close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aksi Warga Kebun Sayur Ciracas, didampingi mahasiswa UI dan LBH Jakarta melakukan orasi di Gedung Komnas HAM  (Robi Ardianto/Alinea).
icon caption
Aksi Warga Kebun Sayur Ciracas, didampingi mahasiswa UI dan LBH Jakarta melakukan orasi di Gedung Komnas HAM (Robi Ardianto/Alinea).
Nasional
Selasa, 05 Juni 2018 11:07

Sengketa tanah kosong di Kebun Sayur

Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) melayangkan ultimatum penggusuran tanpa mengajukan ganti rugi pada warga.
swipe

Sengketa tanah di Kebun Sayur, Ciracas, Jakarta Timur, bermula dari tanah kosong yang ditempati warga pada tahun 1980-an. Namun, keharmonisan hidup masyarakat setempat selama puluhan tahun, tiba-tiba terusik oleh klaim Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) pada Mei 2009, melalui surat manager Umum Ni Wayan Metri. 

Surat yang teregistrasi No: III/MU/V/2009 itu berisi permohonan pemutusan saluran listrik ke pimpinan PLN cabang Ciracas, terhadap warga Kebun Sayur

Tidak hanya itu, ultimatum penggusuran juga telah dilakukan dua kali di tahun itu. Namun PPD tidak mau mengganti rugi sepeserpun terhadap warga atas penggusuran yang akan dilakukan. Padahal, ada sebagian warga yang telah memiliki KTP di wilayah tersebut sebagai bukti administrasi kependudukan yang sah.

"Pada tahun 2009 itu PPD melayangkan surat kepada warga untuk meninggalkan tanah. Jadi, ada ancaman penggusuran langsung oleh PPD," kata kuasa hukum warga Kebun Sayur Ciracas, Charlie Albajili, di Kantor Komnas HAM, Senin (4/6). 

Selain itu, PPD juga melakukan intervensi dengan meminta kelurahan agar tidak memperpanjang administrasi kependudukan (adminduk) milik warga. 

"Sejak saat itu, 2009 warga tidak mampu mengakses listrik, air bersih, dan tidak mampu akses adminduk," katanya.

Namun, Charlie menyebut, PPD tidak memiliki bukti atas klaim tersebut. Hal ini terungkap saat LBH Jakarta melakukan mediasi pada tahun 2012 ke Komnas HAM. Saat itu, kata dia, Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang hadir ke Komnas HAM, menyatakan tanah tersebut tidak memiliki sertifikat.

"Jadi, warga & PPD bersatus sama, tanpa sertifikat," katanya. 

Persoalannya saat ini, tanah warga yang masih bersifat status quo sejak tahun 2012, diklaim milik PPD sebagai lahan LRT City urban signature, sebagai salah satu project transit oriented development (TOD) yang dipegang oleh PT Adhi Karya. Kedua perusahaan tersebut melakukan MoU pada 2017 untuk menggunakan lahan Kebun Sayur.

Sebagai infomasi, Adhikarya sendiri sudah membangun kantor pemasaran di lahan yang berada di sebelah pemukiman warga, yang di klaim PT Adhi Karya sudah clean n clear (CNC). Namun pada praktiknya, penawaran juga dilakukan di atas lahan milik warga.

"Nah, ini yang dicemaskan oleh warga. Karena belum ada penyelesaian tanah, belum dilakukan musyawarah, bahkan intimidasi dalam arti pengukuran lahan, mendatangkan aparat tanpa izin, telah dilakukan," jelasnya. 

Selain dua hal tersebut, intimidasi yang dimaksud Charlie, juga berupa dibangunnya kantor pemasaran, brosur, dan iklan yang lokasinya menduduki lahan warga. Lebih parah, saat ini sudah dibangun kantor pemasaran yang berada dekat pemukiman warga.

Berbagai upaya penyelesaian atas sengketa ini, telah diupayakan oleh warga sejak lama. Pada awal tahun 2017, warga melakukan pertemuan dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno. Selain itu, warga juga telah melaporkan hal ini ke DPRD DKI Jakarta dan DPR RI.

"Kalau DPRD ingin melakukan peninjauan, hanya saja sampai saat ini belum kunjung dilakukan," kata Charlie.

Komisioner Komnas HAM, Munafrizal Manan, menyatakan akan melakukan komunikasi dengan meminta kejelasan kepada pihak-pihak terkait seperti PPD, PT Adhi Karya, dan Pemprov DKI.

"Kami harap, semua pihak kooperatif dalam memberikan keterangannya," jelasnya.

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan