, seperti dalih untuk menghadapi ancaman bahaya komunisme, terorisme, dan konflik dalam negeri yang berpotensi menimbulkan terjadinya konflik horizontal," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (25/1).

Menurut Gufron, konsep bela negara yang dirancang lewat Komcad kental bau militeristik. Itu terlihat dari pemberlakuan hukum militer bagi peserta pelatihan Komcad dan anggota Komcad dari kalangan sipil selagi aktif bertugas. 

"Penggunaan hukum militer bagi Komcad selama masa aktif sebagaimana diatur pada Pasal 46 UU PSDN adalah kekeliruan fatal. Padahal, ketidaktundukan pada peradilan umum ini berpotensi melanggengkan impunitas dan menghambat reformasi peradilan militer," jelas Gufron.

Gufron berpandangan, keberadaan peradilan militer dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang melibatkan personel merupakan biang keladi dari tidak tuntasnya reformasi TNI. Banyak kasus HAM di masa lalu yang tidak terungkap terang-benderang lantaran tidak diproses lewat peradilan umum.

"Reformasi militer tersendat karena belum dituntaskannya kasus pelanggaran HAM masa lalu, serta ketidaktundukan militer terhadap sistem peradilan umum. Tapi, UU PSDN justru mewajibkan komponen cadangan tunduk terhadap hukum militer," ujarnya.

Kehadiran Komcad juga bakal menimbulkan persoalan dalam situasi konflik bersenjata. Menurut Gufron, saat ini masih belum jelas apakah Komcad masuk dalam kategori kombatan atau nonkombatan saat dimobilisasi dalam perang. 

Ketimbang membentuk Komcad, Gufron berpandangan lebih baik anggaran pertahanan dioptimalkan untuk memperkuat TNI. Ia menilai TNI masih kesulitan meningkatkan kapasitas lantaran tidak didukung anggaran yang memadai.

"Pemerintah fokus saja untuk memperkuat komponen utamanya yakni TNI dalam hal penguatan alutsista, peningkatan kapasitas profesionalisme TNI, dan peningkatan kesejahteraan prajurit di tengah kondisi anggaran pertahanan yang terbatas," ujarnya.

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Segendang sepenarian, Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan, memandang Komcad hanya kedok untuk militerisasi sipil. Hal itu setidaknya terlihat dari pemberlakuan hukum militer kepada anggota Komcad dari masyarakat sipil.

Mengutip bunyi Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, Halili mengatakan, pengadilan militer hanya boleh menangani kasus-kasus hukum yang melibatkan prajurit. Pelanggaran hukum oleh Komcad tidak boleh ditangani peradilan militer. 

"Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI pun secara eksplisit telah menyebutkan bahwa yang tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer adalah prajurit," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (25/1).

Tak hanya menimbulkan ketidaksinkronan substansi regulasi, Halili menilai pembentukan Komcad juga mengancam demokrasi. Kekuatan Komcad potensial disalahgunakan sebagai alat penguasa untuk menekan masyarakat dan melahirkan konflik horizontal. 

"Dari sisi demokrasi dan HAM, tentu bisa diindentifikasi itu bisa terjadi penyalahgunaan. Kita enggak pernah bisa jamin bahwa komponen cadangan itu tidak dimobilisasi untuk kepentingan non demokratis atau kepentingan yang secara horizontal memungkinkan terjadinya konflik antar masyarakat," ucapnya.

Menurut Halili, masyarakat sipil tidak seharusnya digiring bermental sebagai tentara dengan mengikuti pelatihan Komcad. Pemerintah, kata dia, mestinya berkaca pada memori buruk pembentukan Pam Swakarsa jelang kejatuhan Orde Baru. 

"Sebab militer itu memiliki doktrin membunuh atau dibunuh karena memang doktrinnya untuk perang. Bayangkan kalau sipil didoktrin semacam itu dan digunakan untuk kepentingan nonpertahanan negara, seperti yang dulu terjadi pada pasukan Pam Swakarsa di tahun 1998 dan 1999. Itu bahaya sekali," ujarnya.

Lebih jauh, Halili menilai kehadiran Komcad sudah tidak relevan untuk menghadapi ancaman pertahanan berkarakter multidimenasi pada era kiwari. Selain ancaman militer, negara saat ini juga harus bersiap menghadapi ancaman non militer dan ancaman hibrida atau gabungan militer dan nonmiliter. 

"Apalagi kecanggihan teknologi dengan perubahan sosialnya itu memang tidak bisa sepenuhnya didekati atau direspons dengan pendekatan militer. Dalam konteks ini, Komcad jelas tidak menjawab ancaman pokok militer yang dihadapi dan ancaman nonmiliter yang dihadapi," ucap dia.
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan