Sengkarut integrasi BRIN: Layanan mati suri, periset mati kutu
Rumput liar tumbuh subur di sudut kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek), Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Ilalang setinggi dengkul orang dewasa mengerubungi makmal bahan semai milik laboratorium Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sebuah alat sensor pemantauan awan hujan yang terpasang di depan laboratorium TMC pun dikelilingi belukar. Semut dan belalang tampak hilir-mudik di atas peralatan tersebut. Alat-alat yang biasanya rutin beroperasi itu terancam rusak.
“Ya, begini. Kondisinya (makmal) tidak terurus karena tidak ada tenaga honorer (akibat diputus oleh BRIN) sejak awal tahun ini,” ucap seorang petugas yang minta identitasnya dirahasiakan saat berbincang dengan Alinea.id di area Gedung Puspitek, Selasa (18/1).
Laboratorium terasa senyap. Hanya suara derum mesin freon alat pendingin udara yang terdengar. Alat penyemai garam bernilai miliaran rupiah di ruangan itu bak pajangan. Garam semai sisa riset terbungkus rapi di dalam drum dan plastik.
Sejak awal tahun, periset dan perekayasa di laboratorium itu sama sekali tak beraktivitas. Padahal, kegiatan penggilingan garam semai rutin dilakukan sebelum BRIN mengakuisisi makmal tersebut. Sebagian besar alat semai yang terbuat dari besi dan alumunium itu terancam karatan.
Salah satu petugas mengatakan sudah ada jadwal piket untuk mengontrol suhu ruangan dan memanaskan mesin semai garam tersebut. Namun, itu hanya sekali dalam sepekan. “Kita memang hanya piket saja. Enggak ada kegiatan (riset), karena masih pemetaan juga,” ucap dia.
Situasi serupa dijumpai Alinea.id di sebuah hanggar eks milik Lembaga Antariksa dan Penerbangan (Lapan), Bogor, Jawa Barat. Di hanggar itu, pesawat PK-TMC Piper Cheyenne terbengkalai. Tumpukan debu serta kotoran burung dan kelelawar menempel pada bagian eksterior badan pesawat pesawat yang diproduksi pada 1979 itu.
“Kita (petugas) tidak berani untuk melakukan perawatan karena merawat ini harus petugas khusus yang memiliki lisensi,” terang petugas yang tidak ingin disebutkan identitasnya kepada Alinea.id di Pusat Teknologi Penerbangan Lapan, Selasa (18/1).
PK-TMC Piper biasanya digunakan untuk melakukan kegiatan semai menggunakan medium suar. Namun, sejak akhir Desember lalu, burung baja itu hanya diparkir di hanggar. Perawatan terhadap pesawat tua itu minim lantaran petugas teknis yang berstatus honorer diberhentikan oleh BRIN.
Raibnya tenaga honorer di laboratorium dan instalasi riset merupakan buntut dari proses integrasi BRIN dengan lembaga penelitian nonkementerian (LPNK) dan balitbang-balitbang kementerian. Dimulai sejak September 2021, saat ini sudah ada 33 LPNK dan balitbang yang bergabung dengan badan yang dipimpin Laksana Tri Handoko itu.
Sebagaimana bunyi Pasal 65 Perpres Nomor 78 tahun 2021 tentang BRIN, lembaga superbodi itu diberikan kuasa untuk mengakuisisi segala urusan lembaga-lembaga yang melebur ke dalam BRIN, termasuk soal kepegawaian. Khusus tenaga honorer yang tersebar di berbagai LPNK, sejak Januari 2022, BRIN memilih untuk tak memperpanjang kontrak mereka.
Turun kasta
Sumber Alinea.id yang sebelumnya bertugas di salah satu LPNK mengatakan balai-balai riset kini turun kasta menjadi sekadar unit laboratorium riset sejak dilebur ke BRIN. Pascapeleburan, balai-balai itu tidak lagi punya wewenang untuk mengelola sumber daya manusia secara mandiri.
“Karena kami dianggap sebagai laboratorium, maka yang ada di laboratorium itu hanya SDM yang mayoritas adalah operator pelaksana seperti tenaga rekayasa, litkayasa, dan perekayasa atau peneliti jenjang pertama,” ujar sumber Alinea.id saat dihubungi, Sabtu (15/1)
Sumber Alinea.id membenarkan tenaga-tenaga honorer yang bertahun-tahun mengabdi di unit kerja litbangjirap kini telah tersingkir karena perampingan pegawai. Periset berlatar non-ASN pun terpaksa harus angkat kaki.
Ia mencontohkan perampingan pegawai di Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC). Sebelum bergabung dengan BRIN, balai itu memiliki 124 pegawai, terdiri 101 ASN dan 23 tenaga kontrak.
Kini, kata dia, petugas laboratorium hanya 30 orang. Mayoritas pegawai ialah pejabat fungsional seperti perekayasa terampil. “(Sisa pegawai) nantinya akan diarahkan ke organisasi riset (OR) atau ke pusat-pusat riset (BRIN),” ucapnya.
Pemimpin BRIN sudah punya pakem untuk memecah pegawai di balai-balai riset. Peneliti yang punya latar belakang saintifik yang kuat--lazim disebut SDM iptek di kalangan BRIN--kini ditempatkan di pusat-pusat riset untuk melakukan penelitian. Sementara SDM manajemen IPTEK seperti perekayasa terampil diposisikan di laboratorium untuk melakukan pelayanan riset.
Ia mengungkapkan kinerja eks balai-balai riset bakal terkendala jika laboratorium hanya diisi perekayasa terampil. Pasalnya, pelayanan riset butuh dukungan saintis, baik itu untuk menyusun strategi penyemaian awan, menganalisis pergerakan angin dan awan hujan, hingga menyusun laporan.
“Dengan tidak terakomodirnya beberapa orang senior yang mempunyai background saintifik kuat ke dalam lab, ini tentu pelemahan,” terang sumber Alinea.id.
Nasib malang juga menimpa para pegawai eks Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla). Karena diakuisisi oleh Direktorat Armada Pengelolaan Kapal Riset (PAKR) BRIN, sebagian besar petugas terpaksa harus angkat kaki dari satuan kerja yang sebelumnya melekat pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu.
Menurut sumber Alinea.id di BRIN, kebutuhan pegawai untuk Direktorat PAKR hanya berjumlah 35 orang. Namun, pegawai yang dinyatakan lolos berasal dari Balai Teksurla hanya 26 orang. Jumlah itu terbilang kecil lantaran total pegawai yang ada di balai tersebut sebelumnya berjumlah 98 orang.
“Jadi, kurang lebih 25% (yang direkrut ke PAKR). Sisanya lari ke mana-mana. Mungkin sekitar 50 orang pegawai itu yang belum dapat tempat,” ucap sumber Alinea.id saat dihubungi, Sabtu (15/1).
Karena dilebur ke dalam BRIN, menurut dia, sebagian besar pegawai harus terkatung-katung. Setidaknya sudah hampir empat bulan sejak Perpres Nomor 78 tahun 2021 terbit, puluhan pegawai Balai Teksurla belum menempati unit kerja yang ada di BRIN. Instruksi tugas dari BRIN pun disebutnya masih belum jelas.
“Buat kami, kita (pegawai) sekarang enggak ada induknya. Kita terombang-ambing. Jadi, eks pegawai Balai Teksurla sampai saat ini terombang-ambing. Pokoknya enggak jelas di BRIN ini, SK juga enggak jelas. Kita enggak tahu nih mau ke mana. OR (organisasi riset) juga belum diumumkan,” terangnya.
Menurut sang sumber, peleburan Balai Teksurla ke Direktorat PAKR terkesan serampangan. Ia pun mengaku khawatir program prioritas nasional yang selama ini disokong Balai Teksurla bakal terkendala, semisal proyek peringatan dini tsunami berbasis buoy (sejenis pelampung).
“Kalau melihat dari namanya saja dari Balai Teksurla menjadi Direktorat PAKR, itu saja sudah beda. Jadi, mengenai tupoksi akan tidak jelas karena kami memang melakukan pelayanan teknologi siapa pun yang meminta,” terangnya.
Menurut salah satu bekas pegawai Balai Teksurla, pelayanan terhadap mitra swasta terganggu selama proses integrasi belum rampung. Birokrasi bakal semakin panjang lantaran unit kerja pelayanan sudah tak lagi menjadi organisasi struktural yang punya wewenang mengelola kerja sama dengan para mitra.
“Sekarang, mereka (mitra) harus melalui kedeputian (untuk mengurus izin kerja sama). Nanti ada yang namanya Direktorat Kemitraan Riset dan Inovasi. Mungkin nanti direktorat ini yang melakukan kerja samanya. Nanti, pelaksanaan teknisnya ke Direktorat PAKR. Jelas, birokrasinya ini menjadi panjang,” ujar dia kepada Alinea.id.
Sebelum diserap ke BRIN, tercatat ada 16 balai dan balai besar di BPPT. Terdiri dari 44 unit kerja, balai dan balai besar itu menyumbang pendapatan nasional bukan pajak (PNPB) hingga ratusan miliar tiap tahunnya lewat layanan jasa riset untuk mitra-mitra kerja dan "jualan" produk-produk riset.
Sumber Alinea.id lainnya, eks pegawai Badan Teknologi Nuklir (BATAN) yang kini bergabung di BRIN setuju dengan anggapan layanan terhadap mitra bakal terganggu lantaran rantai birokrasi kian panjang. Apalagi, BRIN juga menerapkan sistem pelayanan terpadu untuk memakai peralatan riset yang dinamakan E-Layanan Sains (ELSA).
“(ELSA) itu dulu biasanya dipakai LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Jadi, para periset (BRIN) kalau ingin menggunakan peralatan yang dimiliki oleh layanan harus memakai ELSA. Kalau dulu, peralatan riset kita tinggal pakai saja, karena itu satu pusat,” tutur dia saat dihubungi Alinea.id, Senin (16/1).
Rantai birokrasi juga "memanjang" karena divisi-divisi yang ada di BRIN memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda, tapi saling terkait. Dengan perbedaan atap itu, kata sang sumber, proses administrasi pelaksanaan riset panjang.
“Untuk izin alat mungkin nanti ke Direktorat Pengelolaan Laboratorium BRIN. Kalau kita mau pakai alat, harus melalui E-Layanan Sains. Kalau dulu, setiap satker punya layanan (sistem) sendiri,” imbuh dia.
Ia mengklaim para periset saat ini sedang gundah. Selain karena pola kerja yang baru, menurut dia, mayoritas periset hingga kini belum punya divisi dan tugas harian di BRIN.
"Karena sistem sekarang belum established (mapan). Masih berubah terus. Dulu (di BATAN) sudah established. Sekarang, berubah 180 derajat. Kalau saya tanya beberapa periset, ya, tidak nyaman. Makanya, perlu dilihat seperti apa ke depan,” ucapnya.
Layanan terkendala
Proses reorganisasi dan peleburan lembaga riset juga mengganggu layanan-layanan rutin yang biasa diminta BUMN dan kementerian kepada satker-satker di BPPT. Itu setidaknya diungkapkan seorang sumber Alinea.id yang sebelumnya bertugas di salah satu balai di BPPT.
Ia mencontohkan peristiwa kelangkaan solar yang terjadi pada akhir 2021. Menurut dia, salah satu penyebabnya lantaran permohonan inspeksi kilang minyak di Indramayu oleh PT Pertamina kepada BPPT terlambat dieksekusi pada Oktober 2021.
Permohonan inspeksi, kata dia, tidak bisa langsung dijalankan lantaran tidak adanya disposisi dari petinggi BRIN. Di lain sisi, balai-balai yang sudah terintegrasi tidak punya wewenang untuk menggerakkan peneliti, teknisi, atau perekayasa lagi.
“Makanya, kemarin ada pasokan solar terhambat di akhir 2021. Ada permintaan dari Pertamina Indramayu untuk melakukan inspeksi pada satu kilang minyak yang alami kerusakan. Karena mekanismenya terhambat, maka kita lakukan terlambat. Akibatnya, pasokannya terganggu,” tuturnya saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (16/1).
Pengalaman serupa juga dialami oleh unit kerja pelayanan riset yang berfokus pada TMC. Sumber internal Alinea.id, mengaku, salah satu mitra yakni PT Pembangkitan Jawa-Bali (Persero) atau PJB pernah memutus hubungan kerja sama kegiatan TMC di DAS Brantas pada Oktober 2021. Persoalannya sama: BRIN sedang dalam proses pemataan.
“Kami sudah lakukan persiapan, sudah lakukan tahap administratif. Tetapi, begitu ada perubahan organisasi, maka segala sesuatu harus dimulai dari awal. Nah, ini kemudian makan waktu karena harus melengkapi dokumen baru dan di pihak kedeputian (BRIN) belum siap urus administasi itu,” ucapnya.
Ketika itu, menurut dia, TMC hanya bisa menunggu arahan dari petinggi BRIN. Namun, arahan itu tidak kunjung datang. Walhasil, permohonan layanan itu tidak jadi dieksekusi. Pasalnya, waktu ideal untuk menggelar kegiatan TMC keburu terlewati lantaran menunggu keputusan BRIN.
"Karena kegiatan TMC, kan, sangat menentukan dan tergantung potensi cuaca. Kalau sudah lewat, sudah masuk musim hujan, ngapain ada TMC? Jadi, timing (momentum) sudah hilang waktu itu. Jadi, sudah batal (kerja sama),” imbuh sumber Alinea.id.
Saat dikonfirmasi, PT PBJ tidak menjawab lugas pembatalan kerja sama tersebut. Kepala Bidang Stakeholder Management PT PBJ, Wildan Doddy N menerangkan, pelaksanaan TMC pada Oktober tidak dilakukan berdasarkan hasil evaluasi kebutuhan lapangan.
“Kondisi curah hujan di hulu DAS Brantas saat ini masih cukup tinggi sehingga TMC belum diperlukan,” ucap Wildan saat dihubungi Alinea.id, Selasa (18/1).
Wildan memahami, perubahan organisasi di BRIN akan berdampak pada kegiatan program lantaran masih terjadi penyesuaian. Untuk memastikan kerja sama tetap terjalin baik, PT PBJ bakal mengagendakan pertemuan dengan BRIN dalam waktu dekat.
“Dalam setiap perubahan organisasi biasanya akan terjadi penyesuaian yang mungkin sedikit banyak akan mempengaruhi pelaksanaan tugas di lapangan. Namun, kami yakin dengan hubungan baik yang sudah terjalin selama ini akan membantu teknis pelaksanaannya,” kata Wildan.
Di luar kerja sama dengan perusahaan, sumber Alinea.id memaparkan layanan-layanan eks satker BPPT untuk kementerian-kementerian yang terganggu karena proses integrasi dan reorganisasi di BRIN tak kunjung rampung. Salah satunya ialah layanan TMC untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Menurut sang sumber, Menteri LHK Siti Nurbaya sudah melayangkan surat ke BRIN pada 5 Januari 2022 meminta BRIN menyiapkan kegiatan TMC untuk mengantisipasi bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Namun, BRIN belum merespons surat tersebut hingga lebih dari dua pekan.
Kondisi itu, kata dia, tidak akan terjadi unit kerja pelayanan riset TMC masih diampu oleh BPPT. Bila ada surat permintaan semacam itu, pimpinan BPPT diklaim langsung merespons permintaan layanan TMC maksimal dua hari sejak menerima surat.
“Dalam melihat adanya transisi BPPT ke BRIN, Bu Menteri ini mewanti-wanti. Intinya, jangan sampai layanan TMC tidak bisa optimal. Ya, kami sih mandangnya, urusan di BRIN terlalu banyak. Enggak hanya urusi TMC saja. Tetapi, paling tidak ini sekelas menteri loh yang bersurat. Masa tidak ada tanggapan sekali?” terangnya.
Alinea.id sudah mencoba mengonfirmasi terkait nasib pelayanan unit kerja litbangjirap ke Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko melalui asisten pribadinya dan staf Humas BRIN sejak Selasa (18/1). Namun, hingga laporan ini terbit, daftar pertanyaan Alinea.id tak kunjung direspons oleh mereka.