Terdapat tiga opsi metode penyelesaian kewajiban PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang tertunggak kepada pemegang polis setelah tekanan likuiditas yang berakibat gagal bayar. Yakni, opsi restrukturisasi, transfer, dan bail in (suntikan dana dari pemegang saham, dalam hal ini negara).
Ketua Panitia Kerja (Panja) Jiwasraya, Arya Bima menjelaskan, pembayaran ini dipilih mencermati ketersediaan anggaran dari hasil Rakortas Pendanaan pada 2021.
Bima mengatakan, pembayaran akan ditempuh melalui dana penyertaan modal negara (PMN) sedikitnya sebesar Rp12triliun dan penerbitan surat utang PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau BPUI senilai Rp10 triliun.
"Selanjutnya, pemerintah akan mengalokasikan dana PMN pada Rancangan APBN 2022 sebesar Rp10 triliun ditambah bungan untuk pelunasan surat utang BPUI," tutur Arya, dalam rapat bersama Menteri BUMN, yang disiarkan secara virtual, Senin (30/11).
Wakil Ketua Komisi IV DPR itu menerangkan, pengalokasian dana bantuan sebesar puluhan triliun itu kepada BPUI telah diatur dalam APBN 2021. Dia menegaskan, dana PNM tidak dapat dilaksanakan divestasi PT Jiwasraya Putera.
"Ini dilakukan karena tidak bisa dilakukannya divestasi Jiwasraya Putera sehingga kebutuhan PNM pendanaan penyertaan modal negara pada BPUI sebesar Rp22 triliun," tutur dia.
Selain opsi tersebut, Bima juga menjabarkan dua opsi lainnya. Pertama opsi bailout. Opsi itu, kata Bima, tak dapat dipilih lantaran belum ada aturan baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan KKSK. "Payung hukumnya enggak ada mengenai bailout," tutur Bima.
Opsi kedua, yakni pembubaran atau pailit Jiwasraya. Bima berkata, opsi ini harus dilakukan melalui OJK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2012 tentang Perasuransian. Namun, opsi ini tak diambil karena memiliki dampak besar.
"Opsi pembubaran juga memiliki dampak ekonomi terbesar juga akan dirasakan BUMN yang memiliki portofolio pensiunan Jiwasraya. BUMN perlu melakukan red off dan top up dana pensiun karyawan," tutur Bima.