Dalih pembunuhan massal dalam peristiwa 1965 dinilai erat kaitannya dengan penghilangan paksa. Sejarawan University of British Columbia, Vancouver, Kanada, John Roosa mengungkapkan, penghilangan paksa merupakan bentuk kekerasan yang tersembunyi.
Menurutnya, penghilangan paksa mengubur sejarah kejahatan karena tidak ada ingatan yang jelas. Dalam kasus penghilangan paksa, korban tiba-tiba sudah meninggal dunia, saksi, tidak banyak, dan pelaku umumnya bungkam.
Penghilangan paksa, lanjut John, merupakan cara membunuh yang sangat keji. Sebab, pembunuhan dilakukan supaya keluarga korban tidak tahu apa yang telah terjadi.
Ironisnya, kata dia, penghilangan paksa menjadi pola umum dalam pembunuhan di Indonesia era Orde Baru. Penghilangan paksa terjadi di Aceh, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.
“Ini penghilangan paksa, orang yang sudah ditahan, diambil dari kamp penahanan, dibawa ke tempat yang sepi terus dibunuh di situ. Sehingga, tidak ada ingatan yang jelas. Itu susah sekali untuk ingat peristiwa yang dibuat supaya orang tidak bisa ingat,” ujar John dalam diskusi virtual, Selasa (29/9).
Menurut John, para tahanan politik (tapol) biasanya menyaksikan orang yang dibawa keluar dari penjara pada malam hari, dan mereka tidak kembali lagi. Bahkan, jelas dia, para tapol juga tidak mengetahui persis apa yang terjadi setelahnya.
“(Penghilangan paksa) itu pola umum yang membunuh banyak sekali nyawa. Lebih gampang membunuh tahanan daripada membunuh orang yang masih di desa atau di kampung,” tutur penulis buku Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto ini.
Di sisi lain, kata dia, kebebasan pers Indonesia era Soeharto terbelenggu. Padahal, kebebasan pers sangat penting untuk mengungkap kasus-kasus genosida.
Dalam buku terbarunya Buried Histories: The Anticomunist Messacre of 1965-1966 in Indonesia (2020), John mengungkapkan, bahwa tidak benar adanya upaya menormalisasi kekerasan melalui media cetak atau radio yang berujung pembunuhan massal berskala nasional hingga lokal.
Namun, kata dia, dalih pembunuhan massal memang sengaja dikoordinasi. “Operasi mental. Istilah tentara. Saya kira kalau ada pers yang bebas saat itu sulit, untuk membangun propaganda, semua pers di bawah tentara. Tidak ada cerita lain yang keluar (dari narasi). Malah Soekarno sendiri memiliki perspektif lain, tetapi sudah difilter oleh pers di bawah tangannya tentara,” ujar John.