Sengsara warga di bantaran Kalibaru: Digusur tanpa ganti rugi, hilang penghasilan saat pandemi
Dikelilingi puing bangunan dan beralaskan tanah, sebuah gubuk reyot berdiri tak jauh dari tepi sungai Kalibaru Barat, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Berdinding terpal plastik, tak banyak perabotan mengisi gubuk berukuran sekitar 3x3 meter di pinggir Jalan Dr Soepomo itu.
Pada sisi dinding yang berhadapan langsung dengan pintu, dua termos air, sebuah dispenser, dan peralatan makan ditata di sebuah meja kecil. Menempati salah satu sisi ruangan, sebuah papan panjang yang ditopang deretan ban kendaraan roda empat difungsikan sebagai dipan. Sisa ruang disesaki kursi-kursi kayu.
"Kami sudah tiga bulan lebih telantar setelah rumah kami digusur tanpa ganti rugi. Dari dulu tidak ada pengumuman bahwa tanah ini milik pemerintah daerah. Tiba- tiba diklaim," kata Udin, pemilik gubuk itu, saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (13/6).
Tak jauh dari gubuk Udin, sejumlah spanduk protes dibentangkan. Pada salah satu spanduk, tertulis dua kalimat pendek dalam warna merah menyala: "DKI Jakarta Darurat Agrari" dan "Anis Pemimpin Jahat". Pada spanduk lainnya, tertulis tuntutan warga agar rumah dan tanah mereka dikembalikan.
"Saya lahir dan besar di tempat ini. Sejak dulu enggak pernah ada masalah soal kepemilikan. Tapi, pemerintah tiba-tiba mengklaim tanah ini dan langsung gusur saya," kata pria berusia 55 tahun itu.
Penggusuran terhadap rumah Udin dan warga lainnya di RT 001/RW 001 Menteng Dalam, Tebet, terjadi pada pengujung Maret 2021. Ketika itu, ada 25 bangunan yang diratakan oleh petugas Satpol PP DKI Jakarta. Mayoritas bangunan yang kena gusur adalah ruko sederhana dan kios yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal warga.
Pemprov DKI mengklaim kepemilikan tanah seluas 837 meter persegi yang ditempati Udin dan kawan-kawan berdasarkan kartu invetaris barang (KIB) nomor 010111308001 yang dipegang Suku Dinas Sumber Daya Air (Sukdin SDA) DKI. Di area itu, Sukdin SDA DKI berniat merealisasikan progam-program penanangan banjir yang telah direncanakan sejak beberapa tahun lalu.
Udin mengakui ia dan warga lainnya memang tak memiliki sertifikat kepemilikan tanah dan bangunan yang resmi. Namun, mereka memiliki akta jual beli (AJB) peninggalan buyut mereka. Selain itu, warga juga rutin membayar pajak bumi dan bangunan (PBB).
Itulah kenapa Udin bersama segelintir warga menolak angkat kaki dan memutuskan untuk bertahan di lahan sengketa. Apalagi, Udin mengaku tak punya duit untuk menyewa kontrakan. "Duit dari mana? Orang kami abis kehilangan. Ya, jadi di sini aja sembari jagain tanah biar enggak diklaim?" kata dia.
Sejak penggusuran, menurut Udin, warga tercerai-berai. Sebagian warga memilih bertahan dengan mendirikan gubuk-gubuk di bekas rumah mereka dan sebagian lainnya mengungsi ke rumah kerabat. "Yang mengungsi terutama yang punya anak-anak kecil," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang tambal ban itu.
Rata-rata korban penggusuran membuka usaha kecil-kecilan seperti Udin. Karena tak punya tempat usaha sejak digusur, menurut Udin, sebagian warga kini tak punya penghasilan sama sekali.
Untuk makan sehari-hari, Udin bahkan terkadang harus bergantung dari sumbangan warga. Jika sedang tidak ada sumbangan pangan, Udin mengaku kerap berpuasa. "Alhamdulillah, masih suka ada yang ngasih makanan. Mungkin karena liat kondisi kami yang begini," kata dia.
Relokasi dan tuntutan ganti rugi
Sekitar pukul 21.00 WIB, gubuk Udin mulai ramai. Selain Udin, sudah hadir Ivandi (39), Jose (39) dan Soleh (48). Bersama sejumlah korban penggusuran lainnya, mereka membahas soal rencana relokasi yang baru saja ditawarkan pihak Pemprov DKI Jakarta.
Kepada Alinea.id, Ivandi menuturkan warga ditawari relokasi ke Rusun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara dan Rusun Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur. Namun, para korban penggusuran masih belum memutuskan menerima tawaran tersebut.
"Soalnya, (rusun-rusun itu) jauh dan kita belum tahu apakah dijamin gratis atau bagaimana? Kami menuntut ada ganti rugi. Saya kehilangan bengkel saya. Sekarang saya enggak punya penghasilan. Buat makan aja susah," kata Ivandi.
Ivandi membenarkan banyak warga korban penggusuran tidak memiliki sertifikat tanah. Namun, ia memastikan warga punya akta jual beli (AJB) dari buyut mereka. Ia menyebut warga pun tak pernah lupa membayar iuran PBB.
"Jadi, kami itu masih saudara. Nah, lahan ini punya kakek moyang kami sejak dulu dan kami tinggal di sini dari lahir. Rumah ini peninggalan orang tua. Saya generasi keempat yang tinggal di lahan ini. Kalau seandainya lahan ini memang sejak dulu milik Pemprov DKI, kita pasti pergi," kata Ivandi.
Ivandi mengklaim proses penggusuran terjadi secara tiba-tiba. Menurut dia, Pemprov DKI tak pernah menunjukkan bukti-bukti kepemilikan lahan sengketa itu kepada warga. Diskusi dengan warga setempat pun hampir tak ada.
"Mereka enggak menunjukkan buktinya. Seharusnya terbuka aja. Jelaskan bagaimana bisa (lahan tempat tinggal warga) jadi aset Pemprov DKI Jakarta. Jangan main asal bilang ini punya Pemprov DKI, terus digusur," kata Ivandi.
Setelah penggusuran, menurut Ivandi, warga sudah beberapa kali diajak bicara oleh pihak Kelurahan Menteng Dalam dan Sekretaris Daerah DKI Jakarta. Namun, pembahasan ganti rugi tidak pernah mengemuka. "Bicaranya masih soal relokasi. Kalau saya maunya dibangun lagi rumah sama bengkel saya," imbuh dia.
Menyambung omongan Ivandi, Soleh membenarkan warga akan terus berjuang untuk menuntut ganti rugi dari pemerintah. Seperti Ivandi, rumah dan bengkel Soleh juga kena gusur tiga bulan silam. Hingga kini, ia belum punya pekerjaan baru.
"Alat-alat bengkel saya banyak yang enggak bisa diselametin. Jangankan bangunan, mata pencarian saya juga ikut kegusur," kata pria yang kini mengungsi di rumah salah satu kerabatnya di Bogor, Jawa Barat, itu.
Soleh mengaku masih merasa sakit hati jika mengingat proses penggusuran rumah-rumah warga. Apalagi, ia menyaksikan sendiri bagaimana kendaraan eksavator milik Pemprov DKI mengobrak-abrik rumah dan bengkel yang ia bangun dengan susah payah.
"Pagi-pagi saya baru siap buka bengkel, langsung berhadapan dengan aparat. Tanpa ada kata pembicaraan sepakat, petugas langsung main gusur," kata adik Udin itu.
Seperti Udin, Jose mengaku tak punya penghasilan tetap sejak rukonya digusur Pemprov DKI. Untuk berhemat, ia bahkan harus pindah ke kontrakan di Babelan, Bekasi, Jawa Barat. "Kalau di Tebet mahal. Saya enggak kuat," kata Jose.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup selama pandemi, Jose mengatakan, ia kini bekerja serabutan. "Asal bisa nutup kebutuhan istri sama anak. Sekarang kita enggak punya apa-apa, cuma ketolong solidaritas sesama warga aja," imbuh Jose.
Alinea.id telah berupaya mengklarikasi tuntutan ganti rugi yang diajukan warga tersebut kepada Sekda DKI Jakarta Marullah Matali. Namun, Marullah tak merespons permintaan wawancara dari Alinea.id.
Rencana adu data
Pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) yang mendampingi korban penggusuran Tebet, Rizky Sianipar mengatakan Pemprov DKI hanya baru menyanggupi relokasi korban penggusuran ke sejumlah rusun sebagai solusi sementara.
Ia membenarkan para korban penggusuran ogah pindah ke rusun-rusun di Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Dari hasil survei, rusun-rusun tersebut terlalu jauh lokasinya dan tidak ideal untuk usaha atau sekolah anak-anak warga korban penggusuran.
"Kalau dikasih opsi rusun lain, untuk sementara kami minta relokasi di Rusun Pasar Rumput dan Rusun Jatinegara. Untuk sementara ini, kita tetep dorong dan follow up serta menunggu hasil dari laporan kita terakhir ke pihak Pemprov DKI," kata Rizky kepada Alinea.id.
Pemprov DKI, kata Rizky, bersedia menanggung biaya sewa rusun sementara selama perkara bergulir. Meski begitu, warga berkukuh tak mau pindah lantaran tidak ada jaminan rusun itu bisa dimiliki tanpa harus membayar.
Lebih jauh, Rizky mengatakan sudah ada pertemuan dengan Sekda DKI Jakarta untuk menyelesaikan sengketa lahan di Kelurahan Menteng Dalam, Tebet. Dalam pertemuan tersebut, Pemprov dan PBHI sepakat bakal membentuk tim untuk melakukan verifikasi data kepemilikan lahan warga.
"Sejauh ini, Pemprov DKI belum dapat menunjukkan tanah itu milik Pemprov. Klaim mereka di atas kertas. Jadi, kita buka-bukaan data. Misalnya, pihak Pemprov bersama Kementrian Keuangan, BPN membuka data real terkait tanah itu," jelas Rizky.
Adu data itu, kata Rizky, bakal jadi acuan untuk pemberian ganti rugi dari Pemprov DKI kepada warga. Rizky berharap pemerintah tidak mendasarkan pemberian ganti rugi berbasis ada atau tidaknya sertifikat kepemilikan tanah dan bangunan.
"Karena pejabat tingkat kecamatan dan kelurahan pernah minta itu (sertifikat). Hanya, kita katakan kepada pihak mereka, kita punya hak lain selain sertifikat, yaitu (akta) jual beli tanah yang dilakukan sebelum (Indonesia) merdeka," kata Rizky.