Konflik agraria masih marak terjadi hingga kini. Bahkan, memasuki tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), Komisi Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, terjadi 2.710 konflik agraria rentang 2015-2022 dan berdampak pada 5,8 juta ha tanah dan 1,7 juta keluarga terdampak se-Indonesia menjadi korban.
Senator asal Papua Barat, Filep Wamafma, memaklumi jika konflik agraria masih sering terjadi. Menurutnya, salah satu pangkal berulangnya konflik agraria karena pemerintah lamban menuntaskan persoalan hak guna usaha (HGU).
"Pemerintah memang sangat lamban. Konflik berulang karena mitigasi risiko pemerintah tidak berjalan dengan baik. Padahal, masalah HGU di daerah-daerah di Indonesia ini sudah berlarut-larut," ucapnya, Jumat (6/10).
Ia lantas mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana ada 8,3 juta ha lahan HGU yang belum terpetakan sehingga menyebabkan konflik vertikal. Pun terdapat 1.700-an sertifikat yang bermasalah.
"Kalau kita cek lebih jauh, konfliknya terjadi karena pengukuran tanah HGU sebelumnya masih berdasarkan tanda alam, belum menggunakan sistem proyeksi TM-3 dan karena terbitnya SK penetapan kawasan hutan dan Perda RTRW kawasan hutan setelah HGU terbit," tuturnya.
Filep berpendapat, pemerintah mestinya menjadikan analisis KPK sebagai dasar menyusun kebijakan pro rakyat. Apalagi, berdasarkan aspirasi yang diterimanya, masyarakat meminta permasalahan agraria segera diselesaikan.
"Maka, tentu saya meminta supaya pemerintah segera tuntaskan persoalan HGU dan persoalan tanah terlantar agar tidak menciptakan konflik antara pemerintah dan masyarakat," ujar Wakil Ketua Komite I DPD RI itu. "Perlu ada satgas atau lembaga yang khusus menyelesaikan sengketa pertanahan terkait HGU."
Di sisi lain, Filep mengakui HGU berkaitan dengan investasi. Namun, ia meminta pemerintah harus mengutamakan dan memberikan perlindungan masyarakat.
"Investasi itu penting, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana warga negara diberikan jaminan dan perlindungan oleh negara," tegasnya.
"Pemerintah sangat sulit membela rakyat karena alasan legalitas HGU, tetapi jika ada penyelesaian melalui suatu badan atau lembaga yang menangani khusus persoalan pertanahan, maka setidaknya persoalan pertanahan HGU bisa diselesaikan. Kita butuh aksi nyata pemerintah seperti itu, bukan dengan cara-cara yang akhirnya melawan rakyat sendiri," tutur Filep.