Semarak pawai dan lomba peringatan kemerdekaan pada 1950
Setiap tahun, kala hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, rakyat di berbagai daerah merayakannya dengan semarak. Bendera merah-putih berkibar di depan rumah warga, upacara bendera diadakan di berbagai tempat, dan aneka perlombaan berlangsung seru.
Momen tak kalah istimewa saat Indonesia merayakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1950. Di tahun kelima perayaan lepas dari belenggu penjajahan dan bertempur mempertahankan kemerdekaan, Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—sebelumnya berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS terbentuk atas konsekuensi hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, yang berlangsung pada 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949. Hasil konferensi berlaku pada 27 Desember 1949, ditandai penyerahan kedaulatan Indonesia.
RIS terdiri dari 7 negara bagian dan 9 daerah otonom. Pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berlaku UUDS 1945, dan RIS resmi dibubarkan. Saat itu, Indonesia kembali ke sistem demokrasi liberal NKRI.
Di masa damai inilah pawai dan perlombaan untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia mulai diadakan.
Upacara meriah
Harian Pikiran Rakjat edisi 9 Agustus 1950 melaporkan pembentukan panitia perencanaan peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kelima. Komposisi kepanitian ini terdiri dari wakil-wakil beberapa perkumpulan, organisasi olahraga, serta organisasi kepanduan.
Kabar upacara kemerdekaan Indonesia di Istana Negara dipublikasikan ragam media cetak. Surat kabar Merdeka edisi 16 Agustus memberikan informasi penting.
“Jangan lupa Bung! Pada 17 Agustus yang akan datang. Bangun pagi-pagi. Mengerek sang merah putih di muka rumah saudara pada jam 6 pagi. Kemudian lekas-lekas pergi ke muka Istana Merdeka, supaya paling lambat jam 07.30 sudah ada di sana, untuk menyaksikan upacara 17 Agustus,” tulis Merdeka.
Surat kabar berbahasa Belanda Java-bode edisi 16 Agustus 1950 bahkan memuat agenda lengkap upacara akbar bersama Presiden Sukarno. Di antara agenda perayaan kemerdekaan di Istana Merdeka, yang berlangsung dari pukul 07.30 WIB hingga 19.15 WIB, ada beberapa agenda menarik.
Pada pukul 09.54 WIB ada imbauan untuk membunyikan sirine, beduk-beduk di masjid, dan lonceng-lonceng di gereja selama dua menit. Lalu lintas di seluruh Jakarta juga wajib berhenti untuk mengheningkan cipta.
Pukul 10.02 WIB dilakukan pengerekan bendera merah-putih dan tembakan meriam dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), serta atraksi pesawat Angkatan Udara Republik Indonesia Serikat (AURIS) dengan menyebarkan surat selebaran. Yang menarik, disebutkan bahwa bendera merah-putih sudah lima tahun tak dilihat rakyat Jakarta.
Pukul 10.25 WIB diadakan pawai rakyat, dengan iring-iringan dari Lapangan Banteng-Jalan Perwira-Merdeka Utara-Istana Merdeka-Merdeka Barat-Merdeka Selatan-Merdeka Timur-Pejambon-Lapangan Banteng. Inilah pawai pertama yang digelar setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Merdeka edisi 18 Agustus 1950 melaporkan, sebanyak 200.000 rakyat membanjiri lokasi upacara di Istana Merdeka. Di kesempatan tersebut, disampaikan pidato Ketua DPR Sementara Radjiman Wedyodiningrat tentang pembebasan Irian Barat serta tak berlakunya lagi Senat dan DPR RIS.
Upacara dan rangkaian acara memperingati ulang tahun negara berlangsung aman. Merdeka edisi 19 Agustus 1950 hanya melaporkan, satu orang diamankan di halaman Istana Merdeka karena memakai pakaian tentara APRIS secara ilegal. Selain itu, beberapa polisi sibuk mencari anak-anak yang hilang di keramaian pasar malam.
Upacara bendera pun dilakukan di berbagai daerah. Merdeka edisi 19 Agustus 1950 melaporkan, di Yogyakarta upacara berlangsung di bekas gedung kepresidenan dan dihadiri 300 orang. Selain upacara, di langit Yogyakarta juga hilir-mudik pesawat yang menyebarkan amanat Presiden Sukarno. Pawai pun digelar di Yogyakarta. Namun, pawai ini bukan sembarang pawai. Pawai ini hampir mirip demonstrasi.
“Pawai terdiri dari pelbagai macam barisan dengan membawa poster-poster yang ke semuanya berisi menuntut perbaikan sosial ekonomi, dan pelaksanaan hak-hak demokrasi,” tulis Merdeka, 19 Agustus 1950.
Di Bogor, upacara peringatan kemerdekaan berlangsung di Lapangan Tanah Sareal. Di sini, diadakan pula parade infantri yang jumlahnya satu batalion, arak-arakan, dan perlombaan.
Di Bandung peringatan kemerdekaan dimeriahkan pawai tentara di Lapangan Terbang Andir. Pasukan-pasukan payung terjun dari pesawat AURI beraksi.
Selain itu, upacara berlangsung di Lapangan Tegallega. Malam hari menjelang tanggal 17 Agustus, diadakan pawai membawa obor oleh sejumlah pemuda. Gedung-gedung dihiasi dengan daun-daunan dan lampu-lampu yang menarik perhatian.
Perlombaan dan aksi sosial
Peringatan hari kemerdekaan Indonesia bukan hanya identik dengan upacara bendera dan pawai, tetapi juga ragam perlombaan.
Di dalam tulisannya berjudul “National Ritual, Neighborhood Performance: Celebrating Tujuhbelasan”, Barbara Hatley menulis, perayaan peringatan hari kemerdekaan atau biasa dikenal dengan istilah tujuhbelasan, dianggap sangat penting dalam kehidupan masyarakat kampung dan perkotaan.
Barbara mencontohkan, di Yogyakarta dibutuhkan sekitar satu bulan untuk mempersiapkan perayaan hari kemerdekaan. “Setelah agenda perlombaan dan pertunjukan ditetapkan, maka spanduk dan poster pun disebar,” tulis Barbara.
Tak seperti sekarang yang diisi dengan perlombaan khas, seperti panjat pinang, makan kerupuk, dan balap karung, pada 1950 dan 1951, lomba-lomba untuk memeriahkan hari kemerdekaan bercorak olahraga.
Pikiran Rakjat edisi 11 Agustus 1950 melaporkan, untuk memperingati hari kemerdekaan, Kotapraja Jakarta Raya menyisipkan perlombaan menghibur dalam agendanya. Pertunjukan perlombaan olahraga itu akan diisi perkumpulan olahraga Indonesia maupun asing.
“Kepada semua orang yang mempunyai toko, pemerintah Kotapraja Jakarta Raya menganjurkannya untuk menghias toko-toko mereka. Sebab, bagi toko terindah akan diberi hadiah yang bagus,” tulis Pikiran Rakjat, 11 Agustus 1950.
Tak hanya toko-toko, anjuran juga berlaku bagi penduduk kampung. Mereka diimbau mendirikan gapura di muka gang. “Yang terindah, akan disediakan hadiah yang indah pula,” tulis Pikiran Rakjat.
Di samping itu, diadakan perlombaan untuk anak-anak sekolah. Sayembara mengarang bertema 17 Agustus pun digelar dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
“Untuk si pemenang telah disediakan hadiah-hadiah yang bagus,” tulis Pikiran Rakjat.
Keramaian memperingati hari kemerdekaan Indonesia pun digelar di Tangerang. Merdeka edisi 19 Agustus 1950 menulis, perlombaan bagi anak-anak sekolah diadakan. Selain itu, ada pula pertandingan sepak bola antara kesebelasan Satrya Djakarta melawan Bond Tangerang.
Perayaan kemerdekaan semakin semarak pada 1951. Di Istana Merdeka, diadakan acara upacara seperti biasa. Yang berbeda, tulis Merdeka edisi 18 Agustus 1951, malam harinya, digelar garden party (semacam pertunjukan) pada pukul 20.00 WIB hingga 23.00 WIB. Acara itu dihadiri 1.500 undangan.
Di Gedung Pertemuan Umum Jakarta digelar perlombaan untuk anak-anak, yang disediakan banyak hadiah. Garden party itu bisa disaksikan masyarakat pada 19 dan 20 Agustus 1951 di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru.
Harian Rakjat edisi 18 Agustus 1951 melaporkan, pada perayaan ulang tahun RI ke-6, Kotapraja Jakarta Raya mengimbau toko dan pedagang di pasar menutup lapaknya. Nyaris semua jalan dan kampung-kampung, pintu gerbang rumahnya terdapat hiasan bendera merah-putih dan semboyan-semboyan.
Dilaporkan harian yang sama, di Palembang peringatan kemerdekaan Indonesia pada 1951 berlangsung selama lima hari. Selain pidato, pameran, aksi sosial, pawai, ada pula perlombaan.
Saat itu, Wali Kota Palembang Sudarman Ganda Subrata menggelar perlombaan bidar (perahu terbuat dari kayu) di Sungai Musi dan pertandingan catur.
Kalimantan Barat pun tak mau ketinggalan memeriahkan hari kemerdekaan. Ina Mirawati dalam tulisannya “Menengok Gegap Gempitanya Tradisi Masyarakat Indonesia Merayakan HUT Kemerdekaan RI lewat Arsip Foto” yang terbit di majalah Arsip edisi Mei-Agustus 2013 menyebutkan, ada beberapa koleksi foto Arsip Nasional RI yang menggambarkan situasi gegap gempita perayaan HUT RI. Salah satunya perlombaan dayung dan perahu hias pada 1951 di Sungai Mahakam, Kalimantan Barat.
Tak hanya perlombaan bercorak olahraga dan hiburan rakyat, perayaan kemerdekaan Indonesia ke-6 juga diwarnai perlombaan yang sifatnya memberdayakan masyarakat.
Merdeka edisi 21 Agustus 1951 melaporkan, Jawatan Pertanian Rakjat Bandung memberi hadiah-hadiah perlombaan tanam padi kepada Kecamatan Soreang sebagai juara I sebesar Rp10.000 dan juara II Kecamatan Ciwidey memperoleh Rp5.000.
“Sejumlah Rp825 diberikan langsung kepada 70 orang pemenang perseorangan,” tulis Merdeka, 21 Agustus 1951.
Selain itu, diberikan pula hadiah berupa alat-alat pertanian dan ijazah sebagai penghargaan atas jasa orang-orang yang membantu pembangunan di lapangan pertanian. Perlombaan menanam padi tersebut diklaim meningkatkan teknik pertanian rakyat. Naiknya produksi padi sekurang-kurangnya 29 kuintal per hektare.
Di samping upacara, pawai, dan perlombaan, ada pula aksi sosial. Merdeka edisi 18 Agustus 1951 melaporkan, di Kelurahan Salemba diadakan pembagian tanda penghargaan berupa pakaian kepada para keluarga korban pejuang yang gugur. Selain itu, ada uang untuk membantu pendidikan, mendirikan taman bacaan, dan membantu sekolah-sekolah yang sudah ada.
Di Kampung Petojo Udik aksi sosial pun dilakukan. Di sana, dibentuk sebuah lembaga untuk menampung pengangguran. Di Jati Petamburan, diadakan pengumpulan bahan makanan, pakaian, dan uang untuk membantu keluarga korban revolusi.
Barangkali, aksi sosial ini yang sangat kurang dirasakan dalam peringatan kemerdekaan hari ini. Sebuah aksi yang perlu ditiru.