close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Personel kepolisian bersiap mengikuti apel gelar pasukan Operasi Among Raga (Pam Asian Games) di Jakabaring Sport CIty (JSC), Palembang, Sumatra Selatan, Selasa (14/8)/Antara Foto
icon caption
Personel kepolisian bersiap mengikuti apel gelar pasukan Operasi Among Raga (Pam Asian Games) di Jakabaring Sport CIty (JSC), Palembang, Sumatra Selatan, Selasa (14/8)/Antara Foto
Nasional
Jumat, 17 Agustus 2018 13:29

Sejak Januari, polisi tembak mati 77 orang

Polisi Indonesia sejak Januari 2018 telah menembak mati lebih dari 70 orang dalam Operasi Cipta Kondisi untuk memberantas kejahatan jalanan.
swipe

Polisi Indonesia sejak Januari 2018 telah menembak mati lebih dari 70 orang dalam Operasi Cipta Kondisi untuk memberantas kejahatan jalanan di berbagai kota di seluruh Indonesia. 

Menurut Amnesty International Indonesia, setidaknya 77 orang di berbagai wilayah di Indonesia ditembak mati ada periode Januari dan Agustus tahun ini, termasuk 31 orang di Jakarta dan Palembang, Sumatra Selatan, tempat Asian Games diselenggarakan. Dari amatan Amnesty International Indonesia, banyak dari penembakan-penembakan tersebut terjadi dalam operasi yang dirancang untuk menyiapkan Jakarta dan Palembang sebagai tuan rumah Asian Games yang digelar dari 18 Agustus hingga 2 September 2018 tersebut.

“Beberapa bulan menjelang Asian Games, pihak berwenang berjanji meningkatkan keamanan masyarakat. Tapi, kami justru melihat polisi menembak mati puluhan orang dengan akuntabilitas yang rendah,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid (17/8) dalam rilis yang diterima Alinea.id.

Usman menyebut, tingginya angka itu menunjukkan pola penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan. Polisi juga disebut sebagai lembaga keamanan secara konstan tak tersentuh hukum.

"Penyelenggaraan acara olah raga internasional tidak boleh mengorbankan hak asasi manusia. Tembak mati harus dihentikan dan semua kasus kematian harus diselidiki dengan cepat dan efektif,” lanjut Usman.

Angka tembak mati mencapai puncaknya pada 3-12 Juli 2018, ketika 11 orang di Jakarta dan tiga orang di Palembang ditembak mati polisi sebagai bagian dari operasi pengamanan untuk menyiapkan dua kota tersebut sebagai penyelenggara Asian Games. “Di Jakarta, selain mereka yang dilaporkan tewas, ada 41 orang ditembak di kaki dan sekitar 700 dari 5.000 orang yang ditangkap disangka melakukan tindak kriminal,” jelas Usman.

Sebelum operasi Cipta Kondisi tersebut digelar, lanjut Usman, pejabat tinggi polisi secara terbuka mengumumkan  aparat akan mengambil tindakan tegas, termasuk menembak di tempat terhadap orang yang melawan atau menyerang petugas. “Walaupun kebijakan tersebut menuai kritikan, Kapolri menegaskan kembali keputusannya pada 30 Juli, dengan mengatakan kalau lawan, tembak. Kalau melawan, jangan ragu, tembak saja,” imbuh Usman menirukan Kapolri.

Polisi memberi alasan jika penembakan di Jakarta dilakukan karena meningkatnya kekhawatiran publik akan kejahatan jalanan menjelang Asian Games. Jumlah orang yang tewas ditembak polisi di Indonesia akibat kejahatan jalanan dari Januari hingga Agustus 2018, meningkat 64% dibandingkan periode yang sama pada 2017.

“Polisi jelas menerapkan kebijakan tembak dulu dan bertanya belakangan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Kepolisian Nasional harus melakukan penyelidikan menyeluruh, tidak memihak dan independen terhadap praktik tembak mati tersebut dan membawa semua yang dicurigai sebagai pelaku kejahatan ke pengadilan, termasuk mereka yang berada di dalam rantai komando,”ujar Usman.

Amnesty International menyerukan pihak berwenang Indonesia, serta badan olahraga nasional dan internasional, mengambil langkah yang diperlukan untuk memastikan pelanggaran hak asasi manusia tidak terjadi karena Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games.

“Di bawah hukum hak asasi manusia internasional, Indonesia diwajibkan untuk selalu menghormati dan melindungi hak hidup setiap orang, dan memiliki kewajiban untuk melakukan investigasi yang cepat, menyeluruh dan efektif terhadap dugaan pelanggaran hak hidup,” kata Usman.

Hukum dan standar hak asasi manusia internasional, lanjut Usman, menetapkan bahwa aparat penegak hukum hanya dapat menggunakan kekerasan ketika benar-benar diperlukan, proporsional  dan sejauh yang dibutuhkan untuk keperluan penegakan hukum yang sah. “Penggunaan kekuatan mematikan yang disengaja, termasuk senjata api, hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dan hanya ketika tidak dapat dihindari, untuk melindungi nyawa atau cedera berat,” jelasnya.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan