Sidang gugatan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memasuki babak baru, Kamis (5/4). Kuasa hukum Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Sudirta menghadirkan dua saksi dari ahli sosiologi politik Islam serta ahli pemikiran dan praktik politik Islam.
Di persidangan sebelumnya, Kamis (29/3) Antara mencatat, saksi ahli hukum administrasi negara Zudan Arif Fakrulloh yang kini menjabat sebagai Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, turut dihadirkan.
Dalam sidang tersebut, Zudan menjelaskan keputusan tata usaha negara serta kewenangan pejabat secara umum. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan legalitas pemerintah melalui Menkumham, dalam mencabut status badan hukum HTI.
Dia menjelaskan setiap keputusan tata usaha negara dapat dinyatakan sah apabila memenuhi tiga aspek.
Pertama, tertib kewenangan yakni ditandatangani oleh pejabat yang diberikan kewenangan oleh undang-undang.
Kedua, dibuat dengan prosedur yang sudah disepakati dalam institusi. Ketiga, memiliki substansi yang benar yaitu tidak memuat cacat yuridis, tidak khilaf, tidak ada penipuan dan paksaan.
Selanjutnya dalam aspek keberlakuannya, setiap keputusan yang telah dibuat pejabat tata usaha negara itu berlaku sesaat setelah ditandatangani. Sedangkan dalam aspek pemerintahan, ketika ada perbedaan waktu antara tanggal ditandatangani dengan tanggal penyerahan, maka berlakunya ketika tanggal penyerahan terhadap subjek.
Dalam konteks pencabutan badan hukum sebuah organisasi, menurut dia, ketika sudah ditandatangani pencabutan badan hukumnya oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang, maka baju atau status badan hukumnya sudah terlepas dan yang tersisa hanya anggota-anggota atau mantan anggota badan hukum tersebut.
Dia menjelaskan, siapapun yang dirugikan atas keputusan pejabat tata usaha negara secara pribadi boleh mengajukan gugatan, termasuk anggota badan hukum, sepanjang merasa dirugikan.
HTI dalam hal ini memang mengajukan gugatan, mempertimbangkan sepak terjangnya di Indonesia yang tak sebentar. Sebagai organisasi massa, HTI mempunyai sejarah panjang di berbagai daerah di tanah air.
Kehadiran HTI di Indonesia sendiri tak bisa dilepaskan dari induk organisasi HTI di Palestina yang digulirkan pada 1953 oleh Taqiyuddin an-Nabhani. Gerakan itu mulanya adalah wujud ihtiar untuk menegakkan sistem khilafah al-Islamiyah. Maksudnya, negara disokong konsep politik di mana kitab suci dan sunnah Nabi Muhammad menjadi sumber hukum utama. Konsep politik macam itu sudah ada sejak era Nabi hingga imperium Utsmani (abad ke-18) rontok. Singkatnya, khilafah adalah konsep puritanisme Islam yang diletakkan dalam kerangka negara.
Di Indonesia konsep khilafah sebetulnya sudah jauh digagas sejak Kartosuwiryo melakukan pemberontakan DI/TII di era revolusi. Tirto mencatat, gerakan ini bersalin rupa dalam gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Hanya saja keduanya masih menerapkan atau mengakui batas-batas negara dengan mengganti sistem maupun dasar pemerintahan saja.
Hal ini berbeda dengan HTI yang menerabas semua kaidah sistem yang sudah eksis dengan ideologi tunggal kekhalifahan. Sudarno Shobron dalam artikelnya, "Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia" (2014) menyebut, penetrasi paham HTI secara total masuk ke Indonesia pada 1983. Ini tak bisa dilepaskan dari peranan warga Australia keturunan Arab, Abdurrahman al-Baghdadi.
Konstitusi dalam hemat HTI mengganti secara total konsep “negara-bangsa” yang linear dengan “Islam”, dan wilayahnya disebut dar al-Islam (wilayah Islam) sedangkan di luar itu dinamakan dar al-kufr (wilayah kafir). Di dalam dar al-Islam diterapkan hukum Islam, dan di luarnya masuk kategori hukum orang kafir.
Rupanya konsep itu laris manis di dunia pedagogi level universitas. Sang mubaligh Abdurrahman memang memulai menyebarkan konsep ini ke beberapa kampus besar di Indonesia, mulai UGM, ITB, IPB, dan UI. Lalu berkembang sedemikian rupa hingga mengantongi banyak anggota di seluruh tanah air.
Dalam aksi massa, HTI kerap menggunakan medium kampus dan ruang publik. Selain menggunakan kampus, HTI juga kerap menggunakan ruang publik untuk menghelat hajatan akbar mereka. Pada 2007, HTI berkumpul di stadion Gelora Bung Karno untuk beramai-ramai menghujat demokrasi dan menegakkan khalifah. Kegiatan serupa juga diulang pada 2013 dan 2015 yang melibatkan puluhan ribu kader HTI.
Sebab terbilang sebagai organisasi radikal yang ingin menggusur ideologi Pancasila, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto pada 2017 mengumumkan pembubaran organisasi tersebut. Hal itu ditempuh guna memenuhi amanat UU Keormasan.
Pemberangusan HTI di Indonesia, menyusul upaya senada yang dilakukan di 20 negara lain di dunia. Negara-negara yang melarang HTI beroperasi antara lain Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Libya, Turki, Jerman, Rusia, Inggris, Spanyol, dan Malaysia.