close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz (kiri) dalam konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, pada Sabtu (28/12). Alinea.id/Valerie Dante
icon caption
Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz (kiri) dalam konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, pada Sabtu (28/12). Alinea.id/Valerie Dante
Nasional
Sabtu, 28 Desember 2019 17:04

Sekjen FSPMI: Perancangan Omnibus Law tidak demokratis

Sekjen FSPMI Raden Hatam Aziz menilai bahwa buruh yang merupakan motor penggerak ekonomi seharusnya dilibatkan perancangan.
swipe

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz mengatakan bahwa perancangan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang diusulkan Presiden Joko Widodo tidak demokratis.

"Indonesia adalah negara demokrasi, seharusnya ketika mendiskusikan suatu isu, para pemangku kepentingan diajak bicara. Faktanya, terkait Omnibus Law, buruh yang merupakan motor penggerak ekonomi justru tidak diajak berunding. Ini sudah tidak lagi demokratis," tutur dia dalam konferensi pers di Kantor LBH Jakarta pada Sabtu (28/12).

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan secara langsung mengubah 85 UU, salah satunya UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Sejumlah hal yang akan direvisi terkait ketenagakerjaan antara lain sistem upah, pesangon, dan penerimaan tenaga kerja asing (TKA).

Riden menyebut bahwa substansi Omnibus Law sangat merendahkan posisi buruh dan meniadakan peran serikat pekerja sebagai pelindung hak buruh.

"Cara menyusun RUU-nya saja sudah tidak benar, jadi tentu buruh akan melawan. Omnibus Law tidak Pancasilais, melanggar sila kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata dia.

Senada dengan Riden, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan bahwa proses perancangan Omnibus Law mencerminkan sifat pengusaha yang ogah melibatkan buruh.

"Di seluruh dunia, setiap perubahan UU yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus melibatkan suara para pemangku kepentingan. Tapi di sini, dengar pendapat, dialog, atau diskusi dengan serikat buruh pun tidak ada," jelas Iqbal.

Dia menyebut Omnibus Law sebagai RUU bercita rasa pengusaha dengan dalih penggenjotan investasi.

"Saya bisa mengklaim 99% serikat buruh menolak Omnibus Law yang sama sekali tidak melibatkan perwakilan buruh dalam proses perancangannya," ungkap dia.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Sabda Pranawa Djati menilai bahwa Omnibus Law semakin mengukuhkan posisi Jokowi sebagai pemimpin yang tidak berpihak pada rakyat.

"Keberpihakan Jokowi bukan pada masyarakat. Bisa dilihat dari bagaimana satuan tugas Omnibus Law itu didominasi kalangan pengusaha," tegas Sabda. "Tidak ada perwakilan pedagang kaki lima, nelayan, dan petani yang pada akhirnya menjadi pihak-pihak yang paling terdampak RUU itu."

Keberadaan satgas itu, jelas Sabda, bertujuan untuk mengawal pembahasan atau perancangan draf Omnibus Law. Namun, dia menilai bahwa jika didominasi pengusaha, maka kepentingannya pun akan timpang.

"Pengusaha tidak mengerti bagaimana buruh kesulitan beli makanan untuk hidup sehari-hari atau susu buat anak," ungkap dia.

Jokowi menyampaikan rencana menyusun Omnibus Law pada 20 Oktober. Presiden menargetkan draf Omnibus Law dapat disampaikan ke DPR pada pertengahan Januari 2020.

Omnibus Law, tambah Sabda, tidak hanya menyasar tenaga kerja. Terdapat 11 klaster dalam RUU tersebut, beberapa di antaranya terkait pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan persyaratan investasi.

Sabda menegaskan bahwa karena memiliki cakupan yang luas, Omnibus Law akan berdampak bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Masyarakat harus sadar bahwa kita sedang dicengkeram oleh kekuatan kapitalis," ujar Sabda.

img
Valerie Dante
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan